Masa Depan Media Cetak, dari Digitalisasi hingga Masalah Gaji

marketeers article

Penurunan tingkat kepembacaan selama beberapa tahun terakhir, memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap keberlangsungan media cetak. Salah satu dampaknya adalah terjadinya pengurangan belanja iklan yang menyebabkan beberapa media cetak harus berhenti beroperasi atau beralih ke format digital.

Awal Januari 2018 menjadi pembuka yang tak mengenakkan bagi dunia media cetak. Majalah musik Rolling Stone mengumumkan untuk tidak beroperasi penuh setelah 12 tahun berkiprah di lanskap media nasional. Majalah yang diterbitkan oleh PT a&e Media sebagai pemegang lisensi menambah dereran panjang media cetak nasional yang mesti tumbang di tengah arus digitalisasi.

Tren tersebut sejatinya sudah dibayangkan oleh para praktisi media. Asosiasi Surat Kabar dan Percetakan Dunia (World Association of Newspaper and News Publisher/WAN-IFRA) pada tahun 2012 pernah menyebut bahwa sebanyak 1% perubahan yang terjadi di sirkulasi media cetak dapat menyebabkan 3% perubahan pendapatan iklan.

Nielsen Indonesia mencatat, jumlah media cetak mengalami penurunan, khususnya majalah dari 162 judul pada tahun 2012 menjadi 96 judul pada tahun 2017. Sedangkan surat kabar turun tiga judul dalam periode yang sama, yaitu dari 102 menjadi 99 judul.

Survei bertajuk Nielsen Consumer & Media View (CMV) Q3 2017 itu juga melansir bahwa saat ini media cetak (termasuk koran, majalah dan tabloid) memiliki penetrasi sebesar 8% dan dibaca oleh 4,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, 83%nya membaca koran. Alasan para pembaca masih memilih surat kabar adalah nilai berita yang dapat dipercaya.

Hellen Katherina, Direktur Eksekutif Nielsen Media menuturkan elemen trust terhadap konten berpengaruh terhadap iklan yang ada di dalamnya. “Sehingga keberadaan koran sebagai media beriklan sangat penting untuk produk yang mengutamakan unsur trust, seperti produk perbankan dan asuransi,” ujarnya saat menjelaskan survei yang dilakukan di sebelas kota dengan mewawancarai 17.000 responden ini.

Sementara itu, sambung Hellen, tabloid atau majalah lebih menekankan pada kisah atau tajuk utama yang diangkat. Tutupnya sejumlah majalah mengindikasikan bahwa media cetak mulai ditinggali oleh para pembacanya, dan tentu saja oleh para pengiklan.

Lebih spesifik lagi, media-media yang mengulas gaya hidup merupakan yang cukup banyak tumbang. Hal ini dikarenakan berita terkait gaya hidup saat ini jauh lebih mudah dan cepat diperoleh dari media-media online.

Apabila dilihat dari profil pembaca, media cetak di Indonesia cenderung dikonsumsi oleh konsumen dari rentang usia 20-49 tahun (74%), memilki pekerjaan sebagai karyawan (32%), dan mayoritas pembacanya berasal dari kelas atas (54%). Ini menunjukkan bahwa pembaca media cetak masih produktif dan dari kalangan yang mapan.

Pembaca media cetak juga merupakan pembuat keputusan dalam rumah tangga untuk membeli sebuah produk (36%). Membaca buku adalah salah satu hobi dari konsumen media cetak. Selain membaca, mereka juga lebih cenderung menyukai traveling. Tiga dari empat pembaca media cetak mengakui tidak keberatan saat melihat iklan karena iklan adalah salah satu cara untuk mengetahui produk terbaru.

Pembaca media cetak di satu sisi juga merupakan pembaca media online. Bahkan, penetrasinya jauh lebih tinggi ketimbang membaca media cetak. Berdasarkan survei yang sama, frekuensi penggunaan internet di antara pembaca media cetak mencapai 86%, alias di atas rata-rata 61%

Sampai dengan Q3 2017, jumlah pembaca versi digital telah mencapai enam juta orang dengan penetrasi sebesar 11%. “Ini membuktikan bahwa minat membaca tidak turun, tapi hanya berganti platform saja,” tambah Hellen.

Hal ini dapat diamati dari tingginya penetrasi kepembacaan digital di beberapa kota di Pulau Jawa seperti, area Bandung dan sekitarnya (25%), Surakarta (22%), Yogyakarta dan sekitarnya (19%), Semarang dan sekitarnya (12%) serta Jakarta dan sekitarnya (11%).

Sementara itu, di luar Pulau Jawa, kebanyakan pembaca masih lebih banyak membaca dalam bentuk cetak. Artinya, masih ada peluang bagi perusahaan media cetak untuk meningkatkan penetrasi di daerah luar Pulau Jawa.

Dilihat dari sisi belanja iklan, meskipun jumlah pendapatan belanja iklan turun 11% dari tahun 2013 ke tahun 2017, namun total pendapatan iklan surat kabar masih sebesar Rp 21 triliun. Pendapatan iklan majalah turun lebih anjok lagi, yakni bisa mencapai lebih dari 29%.

Kesejahteraan Jurnalis

Kepemirsaan yang menurun lantaran disrupsi media online memang menjadi akar dari tutupnya sejumlah media cetak di Indonesia. Namun, itu bukan satu-satunya masalah yang dihadapi media cetak. Kesejahteraan jurnalis juga menjadi indikator.

Pasalnya, yang membedakan media cetak dengan media online adalah kebenaran dan kedalaman berita yang disajikan. Sementara, banyak dari media online hanya mengutamakan kecepatan berita saja. Sayangnya, sebagian besar upah jurnalis di negeri ini masih jauh dari kata layak.

Asosiasi Jurnalis Indoneisa (AJI) menekankan pentingnya kesejahteraan bagi jurnalis dalam upaya meningkatkan kualitas pemberitaan. Sebab, ketika kesejahteraan jurnalis terpenuhi, dapat menciptakan produk jurnalistik yang berguna bagi publik.

Sampai saat ini, AJI masih menemukan sejumlah media di Jakarta yang mengupah jurnalisnya di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Salah satu temuannya, masih adanya jurnalis yang diupah Rp 3,4 juta walau telah mengabdi selama sepuluh tahun. Rata-rata media yang disurvei AJI mengupah jurnalisnya sebesar Rp 4 juta.

Jika Jakarta menjadi acuan, menurut AJI, upah layak bagi jurnalis pemula pada tahun 2018 sebesar Rp 7.96 juta. Angka tersebut meningkat bila dibandingkan dengan upah layak pada tahun lalu yang sebesar Rp 7,54 juta. Angka itu timbul dari survei yang dilakukan AJI kepada jurnalis berdasarkan pada kebutuhan dasar mereka.

Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim kepada sejumlah media mengatakan bahwa jurnalis merupakan profesi yang membutuhkan keahlian khusus dan rentan terkena masalah hukum. Sehingga sangat layak untuk diberikan upah take home pay di atas UMP.

Jurnalis yang menerima upah secara layak bisa bekerja profesional dan tidak tergoda menerima ‘sogokan’ dari narasumber. “Upah yang layak memajukan industri media cetak dengan menghasilkan mutu yang lebih baik,” tuturnya.

Editor: Sigit Kurniawan

Related