Masa Depan Riset: Hybrid-Research Approach

marketeers article
Ilustrasi riset. (FOTO: 123RF)

Oleh:Hasanuddin Ali, Founder and CEO Alvara Research Center

Bayangkan suatu hari Anda atau perusahaan Anda ingin tahu bagaimana pendapat orang tentang produk dan jasa baru yang akan Anda luncurkan. Apakah mereka suka? Fitur mana yang paling berguna? Apakah mereka akan merekomendasikannya ke teman? Atau juga informasi-informasi yang lain.

Dulu, Anda mungkin akan menyewa perusahaan atau lembaga riset untuk menyebar kuesioner ke ratusan atau bahkan ribuan responden. Butuh waktu berminggu-minggu, biaya mahal, dan hasilnya datang saat tren sudah lewat. Tapi kini, semua itu berubah. Di era digital, pendekatan riset pemasaran tidak lagi bisa satu cara, perlu ada pendekatan lain yang lebih komprehensif untuk memotret perilaku konsumen lebih cepat dan tepat.

Industri riset terutama riset pemasaran memang tengah mengalami transformasi besar akibat disrupsi digital. Ledakan data dari media sosial, pertumbuhan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), dan perubahan perilaku konsumen memaksa pelaku riset untuk mengadopsi pendekatan baru.

Jika dulu survei konvensional menjadi andalan utama, namun pendekatan ini menurut saya tidak lagi memadai, perlu ada pendekatan lain yang bisa mengakomodir kebutuhan data yang lebih cepat, lebih relevan, dan lebih konstekstual yang bisa momotret kondisi yang sebenarnya terjadi di pasar.

BACA JUGA: Stella Christie, Artificial Intelligence, dan Riset SDM

Dari pengalaman bergelut lebih dari 25 tahun di industri riset dan melihat trend yang sedang berkembang saat ini saya berhipotesa bahwa memang perlu ada pendekatan riset yang baru yakni dengan cara menggambungkan tiga pendekatan sekaligus yaitu survei konvensional, monitoring digital, dan kecerdasan buatan (AI).

Pertanyaanya kenapa harus digabung? Mari kita lihat fenomena yang terjadi sekarang, konsumen hari ini bukan hanya menjawab pertanyaan dalam survei, tapi mereka juga curhat di platform social media seperti Instagram, X, Facebok, Tiktok, dan lain-lain, atau membuat review produk di Tokopedia. Suara mereka muncul secara spontan—dan bisa memengaruhi ribuan orang lainnya.

Karena itu, mengandalkan satu metode saja sudah tidaklah cukup. Survei konvensional memang rapi dan terstruktur, tapi lambat. Analisis media sosial cepat dan dinamis, tapi sering bias. Sementara AI bisa membantu kita memproses ribuan opini dalam hitungan menit, bahkan memprediksi tren yang belum terjadi.

Sebagai gambaran menurut laporan We Are Social dan Meltwater (2024), pengguna internet di Indonesia mencapai 224 juta jiwa, dengan lebih dari 167 juta aktif di media sosial. Konsumen tak lagi hanya bereaksi terhadap iklan atau survei—mereka menciptakan percakapan, membentuk opini publik, dan memengaruhi reputasi merek secara real-time.

Paradigma Baru Riset: Integrasi Tiga Sumber Data

Pendekatan yang menggabungkan survei konvensional, monitoring digital (seperti media sosial), dan survei berbasis AI memungkinkan perusahaan memahami pasar secara lebih holistik dan akurat. Terlebih dahulu mari kita bahas satu per satu tiga pendekatan tersebut.

Pertama, Survei Konvensional tetap relevan dalam menggali preferensi konsumen, pengukuran brand awareness, serta segmentasi pasar yang akurat secara demografis. Berbagai perusahaan dan lembaga riset besar baik yang global maupu lokal sebagian besar masih mengandalkan metode ini untuk studi longitudinal/tracking.

Survei konvensional masih relevan karena dilakukan secara lebih terstruktur sehingga akusasi dan validitas hasil survei tetap terjaga.

Kedua, Social Media Monitoring, Banyak sekali social listening tools seperti Brandwatch, Brand24, dan Talkwalker memungkinkan perusahaan memantau opini publik secara real-time. Misalnya, percakapan tentang layanan customer service suatu brand di X atau Instagram bisa mengungkap potensi krisis atau insight perbaikan produk yang tak muncul dalam survei konvensional.

BACA JUGA: Ethica Store: Kanal Penjualan Hybrid Cocok untuk UKM Fesyen

Sebagai contoh ketika Gojek mengubah antarmuka aplikasinya pada 2023, muncul respons negatif di media sosial. Dengan analisis sentimen dari 2.000 tweet pertama dalam 24 jam, Gojek dapat mengidentifikasi fitur yang paling banyak dikeluhkan dan merilis pembaruan hanya seminggu kemudian.

Ketiga, AI-Based Analytic, Teknologi seperti Natural Language Processing (NLP) dapat menganalisis ribuan percakapan publik, komentar, atau ulasan produk dengan efisiensi tinggi. Chatbot berbasis AI kini juga digunakan untuk survei ringan, seperti dilakukan oleh Tokopedia untuk survei kepuasan pelanggan via WhatsApp.

AI juga dapat membuat segmentasi konsumen secara otomatis dan memprediksi perilaku berdasarkan pola historis. Menurut laporan McKinsey (2022), perusahaan yang menggunakan analitik prediktif dalam pemasaran mengalami peningkatan ROI sebesar 20% lebih tinggi dibanding yang tidak menggunakannya.

Secara garis besar karakteristik ketiga pendekatan tersebut dibisa dilihat dalam gambar 1 dan 2. Bayangkan apabila kita bisa mengintegrasikan tiga pendekatan ini sekaligus maka kita akan mendapatkan hasil riset yang valid, cepat, dan kaya akan insight yang sangat bermanfaat untuk pengambilan keputusan.

Tentu ini tidak mudah, ini juga bukan sekedar menggabungkan tiga sumber data, tapi jauh adalah mengintergrasikan semua proses riset mulai dari desain, pengumpulan data, analisa, penggalian insight, dan pengembangan kesimpulan dan rekomendasi.

Hybrid Research Model

ESOMAR (European Society for Opinion and Marketing Research) sudah sejak 2020 menekankan pentingnya blended research methods atau hybrid approaches untuk mengatasi keterbatasan metode tunggal.

Begitu juga halnya dengan Qualtrics (2023) yang menyebut bahwa hybrid research sebagai model terbaik dalam CX (Customer Experience) karena bisa menggabungkan: Structured feedback with unstructured customer voice, predictive analytics, and behavioral data.” Bahkan Harvard Business Review (2021) menyebutkan bahwa “The future of marketing research is not choosing between surveys or big data—but integrating both.”

Meski sudah diwacanakan sejak lama, praktek penerapan hybrid research ini masih belum baku, beberapa Perusahaan riset global seperti Nielsen, Kantar, atau Ipsos masih melakukan berbagai ekspolarasi untuk menerapkan pendekatan riset ini.

BACA JUGA: Riset Chandra Asri Ungkap Aspal Plastik Tingkatkan Kualitas Jalan

Sebagai contoh Kantar, sebuah perusahaan riset global, telah menerapkan pendekatan hybrid dalam pengujian materi iklan. Mereka mengombinasikan survei tradisional dengan alat AI seperti facial coding dan prediksi pergerakan mata untuk mengevaluasi efektivitas iklan secara lebih efisien.

Ipsos telah mengintegrasikan AI dalam proses riset mereka untuk mempercepat pengumpulan dan analisis data. Dengan menggabungkan AI dan keahlian manusia, Ipsos berusaha untuk memberikan insighty ang lebih mendalam dan relevan bagi klien mereka.

Riset pemasaran sekarang ini memang tidak lagi bisa berdiri hanya di satu kaki. Pasar dalam hal ini konsumen sudah terhubung satu sama lain dan semakin dinamis, mereka bisa menuntut apa saja, dan saluran penyaluranya semakin beragam, karena itu risetpun membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, integratif, dan berbasis teknologi.

Pengaplikasian hybrid research ini kedepan masih harus ditempuh dengan jalan terjal, terutama dari sisi teknisnya, baik terkait integrasi data maupun juga terkait bagaimana mengambil insight dari data yang sangat beragam.

Tidak cukup hanya mengandalkan teknologi, butuh kekuatan wisdom manusia untuk bisa menghasilkan insight yang pas bagi pengambil Keputusan. Meski demikian pendekatan hybrid research ini harus dimulai karena masa depan riset pemasaran agar tetap relevan mau tidak mau harus menggunakan pendekatan riset ini.

Editor: Eric Iskandarsjah Z

Related

award
SPSAwArDS