Menilik Culture of Innovation Amazon Web Service

marketeers article
Amazon. (FOTO: 123rf)

Kata inovasi akhir-akhir ini menjadi identitas yang dibanggakan oleh banyak perusahaan. Namun, klaim inovasi kerap menimbulkan pertanyaan. Inovasi apa yang sebenarnya dilakukan oleh perusahaan, untuk apa berinovasi,  hingga jika sudah berinovasi, mengapa pelayanannya masih belum bisa memuaskan pelanggan.

Inovasi merupakan pedang bermata dua. Jika dilakukan dengan benar, maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan besar, jika salah, bisa malah menjadi senjata makan tuan. Alih-alih untung, perusahaan bisa saja rugi hingga kehilangan pelanggan.

Meskipun begitu, di era yang penuh disrupsi ini inovasi adalah kunci untuk tetap menjalankan bisnis. Inovasi membantu perusahaan atau brand menjadi relevan dengan konsumennya. Inovasi pula yang bisa membantu perusahaan atau brand untuk beradaptasi di berbagai kondisi dan kejadian yang terkadi di lanskap industri.

Di tengah-tengah perusahaan global dan lokal yang membanggakan inovasi sebagai kekuatan utamanya, ada Amazon Web Services. Perusahaan ini tidak pernah mengklaim bahwa inovasi adalah segalanya. Namun nyatanya, Amazon Web Services terbukti sebagai perusahaan dengan culture of innovation yang kuat, sehingga bisa mendobrak standar bisnis terutama di bidang digital. Inovasi juga yang menjadikan Amazon Web Services sebagai pionir di berbagai layanan ritel di dunia.

“Visi Amazon adalah becoming the earth’s most costumer centric company. Bersamaan dengan itu, kami  bisa mempertahankan performa bisnis yang sangat bagus,” kata Gunawan Susanto, Country General Manager AWS Indonesia, dalam gelaran Jakarta CMO Club pada Rabu (17/03/2021),

Sananta Dutt, Head of Technology/CTO of South East Asia Amazon Web Services bercerita,  Amazon boleh tidak mengklaim inovasinya, tapi sejak awal didirikan pada tahun 1994 inovasi adalah DNA dari perusahaan ini. Hal ini tercantum dalam 1997 Letter to Shareholders yang mengatakan bahwa Amazon memiliki fundamental untuk mengukur potensi kesuksesan perusahaannya. Pertama, fokus terhadap apa yang desire konsumen, menciptakan nilai berjangka panjang dibandingkan dengan keuntungan perusahaan, dan berani melakukan taruhan dalam menciptakan inovasi baru.

Obsesi yang tinggi terhadap desire konsumen menjadikan Amazon begitu berani untuk berinovasi. Perusahaan ini bahkan memiliki mentalitas yang ditanamkan kepada seluruh karywarannya, yaitu sebagai  Day 1 Company. Prinsip ini membangun budaya kerja layaknya setiap hari adalah hari pertama perusahaan beroperasi. Prinsip ini meyakini banyak hal yang belum ditemukan dan banyak hal baru yang akan terjadi di masa depan. Perusahaan harus agile dan berani untuk menciptakan hal baru.

Ditarik dari cara kerjanya, Day 1 Company merupakan prinsip yang banyak digunakan startup. Amazon sebagai perusahaan yang sudah 27 tahun berdiri dengan berani bersikap layaknya perusahaan baru yang belum berpengalaman.

Mengapa Amazon bersikap demikian? Sananta menjelaskan bahwa desire konsumen adalah hal yang terus berubah. Mereka selalu memiliki ekspektasi baru terhadap layanan untuk menjadi solusi terhadap permasalahan hidup mereka.

“Kami membalikan operasional kembali ke apa yang diinginkan oleh konsumen yang kemudian men­-drive perusahaan untuk menciptakan inovasi. Konsumen berpotensi memberikan ide-ide baru untuk berinovasi. Untuk melakukan ini, Amazon menerapkan culture of innovation sebagai kunci untuk terus memuaskan konsumen,” papar Sananta.

Ada tiga hal yang diperhatikan Amazon dalam budaya inovasinya. Pertama adalah perusahaan harus berani melakukan eksperimen. “The more experiment do, the more innovation invented,” kata Sananta.

Dalam bereksperimen, Amazon tidak berpikir seberapa besar keuntungan yang akan didapatkan dari eksperimen yang dilakukan. Perusahaan ini mengutamakan kecepatan eksperimen tersebut sampai pada konsumen. Semakin cepat eksperimen baik dalam bentuk produk atau layanan sampai pada konsumen, semakin besar keuntungan yang bisa didapat. Lewat keberanian bereksperimen, Amazon berinovasi berbarengan dengan konsumennya.

Kembali pada prinsip Day 1 Company yang diterapkan, Amazon tidak takut untuk gagal. Dengan kecepatan inovasi yang dimilikinya, Amazon bisa dengan cepat mengubah eksperimen yang gagal dengan eksperimen lain. Namun, perusahaan ini jarang mengalami kegagalan eksperimen. Hal ini dipengaruhi oleh fundamen kedua, yaitu menggunakan actionable metrics dalam proses eksperimen.

“90% fitur yang dikembangkan oleh Amazon Web Services datang dari kami mendengarkan apa dibutuhkan konsumen. 10% datang dari kedekatan kami dengan konsumen. Sehingga, kami bisa membaca apa yang mereka mau, tidak mau, tidak bisa dilakukan dan berusaha mengukur untuk menerjemahkan kebutuhan itu dalam bentuk teknologi solusi,” tutur Sananta.

Ketiga adalah mempercepat decision making. Caranya dengan memperkecil tim sesuai dengan relevansi pekerjaannya. Proses penentuan yang berlapis bisa memperlambat inovasi. Amazon menamakan langkah ini sebagai Two-Pizza Teams. Penjelasannya, fungsi kerja dibagi kedalam kelompok kerja yang kecil dan otonom, bertanggung jawab terhadap satu layanan, memiliki jadwal yang pasti, tidak ada pelimpahan pekerjaan, dan dipercaya untuk menentukan inovasi yang dilakukan.

“Amazon tidak membentuk perusahaan ini dalam satu malam, tapi budaya kerja yang ada terbentuk dari pengalaman kami yang panjang. Terbukti bahwa pengalaman tersebut mengarahkan Amazon untuk menjadi perusahaan muda yang tumbuh bersama konsumennya. Kuncinya adalah memiliki obsesi terhadap konsumen, berani bereksperimen, terus belajar, percaya dengan kemampuan karyawan, dan think big, no think small,” tutup Sananta.

 

Editor: Eko Adiwaluyo

 

Related