Mengukur Masa Depan Industri Logistik Indonesia Tahun 2025

marketeers article
Tantangan dan Peluang Logistik Indonesia di Tengah Pertumbuhan Industri. (123rf.com)

Industri logistik Indonesia menghadapi tekanan dari berbagai sisi, mulai dari regulasi hingga biaya operasional. Meski diproyeksikan mengalami kenaikan volume sebesar 20% tahun ini, nilai keuntungan yang dihasilkan justru tertekan akibat tuntutan efisiensi dan perubahan regulasi.

Dalam ajang MarkPlus Conference (MPC) 2025 sesi Indonesia Industry Outlook 2025, Mahendra Rianto, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), menegaskan bahwa logistik adalah penggerak utama perdagangan.

BACA JUGA: Bidik Pasar Indonesia, EZA Hill Akusisi 3 Properti Logistik di Jabar

“Logistik itu akan mengikuti pergerakan perdagangan. Semua kegiatan perdagangan bergantung pada logistik sebagai enabler,” kata Mahendra, Kamis (5/12/2024).

Namun, Mahendra juga mengungkapkan bahwa posisi logistik Indonesia saat ini ibarat sandwich. Di satu sisi, industri harus menjaga kualitas layanan dan pengiriman. Di sisi lain, tekanan untuk menekan biaya logistik terus meningkat.

BACA JUGA: Lion Parcel dan Indah Logistik Perkuat Jaringan Logistik Nasional

Tekanan Biaya dan Tantangan Regulasi

Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah regulasi yang membatasi kapasitas alat angkut, terutama untuk barang berukuran besar (oversize) dan panjang (overlength).

“Kami dituntut untuk menurunkan biaya, tapi regulasi justru membatasi kapasitas alat angkut. Ini kontradiktif,” keluh Mahendra.

Selain itu, biaya logistik di Indonesia, terutama untuk pengiriman antar pulau, tergolong mahal.

“Biaya pengiriman dari Jakarta ke wilayah timur Indonesia lebih mahal dibandingkan pengiriman dari China ke Indonesia. Bahkan, kontainer dari Pontianak ke Jawa lebih mahal daripada rute China ke Indonesia,” tambahnya.

Distribusi Biaya Logistik

Saat ini, transportasi menyumbang 40% dari total biaya logistik, diikuti biaya inventori sebesar 8%, serta biaya administrasi dan teknologi informasi.

Mahendra menyoroti bahwa efisiensi di pulau Jawa lebih mudah dicapai dibandingkan wilayah lain karena kepadatan penduduk dan ketersediaan infrastruktur. Namun, wilayah luar Jawa masih menghadapi tantangan besar dalam hal biaya dan waktu pengiriman.

Dengan kondisinya kini, industri logistik diproyeksikan mengalami kenaikan volume sebesar 20% tahun ini. Namun, Mahendra mencatat bahwa pertumbuhan volume ini tidak serta-merta diikuti oleh peningkatan nilai keuntungan yang sebanding.

“Valuenya hanya naik sekitar 15%. Jika digabung antara pasar domestik dan internasional, kenaikannya mungkin mencapai 20%. Namun, ini tidak cukup untuk mengimbangi tuntutan efisiensi dan biaya yang terus menekan,” jelasnya.

Ironi Logistik Indonesia

Di sisi lain, Mahendra juga mengungkapkan kondisi ironi yang dialami industri ini. Lihat saja, sektor logistik di Indonesia menyumbang sekitar 14,29% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun kontribusi ini signifikan, struktur biaya yang tinggi dan tantangan regulasi membuat efisiensi sulit dicapai.

Mahendra pun menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan pelaku industri untuk menciptakan kebijakan yang lebih mendukung efisiensi tanpa mengorbankan kualitas layanan.

Secara keseluruhan, logistik adalah tulang punggung perdagangan yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan ekonomi. Namun, tantangan seperti regulasi, biaya transportasi, dan distribusi yang tidak merata harus segera diatasi.

Dengan pendekatan yang tepat, industri logistik Indonesia memiliki potensi besar untuk meningkatkan daya saingnya, baik di pasar domestik maupun internasional.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related

award
SPSAwArDS