Lanskap Persaingan Harga dan Kualitas di Industri Desain Interior

marketeers article
Desain interior (Ilustrasi: 123RF)

Oleh Dimas Harry Priawan, Chief Executive Officer Dekoruma

Pemerintah baru saja mengeluarkan insentif PPN DPT. Di sini, pemerintah akan menanggung PPN untuk pembelian rumah Rp 2-5 miliar serta subsidi biaya administrasi sebesar Rp 4 juta untuk rumah masyarakat berpenghasilan rendah. Insentif ini digadangkan untuk menopang pembangunan ekonomi Indonesia dalam 1-2 tahun ke depan.

Kedatangan program ini bagaikan angin surga untuk pelaku bisnis furnitur dan interior desainer. Pertama, program ini ditujukan untuk rumah yang serah-terima hanya sampai 31 Desember 2024.

Biasanya, sebuah proyek perumahan memerlukan waktu tahunan sampai siap dihuni. Namun program ini hanya menyasar pada proyek perumahan yang sudah mau selesai, dan konsumen akan bisa langsung menghuni sampai akhir tahun ini.

Kedua, konsumen akan memiliki “tambahan pendapatan” ratusan juta yang diharapkan dapat dipakai untuk mengisi rumah tersebut. Selain mendongkrak permintaan terhadap furnitur dalam waktu singkat, saya melihat konsumen akan mulai meminta produk dan layanan yang lebih berkualitas.

Kompleksitas Dunia Interior Desain

Tidak seperti smartphone, dunia desain interior tidak mengenal tolok ukur harga dan kualitas. Sebuah kitchen set yang bentuknya mirip dapat dijual dengan harga yang jauh berbeda.

Sebagai contoh, konsumen tidak akan pernah tahu tipe dan kualitas papan kayu yang digunakan di dalam sebuah kitchen set. Meskipun sama-sama menggunakan plywood atau triplek, terdapat puluhan tipe dan kualitas yang beredar di Indonesia.

Hal ini ditambah dengan kurangnya pengalaman desainer interior dalam teknik produksi. Desainer sering terjebak mendesain sesuatu yang konsumen inginkan, tetapi tidak mudah dan aman untuk diproduksi.

Tidak jarang, saya menemukan kasus ketika konsumen kecewa meski sudah mengeluarkan uang puluhan atau ratusan juta, dan berganti-ganti desainer atau kontraktor di tengah berjalannya proyek.

Kerumitan ini membuat konsumen bingung akan definisi murah dan mahal. Di sisi lain, pemain interior sudah makin menjamur dan terus berlomba memberikan janji-janji manis dan harga yang semakin hari semakin murah. Hal ini dipastikan akan memberikan dampak yang buruk untuk industri interior dalam jangka panjang.

Fokus ke Material dan Proses Produksi

Saya merasa, sudah saatnya pelaku desain interior di Indonesia mulai mengedepankan atau ‘menjual’ material dan teknik produksi, lebih dari sekadar desain yang bagus dan harga yang murah.

Dengan cara inilah, konsumen lebih dapat memahami mengapa sebuah kitchen set yang dijual dengan harga Rp 2 juta per meter lari, tidak akan memiliki kualitas yang sama dengan yang dijual dengan harga Rp 3.5 juta per meter lari.

Salah satu contoh adalah material kayu di dalam kitchen set. Hampir semua negara-negara maju di Eropa, Jepang dan Amerika meninggalkan penggunaan plywood dan lapisan HPL.

Mereka sudah beralih dengan menggunakan material sejenis PLP (Premium Laminated Panel) dengan proses edging menggunakan lem polyutherene.

Akan tetapi di Indonesia, material triplek dianggap lebih kuat dan lebih tahan air. Padahal kunci utama ketahanan kitchen set, bukan di kayu, melainkan apakah air dapat menembus sisi dalam kayu melalui edging – atau pinggiran panel.

Proses produksi panel PLP juga harus menggunakan mesin-mesin khusus interior, seperti panel saw dan edge bander, yang jauh lebih presisi dibanding produksi manual dan pengeleman HPL menggunakan tangan.

Dengan mengedepankan faktor-faktor tersebut, konsumen akan semakin teredukasi dan membuat konsumen semakin kritis terkait janji-janji manis.

Persaingan akan menjadi sehat, dan industri interior desain dapat memanfaatkan insentif PPN DPT pemerintah untuk lebih berkembang.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related