Mengenal Pre-Existing Condition yang Bisa Membatalkan Klaim Asuransi

marketeers article

Beberapa waktu lalu jagad selebritas Tanah Air ramai dengan berita seorang aktris protes soal klaim asuransi kesehatan yang tidak sesuai harapan. Ia mengaku kecewa karena manfaat pertanggunan yang didapatkan tidak sesuai yang dijanjikan.

Menariknya, dalam kolom komentar yang berisi saling sengketa, pro dan kontra, terdapat komentar dari akun yang memberikan sedikit penjelasan terkait tak sesuainya manfaat asuransi yang diterima oleh anak sang aktris tersebut.  

Setelah mencoba merekonstruksi kronologi cerita yang terbangun dalam akun di media sosial tadi, pemilik akun dalam kolom komentar menyimpulkan bahwa apa yang dialami nasabah adalah terjadinya klausul pre-existing condition dalam asuransi. Kondisi ini bisa berujung pada pembatalan perjanjian dan klaim dari perusahaan asuransi. 

Lantas, apa sebenarnya klausul pre-existing condition dalam asuransi, dan mengapa ia bisa berujung pada pembatalan klaim nasabah?  Pengamat asuransi yang juga dosen program master di MM Universitas Gadjah Mada (UGM) Kapler Marpaung mengatakan, pre-existing condition merupakan kondisi kesehatan yang sudah ada sebelum polis asuransi berlaku. 

“Biasanya, pre-existing condition ini menjadi pengecualian perlindungan yang diberikan,” ujarnya dalam keterangan tertulis. 

Misalnya, jika seorang nasabah telah memiliki penyakit jantung bawaan yang sudah ia derita sebelum membeli polis asuransi. Lalu saat mengajukan Surat Permohonan Asuransi Jiwa atau Asuransi Kesehatan, penyakit bawaan tersebut tidak disampaikan kepada perusahaan asuransi. Maka jika setelah polis berlaku dan ia mengajukan klaim atas penyakit jantungnya, klaim tersebut bisa dibatalkan oleh perusahaan asuransi. 

Menurut pria yang juga menjabat sebagai Chairman Wealth Management Standard Board Indonesia (WMSBI) ini, sejatinya pembatalan klaim akibat dikenakannya klausul pre-existing condition bisa dihindari dengan cara memberikan keterangan perihal riwayat kesehatan dan medis si calon nasabah secara terbuka dan transparan. 

Untuk isu yang berujung pada keluhan sang aktris tadi, menurut Kapler saat nasabah memutuskan membeli polis asuransi kesehatan misalnya, seharusnya ia  mengemukakan seluruh data medis yang dimiliki di surat permohonan perlindungan asuransi. 

“Agar perusahaan asuransi bisa menentukan atau memutuskan, apakah asuransi akan menerima permohonan itu, atau apakah perusahaan akan menerima dengan sejumlah syarat, atau justru perusahaan asuransi akan menolak. Sehingga jika terjadi klaim tidak akan timbul masalah seputar legalitasnya,” ujarnya. “Jadi si calon nasabah harus mengemukakan semua riwayat kesehatannya. Keterbukaan harus dilakukan”.

Kapler juga mengatakan, perusahaan asuransi tertentu bisa saja menetapkan kebijakan agar si nasabah masih bisa mendapatkan program perlindungan yang diberikan. Ia memisalkan, jika si nasabah ternyata memiliki jejak medis penyakit berat tertentu, perusahaan asuransi bisa saja menyiapkan kontrak dengan klausul bahwa manfaat klaim baru bisa diterima si nasabah setelah melewati periode waktu tertentu setelah polis diterbitkan.

“Ada perusahaan asuransi yang mau menjamin risiko tertentu yang sudah terjadi sebelum polis berlaku. Hanya saja klaim baru bisa dilayani setelah dua tahun polis berlaku, misalnya. Atau ada juga yang berlaku setelah tiga tahun polis berjalan. Tergantung jenis penyakit kritisnya,” kata Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (ABAI) ini. 

Namun klausul yang bisa berujung pada solusi win-win bagi nasabah dan perusahaan asuransi ini, menurut Kapler baru bisa terwujud jika sejak awal telah diterapkan keterbukaan informasi dari nasabah kepada perusahaan asuransi. “Ini semacam itikad baik dari perusahaan dalam memberikan perlindungan asuransi kepada masyarakat,” katanya.

Di sisi lain, industri asuransi harus mampu memberikan edukasi yang sangat rinci kepada calon nasabah, demi menghindari terjadinya mis-selling. Berikutnya, Kapler juga mengimbau agar nasabah mau membaca setiap klausul perjanjian asuransi secara saksama, sehingga mereka bisa mengajukan keberatan atau ralat jika terdapat pasal-pasal yang dinilai tidak menguntungkan.

“Hal yang kurang dipahami betul oleh masyarakat sebagai calon nasabah, mereka itu sebenarnya memiliki masa free look period, atau free look provision,” lanjut Kapler. 

Artinya, calon pemegang polis memiliki waktu untuk memeriksa terlebih dulu polis atau mempelajari kembali, untuk mengambil keputusan final. Jika isi klausul polis tersebut dianggap tidak sesuai dari yang diinginkan, polis bisa dibatalkan dan uang premi yang dibayarkan akan dikembalikan. 

Umumnya, periode free look provision ini berdurasi 14 hari sejak calon nasabah menerima polis. Dan, semua produk  asuransi jiwa dan kesehatan menerapkan klausul tersebut sebagai itikad baik dari perusahaan asuransi, agar tak ada prasangka buruk bahwa perusahaan asuransi hanya mengejar target penjualan polis semata.

    Related