Ketika Kelas Menengah Terjebak Skema Harga Properti

marketeers article
Maju susah, mundur susah. Mungkin kalimat yang mampu melukiskan pasar properti pada tahun 2015 ini. Pasalnya, banyak pengembang berlomba-lomba meluncurkan hunian kelas menegah atas, baik berbentuk rumah tapak maupun apartemen. Padahal, pasar terbesar Indonesia saat ini adalah kelas menengah.
 
Pendapat itu dilontarkan oleh Ali Tranghanda, Executive Director Indonesia Property Watch. Menurutnya, pengembang harus mulai memikirkan untuk menggarap segmen properti kelas menengah dengan kisaran harga Rp 300 – 800 juta per unit. Daerah sanggah Jakarta seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi menjadi kawasan tumbuh suburnya hunian kelas menengah itu.
 
“Tahun 2015 akan ada tren resizing yang dilakukan beberapa pengembang properti. Yaitu dengan memperkecil luas bangunan dari properti yang dibangun, khususnya rumah. Rumah itu ditargetkan untuk konsumen kelas menengah. Sebab, pasar menengah atas tengah jenuh lantaran banyaknya pengembang yang bermain di segmen itu,” ucap Ali, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
 
Kendati tren resizing bakal terjadi, namun pengembang akan menghadapi berbagai kendala. Salah satunya terkait dengan behavior (perilaku) masyarakat kelas menengah. Ia memaparkan, ketika masyarakat kelas menegah itu dihadapkan pada pilihan rumah tapak atau apartemen dengan harga yang sama, mereka lebih memilih apartemen. Pertimbangannya, apartemen diasosiasikan sebagai bagian dari gaya hidup kosmopolitan.
 
“Anehnya lagi, banyak konsumen kelas menengah bilang rumah tapak seharga Rp 800 juta terlalu kecil. Padahal, apartemen seharga itu pun ukurannya lebih kecil lagi,” cetusnya.
 
Tak hanya pengembang, Ali juga mendorong pemerintah untuk memperhatikan nasib kelas menengah yang terjebak pada skema harga properti. Di satu sisi, mereka sudah tak sanggup membeli rumah komersial lantaran tingginya uang muka yang harus disetor. Di sisi lain, mereka juga tidak termasuk kalangan yang boleh mengambil rumah subsidi.
 
Ali menjelaskan, dengan penghasilan kelas menengah saat ini, mereka hanya mampu mencicil rumah Rp 1,5 – 2,5 juta per bulan. Artinya, daya beli konsumen kelas menengah untuk satu unit rumah senilai Rp 300 – Rp 400 juta. Biaya itu pun dicicil secara maksimal alias selama sepuluh tahun. Rumah seharga itu paling banyak ditemui di kawasan penyanggah Jakarta. Masalah muncul saat infrastrutktur seperti jalan dan transportasi tidak menunjang para  kelas menengah untuk dapat bulak-balik dari rumah menuju lokasi kerja dengaan cepat. Alhasil, banyak kelas menengah yang memilih menyewa apartemen di perkotaan.
 
“Tak hanya sektor informal saja yang menjadi perhatian pemerintah dalam membangun tempat tinggal. Seharusnya, pemerintah turut memfasilitasi hunian bagi kelas menengah ini. Sebab, 80% masyarakat perkotaan didominasi kaum menengah. Mereka berbeda dengan kelas atas yang bisa 'kabur' ke luar negeri. Kelas menengah, apapun yang terjadi di Indonesia, dia mau tidak mau akan tetap tinggal di sini,” terangnya.

Related