Menakar Masa Depan Bisnis Asuransi Pascapandemi

marketeers article
Medical doctor writing on patient personal health care record discharge form, or prescription paperwork in hospital office, clinic center for healthcare and life insurance concept

Penyesuaian strategi bisnis dari para pelaku usaha agar dapat bertahan di tengah kondisi saat ini tidak menjadi perdebatan. Semua pihak setuju bahwa strategi bisnis lama sudah tidak bisa dipertahankan seutuhnya. Tidak terkecuali bagi pelaku industri asuransi. Kondisi ini yang dibahas dalam webinar yang diadakan oleh Gerakan Pakai Masker (GPM) berkolaborasi dengan Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Ketua GPM Sigit Pramono mengatakan dampak dari pandemi memicu penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II menjadi -5,3%. Jika pada triwulan III pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap minus, maka akan terjadi resesi. Saat ini, dalam rangka mendukung kegiatan berusaha, pemanfaatan teknologi informasi (TI) secara optimal menjadi sangat penting. 

“Dengan pemanfaatan TI secara optimal, pelaku usaha dapat menjalankan operasi bisnisnya secara lebih efektif dan efisien,” ungkap Riswinandi, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank merangkap Dewan Komisioner OJK.

Selain itu, penggunaan TI juga dinilai memungkinkan pelaku usaha untuk tetap dapat berinteraksi secara langsung dengan konsumen, di tengah pembatasan interaksi sosial antar individu. Adaptasi ini yang menjadi faktor penting untuk dapat bertahan dalam kondisi pandemi. TI juga dipercaya dapat mengantisipasi tren perilaku konsumen yang berubah di masa yang akan datang. 

Mendukung kegiatan berbasis teknologi informasi, saat ini OJK tengah mempersiapkan dan merampungkan RP OJK terkait manajemen risiko teknologi informasi tersebut.

Sebagai regulator, OJK kerap mendorong industri asuransi untuk terus  beradaptasi dengan perubahan ekosistem jasa keuangan, termasuk juga dengan inovasi pemasaran jasa keuangan. Namun, inovasi yang dilakukan harus tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian.

Pasalnya, konsumen saat ini cenderung kembali ke dasar, yakni lebih memprioritaskan kebutuhan, sandang, pangan, dan papan.

Hal ini terjadi karena adanya ketakutan orang karena ketidakpastian ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19. 

Di sisi lain, ketika risiko kematian makin tinggi, maka mereka akan cenderung melihat asuransi sebagai kebutuhan pokok pada saat pasca pandemi. Optimisme tersebut dapat terlihat dari meningkatnya pemilik polis asuransi di Tiongkok, sebagai negara yang telah berhasil mengatasi pandemi COVID-19.  Data McKinsey menyebutkan, pemilik polis asuransi di negara tersebut meningkat sebesar 47% dibanding tahun sebelumnya.

Optimisme yang sama juga disampaikan oleh Ekonom Senior Aviliani  yang menyatakan  bahwa terdapat potensi yang masih bisa digarap oleh industri asuransi jika jeli melihat peluang dengan memanfaatkan sektor informal sebagai salah satu sasaran. 

Pengembangan produk asuransi yang disesuaikan dengan kebutuhan sektor infomal  menjadi penting mengingat tidak pastinya pendapatan pelaku sektor informal. 

“Ke depannya, orang-orang akan lebih memilih bekerja pada sektor informal dan tidak lagi menjadi karyawan tetap pada sebuah perusahaan. Orang-orang ini bisa memiliki pendapatan lebih dari 7,5 juta per bulan dan layak dilirik oleh industri asuransi untuk menjadi salah satu nasabahnya,” ujar Aviliani.

Pakai masker
Krisis yang terjadi karena pandemi ini awalnya merupakan krisis kesehatan. Kemudian, direspon dengan PSBB, sehingga menimbulkan ekonomi yang setengah berhenti dan diikuti oleh resesi. 

Jika PSBB yang dilakukan semakin panjang, akan menimbulkan resesi yang semakin dalam, dan bisa menimbulkan depresi. Ketika terjadi depresi, yang paling dikhawatirkan adalah kerusuhan.

“Semua proses tersebut disebut spiral maut. Peran dari kita semua adalah bagaimana kita dapat menyelamatkan ekonomi agar terhidar dari spiral maut tersebut,” ungkap Sigit.

Untuk menghindari hal tersebut, penggunaan masker menjadi salah satu cara paling ampuh dan mudah yang dapat dilakukan saat ini. Berdasarkan studi yang dikeluarkan oleh Travel Medicine and Infectious Disease Volume 36, pada Juli-Agustus 2020, penggunaan masker dapat menurunkan risiko penyebaran COVID-19 sebesar 96%.

“Jika gerakan pakai masker ini berhasil, kita semua bisa menyelamatan nyawa, maupun menyelamatkan ekonomi bangsa,” tutup Sigit.

Related