Lupa Legalitas, Niluh Djelantik Relakan Mereknya Dicolong Orang

marketeers article

Do what you love, love what you do. Hal inilah yang rupanya menggambarkan awal mula Niluh Djelantik memulai usahanya. Perempuan Bali ini memulai usaha sepatunya pada tahun 2003 setelah selama delapan tahun berkarier di jalur profesional. Ia melepas jabatan terakhir sebagai direktur pemasaran karena alasan kesehatan dan beralih profesi dengan membuka usaha sendiri. Awalnya, ia mengaku belum mengetahui akan membuka usaha seperti apa. Namun, kecintaannya pada sepatulah yang menuntun Niluh membuka usaha sepatu dengan merek Nilou.

Di tengah perjalanan bisnisnya, ia bertemu seseorang yang sudah lebih dulu memiliki usaha sepatu non kulit yang dipasarkan ke Eropa. Niluh pun bekerja sama dengannya. “Saya bertanggungjawab dalam pembuatan desain, sampling, dan produksi. Sedangkan dia bertugas menjual produk-produk Nilou ke Eropa,” kata Niluh.

Awalnya produk Nilou sempat booming di Eropa. Celakanya, perjanjian dengan partner itu tidak tertulis di atas kertas. Niluh masih menjalankan kerja sama itu atas dasar kecintaan pada bisnis sepatu. Ia tidak memikirkan harga jual dan bentuk kerja sama seperti apa karena saking terpaku dengan pekerjaan.

Karena penjualan dari Eropa tidak bisa diandalkan, Niluh harus mencari pemasukan lain yang bisa menyelamatkan bisnisnya. Niluh akhirnya melakukan ekspansi ke Australia, Selandia Baru, dan Jepang. Niluh membuka pintu untuk merek-merek internasional di bidang fesyen yang ingin mengembangkan lini sepatu mereka. Niluh akan membantu merek internasional dari mulai proses desain, sampling, hingga produksi.

Sembari memproduksi sepatu pesanan merek lain, Nilou pun masuk ke pasar Australia dan Jepang. Penjualan sepatu Niluh Djelantik mengalami perkembangan, begitupun dengan di Eropa. Hingga akhirnya, Nilou sudah dipasarkan di 20 negara.

Di tengah keberhasilan produknya di berbagai negara, Nilou mendapatkan penawaran lain dari distributor Australia dan Perancis sebagai partner. Namun, Niluh menolaknya. Pasalnya, pihak Perancis menginginkan proses produksi dilakukan di Tiongkok.

“Kami memulai usaha dengan kecintaan kami terhadap sepatu, pekerjaan, dan keinginan kami untuk menunjukkan ke dunia internasional bahwa produk Indonesia berkualitas dan tidak kalah dengan merek-merek internasional. Jika produksi bisa dilakukan di sini kenapa mesti di luar negeri? Kami tidak tertarik meskipun dengan iming-iming keuntungan besar,” jelas Niluh.

Nilou Jatuh Ke Tangan Orang Lain

Tanpa sepengetahuan Niluh, pihak dari Australia dan Perancis yang berniat bekerja sama dengannya telah mematenkan merek Nilou dari awal. Mengetahui hal ini, Niluh merasa terpukul. Ia harus menerima kenyataan, merek yang ia lahirkan akhirnya “direbut” oleh pihak lain.

“Kami sempat down. Kepercayaan diri kami berkurang. Tapi, bisnis harus tetap berjalan. Kami masih punya mempunyai tenaga dan semangat untuk mengerjakan merek-merek internasional lain yang sudah berlangsung sejak tahun 2004,” paparnya.

Ia merelakan mereknya itu dipatenkan oleh orang lain. Ia tidak ingin membawa kasusnya ke ranah hukum. Menurutnya, hal itu akan membuat permasalahan menjadi runyam. Hingga akhirnya, atas saran pelanggannya dari Spanyol, Niluh memutuskan untuk membuat merek baru. Setelah sekian waktu memilih nama, Niluh meminta izin kepada ayahnya untuk memakai nama keluarga untuk usaha sepatunya. Sehingga, terciptalah merek Niluh Djelantik.

“Saya pun mulai membuat logo dengan dibantu sahabat. Setelah itu, kami langsung mendaftarkan merek kami. Kami belajar dari pengalaman sebelumnya. Apapun bidang usahanya, kita harus melegalkan baik nama merek maupun logo usaha kita,” pungkas Niluh.

    Related