Kurikulum SMK dan Vokasi Harus Menyesuaikan Industri

marketeers article

Program pendidikan sarjana dan diploma mungkin bukan lagi hal baru bagi masyarakat. Lalu, bagaimana dengan vokasi atau kejuruan? Program pendidikan ini menekankan keahlian praktis yang diperlukan pelajar ketika nanti lulus dan masuk ke dunia kerja.

Karena itu, meningkatkan pendidikan vokasi diyakini dapat membantu percepatan Indonesia untuk menjadi negara maju melalui kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang apik. Menyadari hal tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi) Kemendikbud Wikan Sakarinto mengatakan penting untuk menyesuaikan kurikulum dengan industri yang membutuhkan talenta-talenta baru.

“Saat ini kami sedang menyusun kurikulum untuk SMK dan vokasi agar ke depannya menjadi lebih agile, flexible, dan adaptif terhadap perubahan dunia kerja,” ujar Wikan pada sesi bertajuk Vokasi Talk di acara Jakarta Marketing Week (JMW) 2020, Government Day, Kamis (17/09/2020).

Dalam kesempatan yang sama, Wikan juga menjelaskan sejumlah poin yang akan diperhatikan untuk memastikan pendidikan vokasi yang diterima pelajar dapat berguna bagi mereka sebagai bekal kesuksesan.

Pertama, menerapkan kebijakan bahwa kurikulum tidak bisa disusun sendiri oleh kampus atau SMK. Penyeragaman ini nantinya akan dilakukan dan disetujui bersama dengan kelompok industri yang nantinya menyerap para lulusan siap kerja. Dengan keterlibatan kelompok industri ini diharapkan lulusan yang dihasilkan pun bisa memenuhi kebutuhan industri saat ini dan masa depan.

Kedua, perubahan pola pikir dari pengajar sehingga pembelajaran yang diterima pelajar tidak kaku. “Kami ingin memberikan pelajaran yang memang industry-based learning. Kenyataan di bawa ke kelas, pengajar di sini punya peran sebagai pelatih, mentor, bahkan fasilitator,” tutur Wikan.

Ketiga, 20% porsi waktu mengajar di SMK atau perguruan tinggi harus menghadirkan praktisi atau parea ahli di industri. Bukan hanya orang yang memiliki gelar pendidikan tinggi tetapi mereka yang benar-benar kompeten di bidangnya.

Keempat, menghadirkan sistem magang bagi pengajar. Hal ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan lebih bagi pengajar. Sehingga mereka bisa memahami lanskap industri dengan berbagai perubahan yang ada.

Kelima, meningkatkan soft skill para siswa. “Kami ingin para siswa memiliki soft skill yang tidak kalah dari hard skill yang mereka miliki. Karena, terkadang dalam pendidikan, banyak orang terlalu fokus pada hard skill dan menjadi terlalu fokus pada kognitif. Hal ini membuat pelajar fokus pada IPK yang tinggi namun lupa akan pentingnya keterampulan lain,” ungkap Wikan.

Menurutnya, sedini mungkin para pelajar harus memahami bahwa memiliki soft skill akan sangat berguna bagi mereka di saat bekerja nanti. Soft skill yang dimaksud di sini adalah kemampuan tentang komunikasi, melakukan presentasi, leadership, dan keberanian mengambil risiko.

Related