Kepemimpinan Erick Thohir dan Pemecatan STY

marketeers article
Shin Tae Yong (FOTO: Instagram @shintaeyong7777)

Oleh: Christina Nawang Endah Pamularsih, Program Magister Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UNSOED, Purwokerto.

Erick Thohir, Ketua Umum PSSI Periode 2023-2027, telah menghentikan pelatih Timnas Shin Tae-yong (STY) yang sangat popular dan dianggap sebagai pahlawan dalam menaikkan derajat Timnas pada level internasional, lewat sebuah manuver yang sangat kontroversial.

Salah seorang bekas pemain terbaik Belanda, Patrick Kluivert, berperan menggantikannya. Karenanya, Erick dianggap banyak orang mengambil risiko sangat tinggi.

Pengamat menilai bahwa Erick sebenarnya bisa mengambil jalan aman, yaitu dengan menunggu hingga Maret 2025 dengan dua pertandingan yang menentukan.

BACA JUGA: Erick Thohir Beberkan Alasan Pemecatan Shin Tae-yong

Jika Timnas mampu mengalahkan Australia dan Bahrain di bulan itu, maka STY dipertahankan. Jika gagal, maka ia bisa memecat STY yang tentu akan didukung oleh sebagian besar fans Timnas.

Tetapi ia melihat lain dan mengambil jalur yang “tidak aman”. Ia mengatakan kepada publik adanya perkembangan “dinamika” hubungan antara pelatih dan pemain yang tidak menguntungkan.

Meski tidak ada jaminan berhasil, ia ingin meningkatkan probabilitas dan peluang bahwa Timnas bisa berlaga di Piala Dunia 2026 ini. Dengan demikian ia mengambil risiko. Jika berhasil ia akan menjadi pahlawan, jika gagal ia akan dihujat keras.

Banyak tema yang bisa diangkat untuk mendalami kasus ini. Tulisan ini memilih untuk mengangkat satu pertanyaan ini, bagaimana menjelaskan fenomena Erick Thohir sebagai risk-taking leader?

Howard Gardner, dalam dua bukunya, Leading Minds (1995) dan Creating Minds (1993), membahas karakteristik pemimpin istimewa dan individu kreatif dalam sejarah dunia khususnya di sepanjang abad 20, termasuk bagaimana mereka menghadapi situasi kritis.

FIFA
Erick Thohir. (FOTO: PSSI)

Gardner tidak secara spesifik menjelaskan pemimpin sebagai pengambil risiko, tetapi ulasannya yang sangat mendalam memberikan wawasan penting tentang bagaimana pemimpin mengambil risiko dalam situasi krusial.

Berikut adalah interpretasi tiga karakter risk-taking leadership ala Howard Gardner.

Pertama, Visionary Risk-Taking. Seorang pemimpin visioner ditandai dengan keberanian menantang status quo dengan mengejar visi besar dan transformatif, juga kalau situasi ditandai dengan ketidakpastian.

Gardner menekankan bahwa pemimpin hebat sangat berkomitmen pada visi dan nilai-nilai mereka. Ia mengambil risiko yang diperhitungkan untuk mewujudkan visi tersebut.

Ia menyebut Martin Luther King Jr. atau Mahatma Gandhi dalam bukunya Leading Minds sebagai tipikalitas pengambil risiko demi perubahan sosial, didorong oleh komitmen mereka berdua untuk keadilan dan kesetaraan.

Kedua, Adaptive Risk-Taking. Gardner memahami bahwa sebuah risiko diambil oleh seorang leader didasarkan pada pentingnya beradaptasi pada situasi baru. Pemimpin mengambil risiko untuk berinovasi atau mengubah strategi ketika pendekatan yang ada tidak lagi efektif.

Pemimpin semacam ini mengevaluasi situasi dan dengan gesit menyesuaikan diri terhadap tantangan yang baru muncul.

Gardner mengeksplorasi kepemimpinan Winston Churchill selama Perang Dunia II sebagai cerminan seorang pengambil risiko adaptif saat ia membuat keputusan sulit dalam menghadapi perubahan cepat skenario perang.

​Ketiga. Empathetic Risk-Taking. Pemimpin yang risk-taker itu tidak hanya visioner dan adaptif, tetapi ia juga berempati.

Ia bersedia menempatkan dirinya dalam posisi vulnerable untuk melindungi atau memberdayakan orang lain. Gardner mencatat bahwa dimensi berempati ini penting untuk membangun kepercayaan dan loyalitas.

Nelson Mandela, ia sebut sebagai orang yang bisa dikategorikan ke dalam tipe ini ketika mengambil langkah rekonsiliasi dengan pihak yang sebelumnya menjadi lawan. Dengan keputusan berisiko ini ia berhasil memulihkan persatuan nasional.

​Sekarang, bagaimana kita hendak memahami fenomena Erick Thohir sebagai risk-taking leader dengan menggunakan penjelasan Howard Gardner di atas?

Pertama, Erick Thohir menunjukkan dirinya sebagai “pengambil risiko visioner” dengan mengganti pelatih yang memiliki popularitas tinggi seperti STY dengan Patrick Kluivert.

Meski memiliki segudang alasan krusial, langkah ini memperlihatkan keberanian Erick untuk mengubah status quo demi mencapai visi besar, yaitu mendorong Timnas Indonesia ke tingkat global, termasuk menuju kesuksesan di kualifikasi Piala Dunia 2026.

​Keputusan Erick di atas memiliki kekuatan. Ia hendak memproyeksikan visi jangka panjang untuk membawa Timnas Indonesia menjadi lebih kompetitif melalui pendekatan yang berbeda lewat Patrick Kluivert yang memiliki pengalaman melatih di Eropa, khususnya Belanda, karena Timnas dipenuhi dengan pemain naturalisasi dari negara ini.

Keputusan ini dapat menginspirasi dan memperkuat keyakinan bahwa transformasi besar diperlukan untuk meraih target ambisius.

​Sekaligus, keputusan itu memiliki kelemahan dan risiko besar. Keputusan ini dapat memecah dukungan publik dan stakeholder.

BACA JUGA: Erick Thohir Bagikan Mobil Listrik untuk Pejabat Kementerian BUMN

Banyak yang mungkin merasa bahwa Erick mengorbankan momentum Timnas di bawah STY, yang telah menunjukkan hasil yang baik sebelumnya. Erick dianggap lebih memprioritaskan pemain naturalisasi daripada Sang Coach.

​Kedua, Gardner menekankan bahwa seorang “pengambil risiko adaptif” melibatkan keberanian untuk mengganti strategi saat pendekatan yang ada dirasa kurang memadai.

Erick Thohir memandang STY, dengan temperamen Korea yang mengalami kesulitan dalam menghadapi para pemain dengan kultur dan cara berpikir Belanda, memiliki kinerja yang tidak cukup untuk mencapai target yang lebih tinggi.

Ia mengambil keputusan yang radikal untuk beradaptasi dengan kebutuhan kompetisi di tingkat global.

​Erick menunjukkan fleksibilitas dan keberanian untuk bertindak cepat di tengah tekanan besar, terutama setelah hasil-hasil Timnas yang dianggap kurang stabil.

Ia segera bergerak cepat dengan mengambil pendekatan baru, yaitu memilih perspektif dan gaya pelatihan lain yang lebih demokratis dan inovatif, yang dapat mendorong Timnas menghadapi tantangan berikutnya.

Namun, Erick juga perlu diperingatkan bahwa perubahan yang terlalu sering atau mendadak dapat menciptakan kebingungan di antara pemain, staf, dan fans.

Jika transisi ke gaya kepelatihan Kluivert nanti ternyata tidak berjalan mulus, hasil yang diharapkan dan diimajinasikan oleh Erick akan sulit atau tidak tercapai sama sekali.

​Ketiga, sebagaimana yang diidealkan oleh Gardner, Erick Thohir juga adalah seorang pengambil risiko yang berempati.

Ini tampak ketika ia memperhatikan aspirasi dan kebutuhan jangka panjang sepak bola Indonesia. Dia percaya bahwa perubahan ini pada akhirnya akan membawa manfaat besar bagi pemain dan fans, meski ia harus menghadapi kritik jangka pendek.

​Erick memperlihatkan bahwa ia bersedia menanggung tekanan besar karena ia berkeyakinan bahwa ini adalah langkah terbaik bagi masa depan Timnas.

Pendekatan ini dapat membangun kepercayaan jika hasil positif tercapai. Sekaligus ini memiliki sisi lemah, ia akan dianggap tidak mempertimbangkan cukup aspirasi publik, yang berisiko akan kehilangan dukungan, bahkan dari mereka yang sebelumnya mendukung visinya.

Adaptasi terhadap pelatih baru membutuhkan waktu, yang bisa berdampak negatif pada performa Timnas di turnamen mendatang.

BACA JUGA: PSSI Resmi Pecat Shin Tae-yong

Langkah seperti ini bisa membuat pemimpin rentan terhadap serangan pribadi atau politik. ​Risiko terbesar bagi Erick adalah perlawanan dari fans dan media jika perubahan ini tidak menghasilkan perbaikan signifikan.

Terlepas dari semuanya itu, Erick menunjukkan keberanian untuk membuat perubahan besar, mengisyaratkan komitmennya pada visi besar Timnas.

Erick Thohir mencerminkan risk-taking leader dalam kerangka berpikir Howard Gardner yang mengambil langkah kontroversial namun visioner. Keputusannya mencerminkan kombinasi keberanian untuk menantang status quo, kemampuan adaptasi, dan fokus pada visi jangka panjang.

Akhirnya, keberhasilan langkah ini sangat tergantung pada komunikasi yang efektif, implementasi strategi baru, dan dukungan publik terhadap visi yang lebih besar untuk sepak bola Indonesia.

Editor: Eric Iskandarsjah Z

Related

award
SPSAwArDS