Marketing Lessons from SOUTH AMERICA VOYAGE: Navigation, Activation and Production

marketeers article

PRE VOYAGE

Setelah MarkPlus Conference ke 7 tanggal 13 Desember, dan MarkPlus Annual Gathering tanggal 15-16 Desember tahun lalu, saya langsung terbang ke Los Angeles via Singapura. Kali ini tujuan utamanya adalah melakukan sedikit eksplorasi tentang Amerika Selatan.

Kenapa? Karena ketika saya ke Mexico City untuk berbicara tentang “Marketing 3.0” di Kampus Iberoamericano dua tahun sebelumnya, saya diajak melihat Museum Suku Maya. Nah, suku Indian paling pintar inilah yang mempunyai Kalendar yang menghebohkan seluruh dunia.

Tanggal 21 Desember 2012 disebut sebagai berakhirnya Kalender Jangka Panjang mereka dan orang menghubungkan dengan ramalan Notradamus, serta akan datangnya Planet Nibiru yang bakal menubruk bumi! Tentu saja, saya tidak percaya akan ramalan itu. Tapi saya tetap tertarik ke Amerika Selatan yang punya berbagai suku Indian.

Hanya transit semalam dan sempat makan malam dengan Konsulat Jenderal RI di Los Angeles Hadi Martono, saya langsung terbang ke Lima yang dilanjutkan ke Cusco.

Cusco adalah kota kecil dan tua di Peru, yang merupakan pusat pemerintahan Inka di zaman jayanya. Hotel saya, Novotel adalah bekas rumah tua yang terletak di gang kecil sehingga sangat antik. Tapi cukup jalan kaki sepuluh menit untuk mencapai Plaza de Armas atau Main Square. Disitulah tempat penduduk Cusco berkumpul, karena banyak tempat duduk di tempat terbuka.

Suasana Natal pun sangat terasa, karena ada replika kandang kelahiran Jesus Kristus. Tempat itu juga dikelilingi Katedral, Gereja biasa, Museum dan berbagai toko dan restoran tradisional.

Dari City Tour, saya menjadi mengerti bahwa orang Peru bangga sekali akan suku Inka yang merupakan penduduk asli di situ. Mereka menganggap bahwa Maya dan Inka adalah dua suku yang memang pintar dalam ilmu perbintangan, kesehatan, geografi dan lain-lain di zaman dahulu. Bedanya, kerajaan Inka zaman dulu sangat luas, yaitu masuk ke Ekuador dan Bolivia di Utara, Argentina di Timur dan Chili di Selatan.

Ketika itu tanggal 19 Desember 2012, dan saya bertanya pada pramuwisata, “Apakah besok lusa jadi kiamat?”. Dan pramuwisata itu menjawab, “Ha ha ha, we are in Peru now! You don’t need to believe to Maya Calendar. We have our own Inka Calendar!”

Lantas, dengan bangganya dia menunjukkan bangunan Inka tanpa semen dengan batu-batu yang berbentuk trapesium disusun menjadi sesuatu yang kokoh. Bangunan itu sudah tidak utuh dan terletak di dalam bangunan ala kerajaan Spanyol zaman dulu.

Konon, orang Spanyol ingin menghancurkan semua bangunan Inka itu dan mengajarkan budaya Eropa termasuk Kristen. Di Katedral Katolik Cusco, saya juga banyak melihat simbol tiga binatang yang amat disucikan Inka, yaitu Burung Besar, Macan Puma dan Ular Berbisa.

Mereka dianggap penguasa udara, bumi, dan bawah tanah! Itu jadi bukti bahwa orang Spanyol pun menerima tradisi lokal ketika mau mengajarkan Kristen di Peru.

Besoknya saya naik kereta api khusus Cusco-Machu Picchu. Perjalanan selama dua setengah jam itu indah karena melewati banyak bangunan Inka. Gerbong pun dibuat khusus dengan jendela besar dan atap transparan.

Wisatawan yang ingin mengeksplorasi lebih intensif banyak yang membawa mobil dan singgah di beberapa tempat sebelum Machu Picchu. Setibanya di stasiun, saya melihat banyak sekali bus yang siap membawa orang-orang naik ke atas gunung untuk melihat Machu Picchu.

Sebuah Kota Inka zaman dulu yang lengkap dan tidak tersentuh Spanyol, karena tidak ditemukan! Akhirnya saya melihat dengan mata kepala sendiri, foto Machu Picchu yang ada di internet itu.

Wow! Memang dahsyat melihat bagaimana orang Inka zaman dulu bisa membuat kota semacam itu di atas gunung. Bangunan khas dari batu-batu trapesium yang disusun tanpa semen. Ada dua bagian, yaitu tempat penduduk tinggal, bermain, memberikan persembahan dan berkumpul. Juga ada bagian pertanian yang mirip subaknya Bali, berlapis ke bawah di lereng gunung!

Saya telusuri hampir semua bagian penting Machu Picchu, termasuk menikmati berbagai keindahan Inka Wall, sebelum balik ke bawah dengan bus dan balik ke Cusco dengan kereta.

Besoknya pas tanggal 21 Desember 2012, saya dibangunkan alarm yang saya setting di iPhone dan langsung berteriak tanpa sadar. I SURVIVE THE END OF THE WORLD!

Saya juga langsung putar lagu “I will Survive” keras-keras dari iPhone, sebelum mandi. Pagi itu, di lobi hotel, orang bersalam-salaman karena semuanya ‘survive’ dari kiamat! Lucu juga melihat semua itu, tapi saya sangat menikmatinya.

Hari itu, saya terbang balik ke Lima, city-tour sebentar, ketemu Dubes RI Berty Fernandes dan langsung terbang ke Santiago, ibukota Chile.

 

Saya tiba hampir tengah malam, tapi langsung ke Vina Del Mar untuk menginap di Sheraton Hotel. Dua tahun lalu, saya pernah mampir ke kota pinggir pantai yang cantik itu. Kali ini, saya memilih stay di situ karena besoknya, tanggal 22 Desember, saya harus check-in di Celebrity Infinity di Pelabuhan Valparaiso.

 

Ada tiga pelajaran Tourism Marketing dari Machu Picchu di Peru ini. Pertama, sebagai negara yang relatif kecil di Amerika Selatan dengan Nation Branding yang kurang kuat, mereka FOKUS pada Machu Picchu. Hal itu terlihat dari semua infrastruktur yang cukup bagus untuk mencapai destinasi yang begitu terpencil.

Kedua, Machu Picchu adalah suatu AUTHENTICITY hasil kreatifitas manusia zaman dulu, yang akhirnya jadi budaya dan peradaban. Tahun lalu, mereka menutup Machu Picchu untuk sementara waktu demi keperluan restorasi. Alasannya mereka khawatir Machu Picchu rusak akibat  dikunjungi terlalu banyak orang.

Ketiga, paket Machu Picchu biasanya didahului dengan Cusco City Tour, supaya wisatawan bisa  menghargai peradaban Inka. Jadi sebenarnya yang mereka jual adalah Inka CIVILISATION, bukan sekedar reruntuhan Machu Picchu!

Itulah PDB atau Positioning-Differentiation-Branding yang cukup tajam dari Machu Picchu.

THE VOYAGE

Ini adalah pelayaran atau Cruise saya yang kelima. Perjalanannya berlangsung selama 15 hari dari Valparaiso ke selatan dan putar balik di Cape Horn ke utara dan berhenti di Buenos Aires.

Terus terang saya memang jadi addicted dengan cruise sejak pertama kali melakukan River-Cruise di Sungai Nil dan melewati Terusan Suez di Mesir di tahun 2010. Kala itu kapal kecil bermuatan 500 orang itu berlayar hanya selama tiga hari, dan singgah di beberapa tempat bersejarah di tepi Sungai Nil.

Pada tahun 2011, saya kembali naik “Ms Statendam”, yang punya kapasitas 2.500 orang milik Holland American Line dengan durasi perjalanan seminggu di Alaska, sebagai kelanjutan seminggu tur darat.

Setelah itu, masih di tahun yang sama, saya kembali nge-cruise dengan “Crystal Serenity” selama dua minggu di Norwegia. Inilah kapal yang sering disebut Bintang Enam dengan daya tampung tidak sampai 2.000 orang, namun sangat mewah.

Selanjutnya pada 2012 lalu, saya mencoba kapal terbesar di dunia, yaitu “Allure of the Seas” yang berdaya tampung hingga 8.000 orang. Itulah ‘the floating city’ yang memiliki berbagai outlet, seperti Starbucks, Johnny Rocket, bahkan Musical Chicago!

Nah, kali ini saya sengaja ingin menikmati suasana Natal dan Tahun Baru di atas laut! Kali ini, kapasitas kapal adalah 2.500 orang. Jenisnya adalah Millenium dan sudah berusia lebih dari sepuluh tahun.

Terus terang, setelah merasakan Serenity yang bintang enam dan Allure yang sangat besar dan baru, Infinity menjadi terasa agak kurang mewah dan besar! Itulah perasaan saya sebagai seorang ‘frequent cruiser’, yang kalau dibandingkan dengan orang-orang lain yang fanatik pada cruise menjadi tidak ada apa-apanya.

Sebab, di kapal, saya sering bertemu orang yang sudah berlayar sampai puluhan kali, bahkan ada yang sampai lima puluh enam kali. Bahkan, di majalah kapal dimuat foto-foto orang yang sudah melampaui seratus kali!

Tapi tetap aja, setelah mengakhiri pelayaran di Buenos Aires tanggal 6 Januari 2013, saya mengakui ada ‘keunikan’ yang diciptakan Infinity untuk mengimbangi kekurangannya.

Ada tiga hal yang bisa dipelajari di sini. Pertama, NAVIGATION BY THE CAPTAIN. Berbeda dengan kapten kapal Allure yang sangat ‘fashion’ bahkan suka naik sepeda motor Harley di atas kapal dan berfoto dengan penumpang, kapten Infinity sangat tenang dan berwibawa.

Tapi dia berkeliling setiap hari untuk memberikan ketenangan pada penumpang dan semangat pada awak kapal. Ketika pada suatu malam ada goncangan besar di kapal karena kerasnya petir, sang kapten mengumumkan tentang tips yang harus dilakukan penumpang. Navigasi atau jalannya kapal memilih rute memang sangat penting, karena di laut cuaca gampang berubah. Juga banyak kapal lain dan gunung es yang sering tidak terlihat mata.

Tentunya Anda masih ingat dengan Titanic yang tenggelam seratus tahun yang lalukan? Kesalahan ada pada Kapten Kapal yang tidak jeli dalam navigasi, memandang enteng cuaca, dan malahan ikut pesta dengan penumpang.

Di konsep Strategic Marketing, saya selalu memulai dengan model 4 C (Company, Competitor, Customer dan Change ). Seorang CMO atau Chief Marketing Officer adalah seorang navigator yang harus pakai ‘Radar 4 C’ itu!

Sebuah Brand (Company) seolah mengalami pelayaran dalam cuaca yang berubah-ubah (Change), bersaing bersama Brand lain (Competitor) untuk kepuasan pelanggan (Customer). Seorang CMO harus terus me-review dan mengantisipasi apa yang akan terjadi dengan radarnya, supaya sebuah Brand jadi sustainable, seperti sebuah kapal yang harus berlayar dengan selamat.

Kedua, ACTIVATION BY CRUISE DIRECTOR.

Sadar bahwa teknologi di Infinity tidak secanngih di Allure atau Oasis milik Royal Carribean, maka Infinity mengandalkan kreativitas. Alejendro, orang Argentina yang menjadi Cruise Director itu boleh dikatakan tidak pernah tidur. Pagi-pagi pukul 06.00, dia sudah tampil secara ‘live’ di TV bicara tentang acara-acara hari itu. Dia lantas memimpin sendiri berbagai acara di berbagai bagian kapal sampai tengah malam!

Tentu saja, dia didampingi berbagai ahli seperti destination speaker, zumba trainer, tango dancer, trivia facilitator, dan lain-lain. Tapi dia sendiri memimpin banyak acara yang melibatkan penumpang sampai malam. Alejendro selalu menganjurkan pada penumpang untuk sebanyak mungkin mengikuti program yang sudah disiapkan.

Dengan demikian, di samping hal-hal basic di cruise seperti Dining Room yang indah, Swimming Pool, beserta Sauna, Gym Rooms dan sebagainya, Infinity mengesankan karena boleh dikatakan paling hebat dalam urusan human touch-nya. Bahkan, boleh dikatakan PDB Infinity adalah ‘High Touch Cruise’ walaupun tidak terlau High-Tech.

Kenapa? Karena semua aktivitas ‘dibungkus’ dengan ‘customer involvement’. Itu juga yang harus dilakukan oleh seorang MARKETING GENERAL MANAGER!

Dalam posisinya yang merupakan middle manager, dia harus bisa menerjemahkan ‘manuver’ yang dilakukan oleh sang CMO sebagai Navigator. Dia juga harus jadi seorang ACTIVATOR yang memastikan bahwa semua aktivitas yang dilakukan semua orang adalah memperkuat PDB yang sudah ditentukan, sesuai dengan kekuatan dan kelemahan sendiri. Keunikan dari Brand harus dijaga supaya makin nyata dibanding pesaing.

Ketiga, PRODUCTION BY OUTLET MANAGER. Di Infinity, saya melihat betapa kerasnya usaha dari tiap-tiap outlet manager untuk menarik penumpang agar mampir ke tempatnya. Restoran QSINE, misalnya yang merupakan sebuah resto spesial yang menyediakan menu dari seluruh dunia dengan presentasi unik.

Manager keliling kapal menawarkan menu pada penumpang beserta videonya melalui iPad. Sedang Shore Excursion Manager juga giat mengundang orang untuk mendengarkan Destination Presentation sampai menyediakan lucky draw. Berbagai cara menarik dilakukan oleh semua outlet untuk meningkatkan produksinya.

Inilah yang akhirnya harus dilakukan di perusahaan. PRODUCTION BY MARKETING MANAGER. Bukan hanya manajer pabrik yang harus memproduksi, tapi orang pemasaran harus makin produktif dalam peningkatan omzet.

Tentunya dengan cara-cara yang menyenangkan dan jujur, bukan dengan selalu melalakuan ‘push’ pada customer. Saya memang tidak bisa berhenti berpikir dan belajar di perjalanan. Justru travelling is the best time to observe and learn buat saya.

Kenapa? Karena tidak ada gangguan, terlepas dari pekerjaan rutin dan bisa belajar dari praktek orang lain. Perjalanannya sendiri buat saya sangat mengesankan. Meski tidak melihat banyak bongkahan es seperti di Alaska, saya sangat menikmati laut di selatan, terutama di dekat titik terselatan Cape Horn yang memiliki ombak sangat dahsyat. Sebelum mengitari Cape Horn, saya berhenti di Puerto Montt di Chili pas tanggal 24 Desember.

Sebuah kota pelabuhan yang terpengaruh Jerman, karena Raja Chile pernah mengundang orang orang Jerman untuk membangun kota itu. Disitu, ternyata suku Indiannya adalah Mapuche yang tidak seterkenal Maya dan Inka.Tapi orang Mestizo, yaitu campuran Eropa dan Indian banyak yang keturunan Mapuche.

Ada beberapa bukti bahwa VOC pernah berdagang di situ dan membawa orang Indonesia. Bahkan beberapa peninggalan Mapuche mirip Indonesia. Kembali ke kapal, seluruh perwira kapal bernyanyi lagu lagu Natal bersama penumpang di Grand Foyer. Sesudah menyaksikan Christms Show by Celebrity Infinity Singer and Dancer di Teater, saya sempat ikut misa tengah malam di situ juga.

Sang Pastor sempat bercanda bahwa Natal ini dianggap sebagai dimulainya era baru penuh perdamaian setelah dunia tidak jadi kiamat. Tanggal 27 Desember, kapal berhenti di Punta Arenas, Chili.

Disitulah saya melihat Penguin yang hidup bebas, tapi hanya di musim panas di sebuah pulau, yang harus ditempuh dengan feri selama dua jam. Di musim dingin, burung-burung lucu itu pergi ke Utara.

Perhentian berikutnya adalah Ushuaia, kota paling selatan di muka bumi dan masuk wilayah Argentina. Kota ini dulu merupakan pelabuhan besar sebelum ada Terusan Panama, karena disinggahi kapal-kapal dari Atlantik ke Pasifik dan sebaliknya. Ushuaia juga disebut The End of the World atau FIN DEL MUNDO dalam bahasa Spanyol.

Tepat seminggu setelah 21 Desember, yaitu tanggal 28 Desember saya ‘survive’ dan kembali di The End of the World yang lain! Selanjutnya kapal mengitari Cape Horn, yang masuk wilayah Chili dan berlayar ke Utara dan berhenti di Puerto Madryn, Argentina. Di sana saya melihat Sea-Lion dan mampir di Gaiman, kota kecil dengan pengaruh kebudayaan Inggris.

Menjelang berhenti di Buenos Aires, saya sempat mampir di Punta Del Este dan Montevideo yaitu tempat berlibur dan ibukota Uruguay. Sebuah negara kecil dengan penduduk 3,2 juta orang tapi punya pendidikan yang tinggi.

Kapal masuk Buenos Aires tanggal 5 Januari, dan saya ikut tur ke Iguazu yang juga masuk ‘new seven wonders of the world’ untuk kategori ‘nature’ seperti Taman Nasional Komodo. Air terjun yang juga masuk wilayah Brizilia itu memang dahsyat. Tapi buat saya tidak terlalu mengesankan seperti Machu Picchu.

Buat saya, Creative-Tourism termasuk Culture-Tourism lebih menarik ketimbang Nature-Tourism karena ada buah karya kreativitas manusia yang bisa dikagumi.

POST VOYAGE

Setelah keluar dari kapal pada tanggal 6 Januari, saya memutuskan untuk tinggal di Buenos Aires sampai tanggal 10 Januari. Tinggal hampir empat hari di kota Amerika Selatan yang paling banyak dikunjungi wisatawan ini menimbulkan kesan tersendiri bagi saya.

Bayangkan saja, begitu saya ikut city-tour, Kepala Urusan Administrasi ad Interin (KUAI) KBRI Indonesia Budhi Prihantono mengingatkan agar saya super hati-hati! “Ini bukan untuk nakutin ya, pak. Tapi sebaiknya ber-hati-hati, ya.” Itu pesan SMS-nya ke saya, sebelum bertemu.

Ternyata peringatan itu benar, bahkan sangat benar. Saya melihat dengan mata dan kepala sendiri ada dua orang perempuan yang berjarak dua meter dari saya mau dirampas kamera-nya di tengah siang hari bolong. Tepatnya di daerah Puerto Meduro, daerah elit dekat pelabuhan, ketika kami semua menyeberang jalan mau ke arah Florida, tempat Mal Gloria Pacifica berada.

Karena tidak berhasil, si penjambret melarikan diri dan membonceng sepeda motor yang dilarikan temannya. Wow! Inilah pertama kali seumur hidup saya melihat kejadian seperti itu. Di Buenos Aires lagi!

Sekali lagi saya ‘survive’! Kali ini dari penjambretan tanggal 6 Januari 2013! Untung bukan saya yang dikerjain. Padahal si penjambret melihat saya dua kali sebelum akhirnya ‘memilih’ orang lain.

Besoknya ketika saya singgah di KBRI, saya bertemu Margareta, cewek asal Indonesia yang kejambret seminggu lalu di keramaian Florida sampai kehilangan paspor! Ternyata penjambretan semacam itu sudah ‘sangat biasa’ terjadi di Buenos Aires, yang sering disebut ‘Paris of South America’ itu.

Bahkan, katanya, setahun sebelumnya, ada wisatawan Prancis mati ditikam pisau oleh penjambret karena berusaha mempertahankan kameranya. Lokasinya pas di depan hotel Park Tower, Sheraton Hotel yang saya tinggali.

Di situ memang ada tempat penghormatan para Pahlawan Malvinas. Pulau yang sampai sekarang disebut Falkland dan dikuasai oleh Inggris. Padahal di depannya, pas di sebelah hotel saya, terdapat Monumen berbentuk Big Ben kecil sumbangan Komunitas Inggris. Tapi di samping penjambretan -bahkan dulu banyak penculikan orang kaya-, Buenos Aires memang sangat cantik.

Kota ini punya banyak kafe dipinggir jalan mirip Paris. Tapi jalannya juga tertata mirip kotak-kotak seperti New York. Dengan sedikit was was, saya tetap saja menelusuri seluruh kota dengan jalan kaki dan naik taxi, dan juga diantar staf lokal KBRI.

Bagi saya ada tiga hal menarik tentang Buenos Aires. Pertama, Buenos Aires is Evita Peron. Perempuan yang nama aslinya Maria Eva Duarte ini isteri bekas presiden tiga kali Juan Peron, yang ceriteranya diabadikan di Museo Evita di daerah Palermo. Saya juga sempat mengunjungi kuburannya di Recoleta Cemetery dan melihat gedung di mana dia melakukan pidato bersejarah di Plaza Majo pada tahun 1951.

Kedua, Buenos Aires is Tango! Tarian yang sexy tapi elegan ini ternyata berasal dari daerah yang sekarang disebut La Boca. Dulu di daerah ini, banyak pelaut singgah dan mampir di rumah bordil. Sampai sekarang, La Boca masih menjadi tempat orang miskin. Tapi saya memberanikan diri ke sana, karena banyak toko suvenir dengan latar belakang gedung warna warni. Saya juga bisa belajar Tango di tengah jalan! Saya juga sempat nonton Tango Porteno, di dekat Obelisk semacam Monas-nya Buenos Aires. Ini adalah show khas mirip Broadway di New York.

Ketiga, Buenos Aires is Football! Video Maradona muda dengan kostum nomer 10, ketika Argentina mengalahkan Brazilia diputar di mana-mana. Boca Junior yang punya sekolah sepakbola di Jakarta milik teman saya Sihar Sitorus, ternyata stadion dan museumnya ada di daerah La Boca.

Tidak besar dan megah seperti punya River Plate yang ada di daerah elit Nunies. Dengan pakai Boca Jr Cap, saya sering disapa orang di Buenos Aires. Baik yang ngefans atau yang benci Boca sebagai club nomer satu! Lantas apa persamaan Evita, Tango dan Bola? Semuanya berpihak pada rakyat kecil.

Evita adalah seorang gadis dari desa yang akhirnya jadi tokoh pembela orang miskin. Tango berasal dari pelacur di daerah kumuh yang akhirnya mendunia setelah disukai orang Perancis. Sedang klub bola nomer satu Boca Junior memiliki lambang tim rakyat kecil.

Che Guevara, gerilyawan dambaan anak muda sedunia juga orang Argentina. Presiden Argentina sekarang disebut CFK atau Cristina Fernandez Kirchner adalah bekas istri presiden dua kali. Dia sering dijuluki The New Evita karena juga berjuang untuk para pekerja.

Bulan Januari yang lalu, CFK membawa banyak pengusaha ke Indonesia. Karenanya, Dubes RI Nurmala Kartini Sjahrir tidak berada di tempat ketika saya di Buenos Aires. Beliau sibuk mempersiapkan pertemuan CFK dan SBY.

Ekonomi Argentina sedang mengalami inflasi besar, yaitu 26% pada tahun lalu. Mata uang dollar AS  pun dibatasi. Akibatnya ‘blue dollar’, atau yang di pasar gelap dihargai sampai 6,7 Peso. Padahal nilai tukar resminya hanyalah 4,7 Peso.

Pada hari terakhir, saya naik Radio Taxi, yang menjadi ‘Blue Bird’ nya Buenos Aires. Dia salah membawa saya balik ke Sheraton Libertador, bukannya Park Tower. Di luar dugaan saya, supir taxi memotong sendiri ongkos taxinya sebesar 10 peso sambil meminta maaf.

GRACIAS!

So? Don’t Cry for me, Argentina! Buenos Aires is so Romantic, Beautiful and Eupropean!

 

Related