Mengenal BrunBrun, Pesaing Miniso

marketeers article

Di tengah pasar ritel yang bergejolak, Miniso menjadi salah satu pemain baru yang sangat ekspansif. Bagaimana tidak, perusahaan asal China yang dikira dari Jepang itu menargetkan 100 toko sepanjang tahun 2018, menjadikan ritel ini bakal mengelola 180an ritel selama dua tahun beoperasi di dalam negeri.

Ritel dengan konsep menjual barang murah namun terlihat “tidak murahan” itu, mulai banyak ditiru di Indonesia. Namun, satu pesaing yang memberikan napas beda adalah BrunBrun Paris yang mulai beroperasi sejak tahun 2016. BrunBrun menganggap memiliki diferensiasi ketimbang pesaing globalnya Miniso.

General Marketing BrunBrun Paris Marcelline S.C Huliselan menerangkan, BrunBrun merupakan merek lokal yang mengambil Paris sebagai citra mereknya. Beda dengan pesaing lainnya yang cenderung berkiblat pada Jepang sebagai inspirasi desain.

“Karena pada akhirnya, Paris merupakan kiblat fesyen dunia, termasuk oleh brand Jepang itu sendiri,” ujar Shella, sapaan akrabnya, saat ditemui Marketeers di Eat-Eat Kota Kasablanka, beberapa radius meter dari toko BrunBrun berada.

Wajar saja apabila BrunBrun berkiblat ke Paris. Sebab, perusahaan ritel ini adalah sister company dari salah satu perusahaan direct selling terbesar di Indonesia Sophie Paris. CEO Sophie Paris adalah mantan warga negara Prancis Bruno Hasson yang kini memilih menjadi WNI setelah lebih dari 20 tahun berbisnis di Indonesia.

Shella menerangkan, konsep ritel semacam BrunBrun adalah menjual produk dengan margin yang lebih rendah dibandingkan ritel pada umumnya. Katakanlah untuk biaya produksi sebuah tas adalah Rp 100.000, BrunBrun menjual setidaknya dua kali lipat atau Rp 200.000.

Salah satu sudut toko BrunBrun di Kota Kasablanka | Dok. Marketeers

Sementara, ritel lain biasanya menjual empat kali dari ongkos produksi. “Karena margin yang didulang tipis, maka transaksi penjualan harus dua kali lipat dari ritel umumnya. Sebab, ritel seperti ini bermain dalam volume penjualan,” tutur dia.

Terlepas dari konsep, ada satu visi BrunBrun yang menurut Shella tak dimiliki oleh kompetitor lain, yaitu empower local community. Shella mengaku, 80% produk yang dijual BrunBrun merupakan produk lokal yang dibuat oleh pengrajin UMKM. Produk seperti tas misalnya, dibuat oleh pengrajin dari Bandung, Jawa Barat. BrunBrun memberikan desain kepada pengrajin tersebut untuk dibuat sesuai dengan pasokan yang diinginkan.

“Kalau orderannya makin banyak, para UMKM akan bekerja lebih banyak, sehingga menyerap tenaga kerja jauh lebih banyak lagi. Sedangkan pemain lain 100% impor,” terang dia seraya menyebut bahwa hanya produk jam tangan dan parfum yang masih diproduksi di China dan Prancis.

Ketika ditanya apakah benar ritel sedang mengalami penurunan tajam, perempuan yang telah berkecimpung di dunia ritel lebih dari sepuluh tahun ini tak langsung setuju. Ia justru menganggap bahwa aksi tutup toko yang dilakukan sejumlah ritel bisa jadi merupakan kegagalan dalam merespons dinamika pasar.

Ia berasumsi, saat ini pemain ritel semakin banyak, yang membuat kompetisi kian sengit. Sehingga, potongan ‘kue’ yang merupakan pangsa pasar pun menjadi mengecil. Di saat yang sama, merek-merek internasional mulai menurunkan harga jualnya di Indonesia.

Dulu dengan bujet Rp 1 juta hanya bisa membeli satu piece pakaian bermerek asing seperti Zara. Kini, dengan bujet yang sama, konsumen bisa membeli dua hingga tiga piece. Apabila merek lokal tidak memberikan harga yang kompetitif atau malah jauh lebih mahal, maka ia dengan sendirinya akan tergerus seiring waktu.

“Saat ini, segmen konsumen kelas menengah bawah adalah segmen yang paling meningkat di Indonesia. Mereka tetap spending. Jadi, brand mesti memperhatikan segmen itu. Kalau dibilang tidak ada peluang, mana mungkin merek-merek baru datang terus-menerus ke pasar lokal,” tegasnya.

Sementara itu, meningkatnya penjualan online turut mengubah perilaku konsumen yang kerap membanding-bandingkan harga sebelum memutuskan pembelian. Menurutnya, perilaku konsumen berubah. Mereka mencoba produknya di toko offline, namun kerap membelinya di toko online. Karenanya, toko seperti BrunBrun harus menjual produk dengan harga yang sama dengan harga yang dijual online.

“Konsekuensinya, kami tidak bisa memberikan potongan harga saat kami menjual produk kami di e-commerce karena harganya sudah murah. Paling jika ada momen-momen tertentu. Itu pun sesekali,” terang Shella yang mengatakan bahwa produk BrunBrun telah memiliki laman resmi di Lazada dan segera akan merilis aplikasi mobile serta situs penjualan online-nya sendiri.

Diakuinya, yang menjadi tantangan saat ini adalah meningkatkan awareness merek sekaligus meyakinkan konsumen bahwa produk yang dijual tetap berkualitas walaupun dibanderol dengan harga murah. Shella menceritakan bagaimana konsumen cukup tercengang-cengang ketika melihat harga sebuah lipstik di tokonya hanya sebesar Rp 19.900.

“Awalnya, banyak yang bergumam ‘kok bisa ya Rp 19.900? Aman nggak ya?’ Tenaga penjualan kami selalu menunjukkan bahwa semua produk kosmetik yang dijual telah memiliki BPOM, yang mana tidak semua ritel seperti BrunBrun memiliki itu,” terang dia.

Editor: Sigit Kurniawan

Related