Menatap Ekonomi Indonesia 2018, Optimistis Atau Realistis?

marketeers article
44825231 jakarta, indonesia october 21, 2014: the national monument is a 132m tower in the centre of merdeka square, jakarta, symbolizing the fight for indonesia.

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 pada angka 5,4%. Target ini merunut pada beberapa faktor, salah satunya perbaikan ekonomi global. Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) yang dikeluarkan bulan Oktober, proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 berada di angka 3,7%. Dus, ekonomi Indonesia masih tumbuh di atas rata-rata ekonomi dunia.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, target pertumbuhan tersebut terbilang realistis. Baginya, pencapaian itu didukung oleh kinerja pertumbuhan ekonomi domestik yang hingga kini relatif stabil dan cenderung menguat. Guna mendukung target pertumbuhan ekonomi 2018, konsumsi rumah tangga diharapkan tumbuh 5,1%. Karenanya, stabilitas harga pokok dan ketersediaan pasokan pangan akan dijaga untuk bisa mengendalikan inflasi sesuai target sebesar 3,5%.

Sementara, konsumsi pemerintah diproyeksikan dapat tumbuh 3,8% dengan fokus anggaran belanja yang makin efisien, konsisten dengan prioritas untuk menunjang pemberantasan kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan memperbaiki produktivitas ekonomi. Sedangkan simplifikasi proses peraturan dan percepatan akan mempermudah kegiatan usaha serta proses bisnis. Pemerintah menargetkan sektor investasi bisa tumbuh 6,3%.

Bagi Michael Tjoajadi, CEO PT Schroders Investment Management Indonesia, pertumbuhan perekonomian Indonesia 2018 diprediksi akan lebih baik dari 2017. Michael merunut pada fakta bahwa tahun depan akan menjadi gerbang tahun politik dengan diadakannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak dan Pemilu Presiden. “Kampanye akan berpengaruh pada konsumsi karena uang yang berputar akan lebih banyak dan ekonomi akan tumbuh karenanya,” kata Michael.

Selain memasuki tahun politik, tahun 2018 juga diwarnai berbagai penyelenggaraan ajang besar, seperti Asian Games yang akan diadakan di Jakarta dan Palembang pada bulan Agustus dan September, serta ajang Annual Meeting International Monetary Fund (IMF)-World Bank di Bali. Tentunya ajang ini akan memiliki potensi yang kuat untuk memutar perekonomian Indonesia.

Namun, Kepala Ekonom SKHA Consulting Eric Sugandi berpendapat, perhelatan Asian Games dan Annual Meeting IMF-World Bank meskipun bisa menyokong perekonomian domestik, tidak berpengaruh secara signifikan. Ia berasumsi, penyelenggaraan acara yang hanya berlangsung selama satu bulan tidak akan berpengaruh banyak bagi perekonomian, atau hanya bersifat sementara.

Namun, Indonesia tetap harus memperhatikan perekonomian global. Salah satunya kemungkinan naiknya suku bunga Amerika Serikat. “Kita berharap bisa mengambil keuntungan dari pertumbuhan ekonomi dunia. Namun, ada tekanan yang besar apabila suku bunga di tempat lain, khususnya di Amerika Serikat naik,” jelas Michael.

Harga komoditas pun diproyeksi akan membaik. Prospek ekonomi ke depan juga semakin kokoh lantaran pertumbuhan kredit bank terlihat mulai meningkat. Sedangkan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang ada di perbankan akan terus tumbuh. Hal ini membuat masyarakat mulai mencari alternatif investasi. Baginya, pasar modal bisa membantu pengembangan ekonomi dan investasi ke infrastruktur dan jenis industri lainnya.

“Kita melihat pertumbuhan kredit bank mengalami kenaikan. Kita berharap ini akan mendorong ekonomi dan tentu mendorong profit dari masing-masing perusahaan. Terutama, perusahaan publik di mana rata-rata perusahaan publik memiliki market share yang besar di industri masing-masing,” jelas Michael.

Ekonom Chatib Basri menambahkan, apabila pemerintah ingin meraih kenaikan pertumbuhan ekonomi hingga 5,4%, maka dibutuhkan investasi per GDP sekitar 36%. Hal ini merujuk pada incremental ratio yang berada di angka 6,5. “Saving kita terhadap GDP baru sekitar 33%. Saving tidak cukup untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi 5,4%. Kecuali tabungan domestik bisa dinaikkan,” ujar Chatib.

Ia menyarankan, bila ingin menaikkan tabungan domestik berarti uang-uang yang selama ini tidak bisa diambil oleh perbankan harus bisa mereka raih. Saat ini, bank baru bisa mengambil 36% dana penduduk Indonesia. Kehadiran teknologi digital bisa membantu pemerintah dalam mendekati kalangan yang belum tersentuh oleh perbankan. “Dampaknya memang tidak seketika. Tapi kalau mulai dilakukan, akan ada banyak dana-dana dari beragam kelompok yang bisa diraih,” singkatnya.

Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan, ada hal yang harus menjadi perhatian pemerintah saat ini, yaitu suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate yang terlalu rendah. Pasalnya, The Federal Reserved diperkirakan akan segera menaikkan suku bunga acuannya. Maklum, perekonomian Amerika Serikat diprediksi akan membaik pada tahun depan. Hal itu pun bisa memacu adanya capital outflow dari Indonesia ke luar. Tentunya, keluarnya dana ini bisa membuat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah.

Memang, cadangan devisa Indonesia saat ini masih kuat. Hingga akhir Oktober 2017, cadangan devisa Indonesia masih mencapai US$ 129 miliar. “Namun, harus dilihat bahwa cadangan devisa itu banyak berasal dari utang,” kata Faisal.

Lantas apakah membaiknya perekonomian AS ini menjadi kabar baik bagi Indonesia? Faisal melihat kondisi itu tak serta merta berdampak positif bagi Indonesia. Sebab, ekspor Indonesia masih ditopang oleh produk komoditas, bukannya manufaktur. Kondisi itu tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya naik di kisaran 10%-an terhitung awal tahun ini. “Padahal indeks saham negara emerging market mengalami rally hingga di atas 20%,” katanya.

Hal lain yang juga menjadi kekhawatiran adalah menguatnya harga minyak dunia. Pada kuartal empat 2017 lalu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) berada di angka US$ 50 per barel, setelah tiga tahun selalu berada di bawah harga itu. Kondisi ini tentunya bisa membuat defisit minyak Indonesia menjadi naik dan berakibat pada inflasi.

Faisal pun berharap, pemerintah mau memberikan perhatian ekstra terhadap industri manufaktur. Sayangnya, industri ini selalu tumbuh di bawah PDB sejak krisis terjadi. Padahal jika Indonesia ingin mengandalkan ekspor, maka sektor manufaktur harus menjadi penopang, bukannya sektor komoditas.

Tentang pembangunan infrastruktur yang terus digenjot, Faisal pun menyarankan agar pemerintah tidak terlalu ngotot dan mempertimbangkan pemasukan yang ada. Seperti kita ketahui, pendapatan dan pengeluaran pemerintah saat ini tidaklah sebanding. “Sebaiknya pemerintah mulai menggodok ulang dan mulai memangkas pengeluaran,” kata Faisal.

Tony Prasetiantono selaku Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada menyarankan agar pemerintah mulai memperhatikan pelemahan daya beli yang terjadi di masyarakat. Ketidakpastian ekonomi yang terjadi selama beberapa tahun terakhir serta pajak yang agresif membuat masyarakat cenderung menahan konsumsinya.

Meski hanya tumbuh di angka 5%-an, bukan berarti perekonomian Indonesia tidak bisa melesat seperti beberapa tahun lalu. Tony melihat, giatnya pemerintah dalam membangun infrastruktur akan berdampak untuk beberapa tahun ke depan. “Kombinasi antara harga komoditas yang stabil, nilai tukar rupiah, investasi yang meningkat, serta inflasi yang rendah menjadi indikator positif yang memungkinkan target pertumbuhan ekonomi 2018 dari pemerintah bisa tercapai. Asal saja, indikator positif ini tidak dinodai dengan kegaduhan politik,” kata Tony.

Related