Kontribusi Sektor Industri pada PDB Sentuh 19,98% di Triwulan I-2020

marketeers article
Female scientist in protective mask sitting at the table with test tubes and microscope and she using syringe at the lab

Kontribusi sektor industri terhadap struktur Produk Domestik Bruto (PDB) nasional menyentuh 19,98% pada triwulan I-2020. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkna, pertumbuhan industri pengolahan non-migas berada di angka 2,01% sepanjang kuartal I-2020. Hal ini membawa dampak pada laju perekonomian nasional yang hanya mampu tumbuh 2,97%.

Merujuk laporan BPS, beberapa sektor industri pengolahan non-migas yang masih memcatatkan kinerja positif sepanjang tiga bulan pertama tahun ini adalah industri kimia, farmasi dan obat tradisional yang tumbuh 5,59%. Diikuti dengan industri alat angkutan (4,64%), serta industri makanan dan minuman (3,94%).

Sedangkan sektor yang terpukul paling parah oleh dampak pandemi virus corona, meliputi industri otomotif, logam, kabel dan peralatan listrik, semen, keramik, kaca, karet, mesin, alat berat, elektronika dan peralatan komunikasi, tekstil, serta mebel dan kerajinan.

“Yang terdampak moderat, antara lain adalah industri petrokimia, industri plastik, dan industri pulp,” imbuh Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Muhammad Khayam di Jakarta, Selasa (05/05/2020).

Pemerintah menurut Khayam bertekad memacu kinerja sektor industri agar terus mendorong roda perekonomian, namun dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

“Kami telah melakukan pemetaan kepada sektor-sektor industri yang terpukul karena pandemi COVID-19 Dari banyaknya sektor yang terimbas, ada beberapa sektor yang tetap memiliki demand tinggi yang bisa memperkuat neraca perdagangan. Secara ringkas, 60% adalah industri suffer, dan 40% industri yang moderat dengan demand tinggi,” kata Khayam.

Sektor manufaktur yang saat ini masih memiliki permintaan cukup tinggi di pasar adalah industri makanan dan minuman. Selain itu, industri yang terkait dengan sektor kesehatan, seperti industri alat pelindung diri (APD), industri alat kesehatan dan etanol, industri masker dan sarung tangan, serta industri farmasi dan fitofarmaka. 

Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengemukakan penurunan Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia karena merosotnya daya beli masyarakat selama pandemic. Berdasarkan rilis dari IHS Markit, PMI manufaktur Indonesia periode April 2020 berada di level 27,5.

“Ekonomi kita khususnya sektor industri manufaktur sangat tergantung dari kemampuan pasar dalam negeri atau konsumsi domestik. Assessment kami sekitar 70% hasil produksi industri manufaktur diserap pasar dalam negeri,” papar Menperin.

Maka ketika daya beli masyarakat tertekan, hal itu berdampak terhadap minimnya permintaan pasar. Secara otomatis perusahaan atau industri harus melakukan penyesuaian, termasuk penurunan drastis utilisasinya.

“Belum lagi dikaitkan dengan supply chain dari industri turunannya yang banyak tergantung dari industri besar atau industri induknya, pasti juga akan memukul supply chain tersebut,” ujat Agus. Menurutnya, kebutuhan dan ketersediaan bahan baku juga menjadi kendala, karena dikaitkan dengan demand yang ada.

Selain itu, indeks manufaktur yang menurun juga disebabkan oleh pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah. “Variabel penjualan dan input manufaktur kita 74% impor dan dengan tambahan tekanan kurs maka beban input meningkat. Akibatnya, output menurun signifikan,” tandasnya.

Namun demikian, Menperin Agus optimistis kegiatan industri akan segera normal bila Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dicabut nanti. “Industri manufaktur kita akan bergairah lagi, seperti PMI yang 51,9 di bulan Februari lalu,” tegas Agus.

Pandemi COVID-19 tidak hanya memengaruhi perekonomian dalam negeri. Sejumlah negara mitra dagang Indonesia turut terkontraksi akibat pembatasan aktivitas dan lockdown. Pertumbuhan ekonomi China merosot hingga -6,8% pada kuartal I-2020. Sementara, Amerika Serikat turun 0,3%, Singapura -2,2%, Korea Selatan 1,3%, Hongkong -8,9%, dan Uni Eropa -2,7%

Related