Kontroversi Virtual Influencer di Aktivitas Branding dan Marketing

profile photo reporter Marketeers
Marketeers
05 Desember 2023
marketeers article
Virtual Influencer Tabi (Foto: Marketeers/Hafiz)

Oleh Ardian Atmaka, Chief Operating Officer SAC Indonesia

Popularitas virtual influencer terus meningkat. Konsep virtual influencer pun menciptakan ruang baru di industri pemasaran melalui media sosial yang menggabungkan kreativitas digital dengan strategi pemasaran untuk mencapai tujuan tertentu.

Di luar negeri, ada beberapa yang cukup terkenal, seperti @lilmiquela yang berpenampilan manusia dan sering berbagi konten seputar gaya hidup, fesyen, dan isu-isu sosial. Sampai dengan artikel ini ditulis, ia memiliki akun Instagram dengan 2,7 juta pengikut. Ada juga @noonoouri yang fokus pada dunia fesyen dan sering bekerja sama dengan merek-merek high-end di industri mode. Penampilannya tidak seperti manusia, melainkan seperti animasi 3D.

Jika didefinisikan, virtual influencer adalah karakter atau persona yang dibuat secara digital dan bertindak sebagai influencer atau tokoh publik di platform media sosial. Mereka tidak nyata
secara fisik dan seringkali dikembangkan menggunakan animasi 3D, teknologi motion capture, augmented reality (AR) atau teknologi kecerdasan buatan (AI).

Teknologi ini dapat dikemas dengan memiliki penampilan yang sangat realistis atau mengambil bentuk animasi dan karakter fiksi.

Mereka dirancang untuk berkomunikasi dengan pengikut, membuat konten dan terlibat dalam berbagai kampanye pemasaran dengan cara yang serupa dengan influencer manusia. Mereka
dapat digunakan oleh merek dan perusahaan untuk mempromosikan produk, layanan atau pesan tertentu kepada audiens.

Lantas, di mana letak kontroversinya?

1. Transparansi dan Keaslian

Beberapa orang berpendapat bahwa penggunaan virtual influencer dapat menimbulkan kebingungan di antara konsumen tentang keaslian dan transparansi. Ada kekhawatiran
bahwa pengikut atau konsumen mungkin tidak menyadari bahwa mereka berinteraksi dengan karakter virtual dan bukan individu nyata.

2. Pemahaman Etika

Pertanyaan etika muncul seputar bagaimana teknologi ini diatur dan digunakan. Apakah mereka harus diatur oleh kode etik tertentu atau apakah mereka harus mematuhi prinsip-prinsip yang sama seperti influencer manusia dalam hal transparansi dan kejujuran?

3. Penggantian Pekerja Manusia

Ada kekhawatiran bahwa penggunaannya bisa menggantikan pekerjaan manusia di industri influencer marketing. Ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang dampak ekonomi dan pekerjaan manusia.

4. Kepuasan Konsumen

Sebagian konsumen mungkin tidak merasa terhubung dengan karakter virtual sebagaimana mereka bisa terhubung dengan influencer manusia. Hal ini bisa memengaruhi keberhasilan kampanye pemasaran dan pengaruh yang diinginkan.

BACA JUGA: Gaya Komunikasi Baru, PUMA Hadirkan Influencer Virtual

Kelebihan virtual influencer

Meski begitu, penggunaan virtual influencer memiliki kelebihan yang perlu dipertimbangkan oleh perusahaan dan pemasar, di antaranya adalah:

1. Kreativitas dan Kendali Penuh

Dengan virtual influencer, perusahaan memiliki kendali penuh atas penampilan, kepribadian dan pesan yang ingin disampaikan. Mereka dapat merancang karakter virtual sesuai dengan
merek dan strategi pemasaran yang diinginkan.

2. Ketersediaan dan Konsistensi

Sosok ini juga tidak terbatas oleh waktu atau batasan fisik. Mereka dapat beroperasi 24/7 tanpa kelelahan dan memberikan konsistensi dalam representasi merek di berbagai
platform dan zona waktu.

3. Penggunaan Teknologi Terkini

Influencer ini memanfaatkan teknologi terkini yang dapat memberikan pengalaman unik dan menarik kepada konsumen.

4. Potensi untuk Mengatasi Batasan Manusia

Virtual influencer dapat dirancang untuk melakukan tugas-tugas tertentu tanpa batasan yang mungkin dimiliki oleh manusia, seperti kemampuan untuk muncul di berbagai lokasi
secara virtual atau memiliki atribut fisik yang tidak mungkin dimiliki oleh manusia.

5. Terhindar dari Pemberitaan Negatif

Virtual influencer tidak seperti influencer manusia yang bisa saja terkena gosip atau pemberitaan negatif yang bisa menyebabkan situasi krisis bagi sebuah perusahaan, merek
atau kampanye yang sedang berjalan.

Bagaimana penggunaannya di Indonesia?

Ada beberapa merek atau perusahaan yang sudah menggunakan karakter virtual sebagai representasi layanan pelanggan mereka di media sosial. Salah satu yang menarik datang dari sebuah
kampanye yang menghidupkan karakter pada novel melalui seorang virtual influencer.

BACA JUGA: Karya Novel Terbaru Marchella FP Dikemas dengan Virtual Influencer TABI

Mungkin ini pertama kalinya di Indonesia di mana karakter sebuah novel bisa berbincang secara live dengan penulis dan juga penonton yang hadir di acara peluncurannya. Virtual Influencer ini diberi nama Tabi.

Sedikit berbeda dengan virtual influencer lainnya, akun TikTok @tabi.tabinda tumbuh secara organik seolah-olah seperti manusia biasa yang menceritakan perjalanan cintanya, sehingga
banyak pengikut yang merasa relevan karena memiliki pengalaman yang serupa.

Belakangan baru terungkap kalau ternyata akun TikTok @tabi.tabinda adalah karakter fiksi dari sebuah novel grafis. Novel yang diluncurkan pun konon habis terjual pada penjualan perdananya.

Ada yang kecewa karena merasa dibohongi, namun banyak yang senang karena akhirnya tau siapa di balik sosok misterius itu. Meskipun menimbulkan kontroversi, dari sudut pandang pemasaran, tujuannya terpenuhi.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related