Mengulas Kebijakan Ekonomi Paska Krismon 1997

marketeers article
Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution membahas secara komprehensif perubahan kebijakan perekonomian Indonesia paska resesi ekonomi Indonesia tahun 1997 yang tertuang dalam buku Macroeconomics Policies in Indonesia. Dalam buku editannya itu, Anwar menjelaskan dua hal, yakni rapuhnya ekonomi Indonesia sebelum krismon dan pembangunan industri perbankan paska krismon.
 
Dalam analisisnya, mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini mengatakan pada masa Orde Baru, pemerintah menjalankan kebijakan represi, khususnya kepada bank-bank BUMN dan BUMD. Pada masa itu, empat bank negara dan 26 bank pembangunan daerah menguasai sekitar dua pertiga pasar bank nasional. Seluruh kekayaan finansial negara, termasuk dari BUMN dan BUMD, hanya boleh disimpan di kedua bank itu. Ia berujar, dalam represi masa lalu, bank negara tidak ada bedanya dengan kas negara yang menyalurkan dana anggaran. 
 
“Berbeda dengan BUMN Singapura dan Malaysia, pimpinan BUMN dan BUMD Indonesia saat itu hanya berdasarkan pertimbangan politik, bukan kualifikasi personal,” terang Anwar, dalam bedah buku Sound Macroeconomic Policies in Indonesia to Accelerate Growth and Financial Stability dalam rangka memperingati Dies Natalis Universitas Presiden ke-11 di Menara Batavia, Jakarta, Kamis (17/4/2015).
 
Secara garis besar, Anwar mengemukakan krisis ekonomi 1997 mengakar pada krisis perbankan, yang mana pinjaman jangka pendek sektor perbankan dan korporat terwujud dalam bentuk valuta asing luar negeri (valas). Ia bilang, pada saat itu, pemerintah mengambil kebijakan moneter untuk mempertahankan kurs devisa agar stabil. Kurs devisa sendiri diartikan sebagai harga satu unit mata uang asing terdalam mata uang nasional. 
 
Karena diawasi oleh Pemerintah Orde Baru, hampir tidak ada risiko perubahaan kurs devisa selama puluhan tahun. Hal inilah yang membuat korporasi dan perbankan nasional berbondong-bondong melakukan pinjaman luar negeri dengan bunga rendah, khususnya ke Singapura dan Hong Kong. Pada umumnya pinjaman valas dan berjangka pendek itu digunakan untuk membelanjai investasi jangka panjang demi mendulang pendapatan dalam rupiah. Hal tersebut menurut Anwar melahirkan maturity mismatches, yang mana pinjaman jangka pendek digunakan untuk membiayai investasi jangka panjang. 
 
“Pada waktu itu, tidak ada kewajiban bagi perusahaan non-bank untuk melaporkan pinjaman luar negerinya pada pemerintah. Lemahnya modal perbankan dan tata kelola yang buruk, ditambah lagi dengan mismatches pinjaman luar negeri, menyebabkan Indonesia dilanda krisis ekonomi pada tahun 1997,” ucapnya.
 
Lebih lanjut, Anwar menyatakan, saat itu hampir tidak ada persaingan pasar keuangan dalam negeri. Itu terjadi karena adanya monopoli kelompok bank negara dan bank daerah atas dana sektor negara, serta adanya monopoli dana konglomerasi di bank milik konglomerat itu sendiri. “Pembangunan kelembagaan agar industri perbankan dan dunia usaha kita menjadi efisien dan mampu bersaing di pasar dunia belum banyak dilakukan,” paparnya.
 
Setelah krisis tahun 1997 berakhir, industri perbankan nasional melakukan berbagai perbaikan.  Selain menyuntikkan kredit likuiditas darurat dan surat utang negara dalam memulihkan arus modal, pemerintah turut mengubah arah kebijakan moneternya menjadi sistem kurs devisa mengambang. “Tujuannya, tidak lagi menjaga agar kurs tetap. Melainkan hanya mencapai target inflasi tertentu. Itu menjadi tugas mandiri Bank Indonesia yang meniru Bundesbank di Jerman,” katanya.
 
Kendati demikian, menurut hemat Anawar, target pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 sebesar 5,4-5,8% terlalu kecil. Paling tidak, katanya, ekonomi tumbuh 8,5%. dalam jangka waktu 10 tahun agar mampu menyamai Tiongkok yang mampu bankit dri keterpurukan. “BUMN dan BUMD termasuk bank-bank negara dan bank pembangunan daerah masih belum mampu bersaing di gelanggang internasional. Dan, pemerintah Jokowi-JK harus memiliki orang makroekonomi yang mampu membaca tanda-tanda perubahan ekonomi makro di kancah global demi memperkuat kebijakan ekonomi makro demi mendorong perekonomian yang lebih baik,” tegas Guru Besar Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Indonesia ini.

Related