4 Alasan Teknologi Analog Berusia Puluhan Tahun Masih Terus Diminati

marketeers article
Ilustrasi kamera analog. (FOTO:123RF)

Di tengah perkembangan teknologi yang semakin mutakhir, sebagian masyarakat masih memiliki ketertarikan dengan teknologi analog. Pertimbanganya beragam, mulai dari alasan nostalgia hingga menikmati sensasi yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Sebut saja piringan hitam atau vinil. Cakram tempat menyimpan musik ini merupakan teknologi yang sudah ada sejak tahun 1880-an. Penggunaannya juga tidak mudah karena perlu menggunakan perangkat pemutar atau player yang disebut gramofon.

Meski sudah lebih dari satu abad yang lalu, geliat tren piringan hitam ini perlahan kembali menemukan jalannya di era yang baru. Dalam data publikasi Statista tahun 2023, penjualan album vynil di Amerika Serikat telah tumbuh selama 16 tahun berturut-turut.

BACA JUGA: 6 Marketing Lessons dari Musisi dan Industri Musik yang Bisa Ditiru

Menurut Recording Industry Association of America (RIAA), sebanyak 41,3 juta unit album extended play (EP) da Long Play (LP) terjual di AS pada tahun 2022, meningkat lebih dari 45 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2006 ketika  vinil mulai kembali digemari.

Penjualan piringan hitam juga didorong oleh artis musik papan atas yang juga merilis albumnya dalam bentuk piringan hitam. Sebut saja Taylor Swift, Lana Del Rey, Olivia Rodrigo, dan masih banyak lagi.

teknologi analog
Ilustrasi vinil. (FOTO: 123RF)

Tapi, bukan cuma piringan hitam saja yang kembali ngetren di era yang serba digital kini. Kamera instan juga mulai kembali menemukan jalannya di zaman digital ini.

Di Indonesia, kamera ini dikenal dengan kamera polaroid. Karena, Polaroid merupakan merek pertama yang memasarkan kamera instan. FUJIFILM sebenarnya juga memasarkan kamera sejenis dengan nama instax. Tapi, masyarakat lebih familiar menyebutnya dengan kamera polaroid, apapun mereknya.

BACA JUGA: Fujifilm Rilis INSTAX SQUARE Link, Bidik Tren Fotografi Anak Muda

Kamera instan sendiri merupakan kamera yang mampu mencetak hasil foto sesaat setelah tombol shutter ditekan. Karenanya, kamera instan memiliki dimensi body yang cukup besar untuk menampung kertas atau film untuk mencetak hasil foto tersebut secara langsung.

Kamera ini terkesan canggih, namun ini juga merupakan teknologi yang sudah ada puluhan tahun lalu.

teknologi analog
Ilustrasi kamera instan. (FOTO: 123RF)

Sebenarnya masih banyak teknologi analog yang kini kembali digunakan konsumen, kendati sudah banyak teknologi modern yang mengakomodasi kebutuhan konsumen saat ini. Hal itu pun mendorong Marketeers untuk merangkum sejumlah alasan kenapa orang masih menggunakan teknologi analog di era modern ini.

Dikutip dari Fibremood, berikut adalah alasan yang mendorong tren teknologi analog:

1. 20-Years-Rules

Aturan 20 tahun atau 20-years-rules ini merupakan paradigma yang muncul di dunia fesyen. Maksudnya, tiap 20 tahun sekali, tren akan kembali pada 20 tahun yang lalu.

BACA JUGA: Sasar Gen Z, Kominfo Luncurkan Kampanye Makin Cakap Digital

Mengapa tidak 30 tahun, atau 10 tahun yang lalu? Fibremood menyebut, ketika sudah 30 tahun, maka sebuah tren dianggap sudah sangat tua. Dan jika baru 10 tahun yang lalu, maka tren tersebut dianggap baru lewat.

Tren 20 tahun yang lalu dianggap merupakan era yang sempurna untuk diulang kembali. Misalnya berpakaian ala 1990 pada tahun 2010, atau mencoba menggunakan tren fesyen tahun 2000 pada tahun 2020.

Sejumlah figur publik juga terlihat mereplikasi kembali gaya berpakaian dengan aturan demikian. Contohnya seperti Kendal Jenner yang mengikuti gaya berpakaian Putri Diana. Aturan ini juga tidak hanya berlaku pada dunia fesyen, tapi berlaku secara general, termasuk teknologi.

2. Menikmati Hidup Dengan Lebih Pelan

Teknologi umumnya membantu untuk mempersingkat proses dan memberikan hasil yang lebih cepat. Nyatanya, tak semua konsumen merasa senang dengan aspek tersebut.

teknologi analog
Ilustrasi kamera analog. (FOTO: 123RF)

Beberapa konsumen menyukai dan menikmati proses pembuatan yang berlangsung secara pelan. Seperti kopi yang dibuat dengan teknik dripping, atau foto yang harus dicetak di kamar gelap atau dark room, dicuci, kemudian dijemur, agar bisa terlihat gambarnya.

BACA JUGA: idsMED Aesthetics Bawa Teknologi Kecantikan Miliaran Rupiah ke Pasar Indonesia

Proses yang pelan ini memberikan nilai tambah bagi konsumen. Entah memberikan kesan nostalgia, atau memberikan kesan ‘menjalani hidup dengan lebih pelan’. Karenanya, teknologi analog bisa menjadi sarana bagi orang yang sedang ingin menikmati konsep slow living.

3. Teknologi Digital Dianggap Menumpulkan Keahlian

Ada juga pandangan negatif terhadap kemajuan teknologi. Dari laporan The Conversation, beberapa orang merasa bahwa teknologi digital saat ini membuat keahlian manusia menjadi tumpul.

Teknologi saat ini memang ada untuk mempermudah segala proses. Tapi tak jarang, kemudahan yang ditawarkan tak cuma digunakan, namun dieksploitasi secara berlebih, sehingga teknologi yang digunakan tak membantu manusia dalam mengembangkan keahliannya.

Di dunia fotografi, tak jarang fotografer menjadi malas karena terlalu bergantung pada kemudahan yang ditawarkan oleh kamera dan laptop.

BACA JUGA: Potensi Ancaman Siber Baru di Balik Kecanggihan Kartu eSIM

“Kebangkitan pengguna teknologi analog didorong oleh orang-orang yang ingin menjadi konsumen yang aktif. Semakin mereka terlibat dalam pekerjaan yang diperlukan oleh teknologi analog, semakin banyak kontrol yang mereka dapatkan dalam membentuk pengalaman yang diinginkan,” tulis laporan The Conversation.

4. Salah Bukan Masalah

Cuma karena sedang tren, tak berarti teknologi analog sama mudahnya digunakan seperti teknologi saat ini. Mau itu kamera analog, polaroid, piringan hitam, semuanya punya kesulitan sendiri.

Makanya, tak jarang meski sudah ahli sekalipun, mereka yang berkutat dengan teknologi ini bisa saja salah mengoperasikan alatnya. Tapi tak semua kesalahan itu menjadi hal yang buruk.

Misalnya dalam pembuatan musik. Tak jarang efek suara yang muncul mengalami distorsi berlebihan, entah karena tegangan listriknya terlalu tinggi, atau nadanya yang terlalu tinggi.

Tapi justru karena itu, musik yang dihasilkan memiliki alunan nada dengan efek yang khas.

BACA JUGA: Teknologi Ubah Cara Hidup Orang dalam 100 Tahun Mendatang

“Hampir dari semua yang Anda lakukan untuk mencoba membuat musik adalah seperti kecelakaan yang menyenangkan, yang akhirnya terdengar lebih baik daripada yang Anda niatkan. Jika mesin tidak melakukan persis seperti yang Anda pikirkan, atau sedikit keluar dari nada, itu semua bagian dari prosesnya,” tulis laporan BBC.

Contoh berikutnya, dalam memotret menggunakan kamera analog, hasilnya baru diketahui setelah rol filmnya dicetak. Tak jarang kesalahan terjadi selama pengambilan gambar.

Hasil yang tidak sesuai bisa saja terjadi. Tapi, foto yang tidak terduga itu mungkin saja malah lebih baik dari apa yang diniatkan.

Editor: Eric Iskandarsjah

Related