Mendulang Peluang untuk Industri Musik Indonesia

marketeers article
Ilustrasi musik (Sumber: 123RF)

Oleh Nadia Yustina, CEO 12Wired

Keberlangsungan industri musik, sebagaimana entitas industri dan rupa-rupa keekonomian lainnya, erat bergantung pada kedigdayaan menjaga napas panjang. Sudah begitu, industri musik Indonesia yang setengah sekarat di awal, akhirnya terbukti gemilang tahan banting walau pandemi garang menerjang. Industri musik lokal kini telah pulih, sedang menuju posisi paling adiluhung, dengan paradigma sedikit berbeda dibanding sebelum era pagebluk.

Mimpi menaklukkan skena musik global yang tadinya dikubur sebentar, sudah boleh didongkrak kembali ke permukaan. Mengejutkannya, COVID-19 ternyata tak melulu membawa mudarat, malah bermanfaat cukup berlipat.

Nah, agar berlimpah pemahaman holistik nan komprehensif tentang dinamika industri musik nasional; dulu, kemarin, dan kini; mari bersama kupas secara singkat-padat. Lewat metode simpel tanya jawab taktis-sistematis, bersahaja nan sederhana, rinci namun ringan.

Segaduh apa dinamika industri musik Indonesia kala fenomena pandemi menginvasi? Well, sebaiknya dijelaskan secara periodikal agar tertib nalar:

1. Pra-Pandemi: Sehat dan percaya diri.

Pelaku musik yang skala daerah alias lokal berlomba menuju nasional. Musisi yang sudah tenar seantero Nusantara bersiasat agar lebih menggeliat di kancah global. Musik Indonesia telah gemah ripah loh jinawi, publik muda kiwari bangga dan jatuh hati terhadap musik negeri.

2. Pandemi

Eksistensi industri yang tadinya sehat dan percaya diri, seketika radikal terjungkal pingsan. Segala rencana konser eksesif dan jadwal tur masif ditunda—bahkan berujung batal. Semua fantasi fantastik pudar ambyar. Lalu pegiat musik mencoba jalan virtual (konser lewat fitur medsos macam YouTube, Instagram, Facebook, dan sebangsanya). Langkah daring, intim dan berbayar disangka sebagai pola paling pandai. Eternyata gagal kolosal.

3. Pascapandemi

Hebatnya, industri musik Indonesia, walau remuk, namun terbukti belum takluk. Para bumiputra lihai mengelola problematika juga jago menjaga tempo, tidak lekas kehabisan nafas. Kegigihan bertahan hidup khas rakyat jelata dunia ketiga dan didukung oleh ekosistem musik anak negeri yang —apparently— tangguh, menjadi penentu ijo royo royo tetap berkibarnya belantika musik Indonesia.

4. Pasca Pascapandemi

Ketika pusparagam seniman diterpa nestapa pandemi selama lebih dari dua tahun, mereka membunuh waktu dengan bergiat menulis dan merekam musik baru. Menariknya, manuver “sekadar membunuh waktu” itu, di belantika musik lokal, meriah disambut oleh label rekaman dan streaming platform. Tampaknya, buat mereka, geliat seberapa mikro mini pun, sejentik percik cahaya saja, cukup menjadi refleksi sejati bahwa industri musik anak negeri belum mati. Tinggal adaptasi saja dengan paradigma Pasca Pasca-Pandemi.

Kala eksistensi skena bumiputra sudah sehat lagi kuat, petantang-petenteng percaya diri, maka saatnya melompat lebih tinggi, berekspansi ke luar negeri. Namun, sebelum menggerinda manca negara, artist management/music label/talent agency mesti preparasi sang artis secara menyeluruh lagi rinci, memastikan ihwal instrumental yaitu visi, misi, fisik, dan mental. How so?

1. Bahasa Inggris

Mengingat posisinya sebagai basantara internasional, plus target sang artis adalah mendobrak kancah global maka kemampuan berbahasa Inggris otomatis menjadi isu sentral, substansial, tak bisa ditawar-tawar. As they say: Speak English or die.

2. Budaya Asing

Keputusan berkarier di kancah internasional artinya secara fundamental sang artis mesti peka lagi terbuka pada keragaman kultur dunia. Perspektif mendasar tersebut setidaknya bakal membantu dirinya agar terhindar dari gegar budaya tingkat berat dan memberondong bertubi-tubi.

3. Bersaing Sengit

Industri musik internasional sangatlah kompetitif, kerap kejam, tanpa jeda, ‘coz if you snooze, you lose. Maka untuk menggaet ketertarikan gigantik dari agen, promotor, dan media internasional, dibutuhkan mental baja balung besi agar berani terjun ke persaingan sengit. Maka itu, mari kawan tinggikan kepalan slogan. Winston Churchill pernah berkata, “If you’re going through hell, keep going!”

4. Ekonomi Biaya Tinggi

Butuh dukungan finansial lumayan perkasa untuk membawa sang artis berlaga di kancah global. Bukan mesti berasal dari kantong pribadi. Bisa juga bersumber dari investor atau sponsor. Yang jelas: mahal (dalam konteks biaya yang timbul), juga melelahkan campur mengesalkan (dalam konteks menggaet sponsor).

5. Produksi Prima

Standar produksi musik (gono-gini penunjang penampilan sang artis, mulai kru pendukung, printilan tata suara, hingga pendokumentasian konser) di manca negara standarnya cukup jomplang, duhai berbeda dengan di Indonesia. Ihwal produksi di luar negeri, mutu senantiasa prima, sempurna. Tiada retorika semenjana. The show must go on—flawless!

Perkara domestik dan konsolidasi internal telah diantisipasi. Kini soal go international. Metodenya macam mana?

1. Mengukuhkan image dan mendongkrak branding sang artis agar keberadaannya bingar di skena global, laik go international. Caranya, merawat citra secara cermat dan terukur, ditingkahi dengan mengibarkan tinggi jenama supaya menjulang mencuri atensi.

2. Interaksi sosial pro-aktif (bukan agresif), tinggi adab nan elegan. Ini demi membangun jejaring musik universal yang sehat saling hormat; baik dengan distributor, booking agency, serta public relation di tiap sudut jagat.

3. Saat rasa hormat telah tercipta satu sama lain maka bakal lebih enteng beringsut ke langkah berikut: promosi diri sang artis. Pilih siasat sahih di masa modern, pakai media daring sebagai peranti promosi.

Online approach tergaransi paling efektif. Jangkauannya nyaris tanpa batas, piawai mencapai pelosok bumi, pun tulen efisien di harga keekonomian—berbiaya terbilang ringan jika dibanding dengan, semisal, mencetak media promosi dalam bentuk fisik.

4. Mengatur tur internasional demi mendukung kiprah promosi tersebut. Sebelumnya daring, kini luring. Sang artis unjuk aksi, jumpalitan di panggung konser, disaksikan kasat mata oleh penonton. Nihil virtual. Semua aktual.

Cengkerama musika di dunia nyata. Tujuannya, menjustifikasi gembar-gembor promosi menggebu itu. Bahwa sang artis memang benar kelas wahid, bukan iklan omong kosong, pantas pentas di perhelatan dendang global.

Lalu, kala di kancah global akhirnya sang artis berujung eksis dan laris manis, bagaimana kiat agar kesohorannya berkesinambungan?

1. Tekun dan terstruktur mempromosikan sang artis di skena global. Ya, optimalkan jalur ganda, yakni daring (medsos, surel, aplikasi berkirim pesan, segala interaksi digital), dan luring (tur internasional berkala serta varian setara).

2. Mempertahankan mutu produksi agar senantiasa prima. Sebab, jika faktor ini kualitasnya memburuk bahkan anjlok, ke depannya bakal berdampak pada terkikisnya citra yang tadinya sempurna. Unggah-unggah unggul, jangan kasih kendur!

3. Konsisten menjaga image dan branding sang artis. Khalayak harus tetap peka dan awas pada keberadaan sang artis. Rajin dan flamboyan bermanuver, renaisans berinovasi, tanggap mengakomodasi ingar bingar jaman.

4. Menguatkan jejaring yang sudah terbangun. Mawas diri mengikuti fluktuasi showbiz. Berucap apa kabar pada booking agent yang belum dikenal, sapa kembali kawan lawas di media. Lalu, cek silang apakah kolega lama distributor masih mumpuni atau perlu cari pengganti, dan segala laku harmoni sosial sejenis.

5. Menerbitkan karya musik yang makin berkualitas. Secara alami memang kita seyogianya berevolusi dan berprogresi dalam berkesenian. Berdampak baik-brilian bagi kepercayaan diri pribadi serta mandraguna menjaga keutuhan dan kegemilangan karir di belantika senandung manca negara.

Bertolak dari panjang lebar narasi di atas, bisa ditarik konklusi bahwa industri musik Indonesia sekarang, di hari ini, sedang panen positivitas. Konstruksi ekosistem yang demikian perkasa, selain sukses menggiring musik Indonesia menjadi tuan di tanah sendiri, malah masif mengentalkan rasa percaya diri anak bangsa, frontal teryakinkan bahwa mimpi meraih respek skena global bukan lagi sekadar fantasi. Tapi hyper optimistis, bisa sekali terealisasi.

Jaya wijaya industri musik Indonesia!

Related