Mengulik 3 Tradisi Peranakan Tionghoa yang Masih Eksis Hingga Kini

Masyarakat Peranakan Tionghoa di Indonesia memiliki beragam tradisi unik yang terus dilestarikan, tidak hanya saat Tahun Baru Imlek, tetapi juga dalam berbagai perayaan lain yang sarat makna filosofis.
Tradisi-tradisi ini mencerminkan nilai kekeluargaan, penghormatan terhadap leluhur, serta harapan akan keberuntungan dan kesejahteraan.
Salah satu kreator TikTok, @elsa.novias, aktif membagikan sejarah, budaya, serta kepercayaan masyarakat Peranakan Tionghoa-Indonesia sejak tahun 2022. Melalui unggahannya, ia mengulas berbagai tradisi menarik yang masih dijalankan hingga kini oleh masyarakat Peranakan Tionghoa-Indonesia. Berikut beberapa di antaranya:
Hidangan Wajib dan Pantangan Saat Imlek
Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting bagi masyarakat Tionghoa, tak terkecuali masyarakat Peranakan Tionghoa-Indonesia. Lebih dari sekadar pergantian tahun dalam kalender lunar, Imlek menjadi tradisi wajib untuk berkumpul bersama keluarga, berbagi kebahagiaan, serta berharap keberuntungan di tahun yang baru.
BACA JUGA: 10 Tradisi Unik yang Patut Dicoba di Malam Tahun Baru 2025
Salah satu elemen yang tak terpisahkan dari perayaan ini adalah penyajian hidangan wajib Imlek yang memiliki makna simbolis.
Lapis legit melambangkan rezeki berlapis-lapis, manisan segi delapan yang merepresentasikan keberuntungan tanpa putus, hingga jeruk mandarin yang berwarna keemasan yang dianggap sebagai simbol kemakmuran.
Selain hidangan, terdapat pula beberapa pantangan yang dipercaya dapat menghindarkan kesialan. Misalnya, mengenakan pakaian berwarna hitam dan putih yang melambangkan duka, menyapu rumah atau mencuci rambut pada hari pertama Imlek karena dianggap “membuang” keberuntungan, serta bersedih saat Imlek karena dipercaya akan membawa kesedihan sepanjang tahun.
Cap Go Meh: Puncak Perayaan dan Ritual Tolak Bala
Setelah perayaan Imlek, masyarakat Tionghoa tidak langsung menutup rangkaian perayaan tahun baru. Cap Go Meh, yang jatuh pada hari ke-15 setelah Imlek, menjadi puncak perayaan dengan berbagai acara meriah, seperti festival lampion, pawai budaya, serta pertunjukan Barongsai yang dipercaya dapat mengusir energi negatif dan membawa keberuntungan.
BACA JUGA: Meriahkan Momen Imlek, Conrad Bali Jalin Kolaborasi dengan Fu Shou
Berdasarkan cerita Elsa di akun TikTok-nya, di beberapa daerah seperti Singkawang dan Pontianak, Cap Go Meh memiliki tradisi unik yang dikenal sebagai Pawai Tatung.
Tatung adalah individu yang dipercaya dirasuki roh leluhur dan berperan sebagai penolak bala. Mereka diarak mengelilingi kota sebagai bagian dari ritual untuk mengusir kesialan sepanjang tahun.
Selain ritual, tradisi Cap Go Meh juga memiliki hidangan khas, salah satunya adalah lontong, yang mencerminkan keberagaman budaya dalam kehidupan masyarakat Peranakan Tionghoa di Indonesia.
Ceng Beng: Ziarah dan Penghormatan kepada Leluhur
Sekitar dua bulan setelah Imlek, masyarakat Peranakan Tionghoa-Indonesia akan melaksanakan tradisi Ceng Beng atau Qing Ming, yaitu ritual tahunan untuk bersembahyang dan berziarah ke makam leluhur sebagai bentuk penghormatan serta bakti kepada nenek moyang.
Sebelum Ceng Beng, keluarga biasanya akan membersihkan makam leluhur, menyalakan dupa, serta mempersembahkan sesaji berupa makanan dan barang-barang simbolik dari kertas, seperti uang, pakaian, bahkan mobil.
BACA JUGA: Gen Z Kini Jadi Pemain Utama pada Era Baru Youth Marketing
Benda-benda ini kemudian dibakar dengan harapan agar leluhur mendapat perlengkapan yang mereka butuhkan di alam baka.
Sebagai tanda bahwa leluhur telah menerima penghormatan dari keturunannya, makam yang telah dikunjungi juga diberi penanda berupa kertas khusus.
Tradisi ini tidak hanya mempererat hubungan antar generasi, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya menghormati asal-usul keluarga.
Berbagai tradisi ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga bagian dari identitas masyarakat Peranakan Tionghoa di Indonesia yang hingga saat ini terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Keunikan budaya ini memperkaya keberagaman Indonesia, menunjukkan bagaimana akulturasi antara budaya Tionghoa dan budaya lokal melahirkan tradisi yang khas dan berharga.
Editor: Eric Iskandarsjah Z