Memaknai Pola Asuh Berbasis Gender di Hari Anak Perempuan Sedunia

marketeers article
Memaknai pola asuh berbasis gender di Hari Anak Perempuan Sedunia (Foto: 123rf)

Tanggal 11 Oktober diperingati sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia. Tujuannya untuk melindungi hak anak perempuan, termasuk mengatasi tantangan yang membatasi mereka dalam mengembangkan potensinya. 

Hari Anak Perempuan Sedunia pertama kali diperingati pada 2012. Selama sebelas tahun terakhir, memang telah terjadi banyak perkembangan pada isu-isu krusial menyangkut anak perempuan.

Sayangnya, belum semua anak perempuan bisa menikmati hak-hak mereka. Masih banyak yang menghadapi tantangan, baik untuk memperjuangkan hak pendidikan, kesehatan fisik dan mental, maupun perlindungan hidup tanpa kekerasan.

Salah satu faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya tantangan bagi anak perempuan ialah pola asuh orang tua. Tidak sedikit yang masih berkiblat pada stereotip gender, sehingga mereka memperlakukan anak mengikuti norma yang dikonstruksikan masyarakat Indonesia.

BACA JUGA: Belajar Menerapkan Stoikisme di Hari Kesehatan Mental Sedunia

Memang tak dapat dimungkiri, dalam pertumbuhannya, anak perempuan kerap menerima pola asuh berbeda. Jurnal Bias Gender dan Pola Asuh Orang Tua pada Anak Usia Dini (2020) mengungkapkan bahwa orang tua cenderung memperlakukan anaknya berdasarkan gender.

Semisal, anak perempuan umumnya diberikan mainan yang feminin, seperti masak-masakan, boneka, dan rumah-rumahan. Sementara itu, permainan seperti sepak bola, mobil-mobilan, robot, dan sejenisnya hanya diperuntukkan bagi anak lelaki.

Selain itu, stereotip berbasis gender seperti ‘perempuan harus lemah lembut’ dan ‘perempuan harus dilindungi’ juga bisa membawa tantangan bagi kaum hawa ke depannya. Psikolog dari Lawrence University, Peter Glick, menilai stigma tersebut mesti dihilangkan.

Sebab, hal itu berpotensi membuat anak perempuan merasa lemah dan mudah minta bantuan dalam segala hal. Malahan, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang mudah takut di kemudian hari.

Dampak Bias Gender dalam Pola Asuh Anak

Perbedaan yang demikian bisa membuat anak perempuan mengurungkan potensi yang ada dalam dirinya. Selain itu, juga berpotensi menumbuhkan kecemburuan, yang membuat anak tersebut membanding-bandingkan dirinya dengan saudara-saudaranya.

Tidak hanya situ, berdasarkan jurnal yang sebelumnya disebutkan, perbedaan pola asuh berbasis gender dapat menumbuhkan rasa kurang percaya diri, iri, gangguan emosi, bahkan membuat si anak menjadi sulit diatur dan mengidap gangguan perilaku agresif atau hiperaktif. 

BACA JUGA: World Mental Health Day, Tips Jaga Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja

Pengaruh bias gender dalam pola asuh anak akan semakin terlihat saat mereka beranjak remaja. Mereka yang tidak suka mendapat perlakukan berbeda berdasarkan gender semasa kecilnya, cenderung terlibat pergaulan bebas.

Kenakalan remaja itu terjadi akibat ketidakseimbangan pertumbuhan dan perkembangan bagi anak yang memiliki jiwa maskulin dan feminin. Jika dalam pengasuhan terjadi bias gender, maka dalam proses perkembangannya, anak-anak rentan melakukan kekerasan gender.

Karena itulah, sebaiknya orang tua cukup mendampingi anak mengembangkan potensinya, alih-alih mengotakkan pola asuh berdasarkan gender. Orang tua mesti mengingat bahwa anak-anak lahir sebagai blank state atau ‘kertas putih yang polos.’ 

Mereka lahir dengan pemahaman “semua manusia itu sama, semua gender itu setara.” Sebab itu, jangan mengotakkan mereka dalam stereotip gender yang sudah mendarah daging di Indonesia, justru mulailah tanamkan konsep kesetaraan gender pada anak-anak.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related