Mendayung di antara Konten dan Influencer

profile photo reporter Marketeers
Marketeers
07 September 2020
marketeers article
Filming. Beautiful young woman in casual wear smiling while recording video

Oleh Agus Hidayat,
Praktisi Komunikasi & Pengelolaan Reputasi
Vice President Corporate & Public Affairs
FleishmanHillard Indonesia

Pendiri Microsoft Bill Gates pada Januari 1996 menulis sebuah esai yang dipublikasikan pada website Microsoft bertajuk “Content is King”. Dalam esainya, Bill Gates memprediksi bahwa konten akan menjadi sumber uang yang nyata di era internet, seperti ketika layanan broadcasting menangguk banyak cuan di era sebelumnya. Bill Gates juga menyebut bahwa salah satu hal yang menarik tentang internet adalah karena semua orang yang memiliki personal computer (PC) dan modem dapat mempublikasikan konten apapun yang bisa mereka buat.

Lebih dari dua dasawarsa kemudian, esai Bill Gates tersebut menjadi kenyataan.  Di jaman sekarang, tentu saja peran modem dan PC untuk mengakses internet sudah terdisrupsi oleh telepon seluler dan operator selular, sesuatu yang justru mempercepat ramalan Bill Gates untuk menjadi kenyataan.

Berdasarkan data dari WeareSocial dan Hootsuite tentang lansekap digital di dunia tahun 2020 (dirilis Januari 2020) terlihat bahwa jumlah pengguna internet dunia mencapai angka 4,54 miliar manusia (tingkat penetrasi 59%) dengan 5,19 miliar mengakses internet melalui telepon selular (tingkat penetrasi 67%).

Era intenet dan aksesnya yang kian mudah dengan biaya terjangkau, mengubah banyak hal, termasuk mendisrupsi bagaimana informasi dan konten dipertukarkan. Hingga kita tiba di suatu masa ketika batasan antara ‘produsen’ dan ‘konsumen’ konten menjadi samar: user generated content, sesuai ramalan Bill Gates.

Dengan berbagai platform untuk membuat konten, posting, sharing ‘gratisan’ yang berlimpah saat ini, kita menjadi saksi bagaimana user dengan predikat content maker bermunculan, menjadi populer sebagai seleb dunia maya, menyesaki dan mendominasi percakapan berbagai linimasa platform media sosial paling beken di dunia, termasuk di Indonesia. Mendadak, content maker menjadi profesi yang dengan cepat popularitasnya naik.

Melalui kreativitasnya, para content maker, youtuber, selebtwit, selebgram, atau apapun istilah yang dipakai, berlomba-lomba menciptakan konten orisinal, unik, outstanding, tidak biasa, yang akan mendatangkan like, view, comment terbanyak, juga menambah jumlah follower, subscriber. Karena, dengannya, maka pemasukan atas pundi-pundi mereka terjaga, sebab hal ini jadi syarat utama dari penyedia platform untuk dapat berbagi cuan dengan para content maker – biasanya melalui iklan (ads, google adsense atau lainnya) yang akan ditempatkan di akun/produk si empunya.

Dan tentu saja ketika jumlah subscriber, like, view, engagement rate tinggi, para user ini akan mudah dilirik untuk menjadi buzzer, endorser, influencer – yang menggoda minat korporasi untuk menjalankan program kampanye/promosi/advokasi/sosialisasinya melalui akun para content maker yang telah menjadi influencer ini.

Disinilah kemudian terjadi persaingan yang sangat kompetitif diantara para content maker dalam berebut view, like, dan jumlah subscriber. Ketika netizen semakin demanding dan berharap variasi konten yang lebih unik, lebih orisinil, mendorong sebagian contet maker bertindak melampaui batasan etika umum sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai kepatutan, kepantasan, juga norma-norma sosial–atas nama kreativitas dan kebebasan berekspresi.

Sumber: 123rf

Karena itulah, belakangan ini kita menjadi saksi atas berbagai peristiwa yang melibatkan content maker –dan kendati belum ada data pasti – frekuensinya lumayan kerap terjadi. Kita menyaksikan content maker yang demi menaikan fraffic-nya membuat konten usil (prank) memesan makanan melalui aplikasi ojek online, kemudian saat abang ojol tiba, pesanan dibatalkan. Tujuannya untuk merekam reaksi abang ojol saat pesanan dibatalkan dan menjadikannya sebagai konten pemikat views. Abai mempertimbangkan aspek moral dan psikologis dari ‘korban’ video prank yang merasa depresi, bahkan trauma menerima pesanan sejenis.

Contoh lainnya, bagaimana kita mengelus dada ketika mengetahui sebuah konten dalam bentuk dialog pesohor di salah satu kemasan acara yang dengan bebas dan terbukanya menyinggung hal yang sangat pribadi dari mantan pasangannya. Konten yang populer dengan istilah ‘ikan asin’ ini pun berujung gugatan hukum, selain tentu saja kecaman netizen dan reputasi si pesohor dan host acara yang merosot.

Bulan puasa lalu, satu konten usil lainnya menjadi pembicaraan publik dan masuk ke ranah hukum, ketika seorang youtuber membagikan sembako kepada beberapa waria di pinggir jalan. Nahas bagi para waria itu, isinya ternyata bukan sembako, melainkan makanan basi dan busuk. Bayangkan perasaan para pekerja informal itu saat menerima ‘bingkisan’ sambil mendoakan segala kebaikan bagi si pemberi, eh ,ketika unboxing malah mendapati sampah di dalamnya. Ulah youtuber ini mendapat kecaman tak hanya di dunia maya. Para waria yang tertipu melaporkannya ke polisi yang lalu memburunya, kediamannya didatangi warga yang memprotes ulahnya. Pada akhirnya, youtuber ini menjadi terkenal melalui cara yang tak dia harapkan.

Daftar konten dan perilaku content maker seperti contoh di atas mungkin bisa bertambah. Di sisi lain popularitas users generated content juga teleh mengubah pendekatan para praktisi komunikasi, baik dari kalangan PR (public relations, dengan segala turunan spesialisasinya) maupun para marketer, khususnya para profesional di bidang content marketing

Dalam salah satu risetnya di tahun 2019, Stackla menemukan bahwa 79 persen responden mengatakan bahwa users generated content sangat mempengaruhi keputusan pembelian yang dilakukan mereka. Ini sesuai dengan premis bahwa konsumen lebih menyukai dan mempercayai testimoni dari pengalaman konsumen lainnya, ketimbang pendekatan promosi langsung dari produsen.

Riset Stackla juga mencatatkan temuan menarik, salah satunya adalah hanya 8% responden yang mengatakan bahwa konten yang dibuat/dipromosikan infuencer berpengaruh tinggi terhadap keputusan pembelian mereka.  Namun tetap saja para marketer di wilayah Amerika Utara menghabiskan anggaran lebih dari US$ 1 miliar untuk promosi via influencer di tahun 2018 dan sebanyak 49% marketers yang menjadi responden Stackla justru mengaku bersiap menaikan investasi mereka melalui penggunaan influencer ini di tahun berikutnya.

Tetap digunakannya para influencer atau micro influencer ini antara lain dilatarbelakangi masih tingginya apresiasi dan tingkat kepercayaan konsumen terhadap otentisitas, juga relasi patron-klien antara influencer dengan audience-nya.

Kendati untuk Indonesia, riset komprehensif sejenis – sependek pengetahuan penulis – belum diketahui keberadaannya, namun pertanyaan seputar efektivitas penggunaan influencer terhadap kegiatan kampanye/promosi/pemasaran yang dilakukan brand maupun korporasi, telah lama menjadi keingintahuan para praktisi pemasaran maupun PR.

Dalam skala mikro, tentu saja para praktisi yang terlibat dibelakangnya telah menyiapkan dan menetapkan seperangkat alat ukur, atau KPI yang mesti dicapai oleh para influencer yang di-engage agar dapat menjustifikasi ROI dan memenuhi kriteria kampanye yang sukses misalnya. Sebab tentu saja, dari setiap rupiah yang diinvestasikan, harus bisa diperkirakan dan dipertanggungjawabkan berapa yang kembali ke perusahaan melalui misalnya angka penjualan yang naik, atau sesuatu yang jauh lebih besar dan intangible sifatnya, seperti reputasi perusahaan.

Sumber: 123rf

Di sinilah kemudian para praktisi pemasaran dan komunikasi harus cermat dalam mengidentifikasi dan memilih influencer yang akan di-engage. Selain tentu saja memperhatikan kesesuaian antara jenis kampanye dengan tipe influencer dan audience berdasarkan tingkat outreach maupun engagement rate, yang tak boleh diabaikan adalah melakukan background check atau due diligence. Ini untuk memastikan bahwa influencer yang masuk wish list, memiliki reputasi yang tidak bertentangan dengan reputasi yang ingin dipersepsikan atau telah terbangun terhadap brand/perusahaan bersangkutan.

Beberapa kriteria yang bisa ditetapkan antara lain memiliki reputasi positif, tidak sedang bermasalah dalam sebuah skandal, baik personal maupun profesi, baik skandal individu maupun melibatkan kasus hukum, serta tidak berpotensi mengakibatkan konflik kepentingan dengan brand/perusahaan, serta berbagai kriteria lain yang bisa disesuaikan sesuai kebutuhan. 

Hal ini menjadi krusial, karena ketika menggunakan influencer, maka reputasi brand/perusahaan yang diendorse-nya akan diasosiasikan dengan ketokohan dan reputasi influencer bersangkutan, karena begitulah cara berpikir otak kita yang (kerap) asosiatif.

Dan baru-baru ini kita menyaksikan sendiri viralnya sebuah peristiwa, bagaimana seorang pesohor yang tengah terperosok dalam aktivitas yang dipersepsikan negatif, kemudian terpaksa (atau dipaksa?) untuk menghapus semua postingan kontennya yang terkait kampanye brand/perusahaan tertentu.

Ini menjadi pelajaran berharga bagi para praktisi komunikasi dan pemasaran, terlebih bagi para influencer: reputasi yang baik harus dipelihara, bahkan ditingkatkan dengan berbagai cara. Begitulah, karena sebagaimanapun konten menjadi raja, namun ketika ditampilkan dalam etalase yang kusam, muram, kelam, apalagi memiliki cacat, maka tidak akan tampak kemegahannya.

Related