Menilik Kesenjangan Adopsi AI di Industri E-Commerce Asia Tenggara

Teknologi artificial intelligence (AI) kini semakin mendapat tempat di berbagai sektor, termasuk dalam ranah e-commerce. AI dianggap mampu mempercepat dan menyederhanakan proses bisnis, bahkan membuka kemungkinan baru dalam cara kerja pelaku usaha.
Namun, di balik potensi besar yang ditawarkan, tidak sedikit tantangan yang dihadapi dalam implementasinya. Mulai dari pemahaman yang masih terbatas, keraguan akan efektivitasnya, hingga persoalan biaya serta kesiapan sumber daya manusia.
Melihat hal tersebut, Lazada bersama Kantar merilis laporan riset bertajuk “Menjembatani Kesenjangan AI: Persepsi dan Tren Adopsi Penjual Online di Asia Tenggara”.
BACA JUGA: Menilik Tantangan dan Potensi Pertumbuhan E-Commerce di Indonesia
Studi yang melibatkan lebih dari 1.200 pelaku e-commerce di enam negara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) ini bertujuan untuk memahami sejauh mana kesiapan mereka dalam mengadopsi teknologi AI ke dalam aktivitas bisnis sehari-hari.
Hasil riset menunjukkan bahwa mayoritas pelaku e-commerce di kawasan ini sudah cukup akrab dengan istilah AI. Tujuh dari sepuluh penjual mengaku mengenal teknologi tersebut. Meski begitu, pengaplikasiannya masih belum merata.
Di lapangan, hanya 37% yang benar-benar telah menggunakan AI dalam operasional bisnisnya, meskipun 47% mengklaim telah mengadopsinya.
Di Indonesia, perbedaan antara klaim dan realisasi ini cukup mencolok, mencapai 10%, dengan 52% mengaku memakai AI, namun yang benar-benar menggunakan baru 42%.
James Dong, CEO Lazada Group, mengungkapkan bahwa angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kesenjangan adopsi AI tertinggi ketiga di Asia Tenggara.
“Temuan kami mengungkap fenomena kesenjangan yang menarik dalam ekosistem e-commerce di Asia Tenggara. Meskipun sebagian besar penjual memahami potensi transformatif dari AI, banyak yang masih berusaha untuk bertransisi menuju tahap implementasi,” ujar James dalam siaran pers kepada Marketeers, Kamis (10/4/2025).
Situasi ini mencerminkan adanya jarak antara pengetahuan terhadap manfaat AI dan kemampuan untuk menerapkannya secara efektif.
Padahal, mayoritas responden (89%) percaya bahwa AI bisa meningkatkan produktivitas bisnis, dan 93% meyakini bahwa teknologi ini akan menghemat biaya dalam jangka panjang.
Sayangnya, lebih dari separuh penjual masih merasa terbebani oleh biaya awal dan kompleksitas sistem, yang membuat proses implementasi berjalan lambat.
Tantangan ini tidak hanya datang dari sisi teknis, tetapi juga menyangkut perubahan pola pikir dan kebiasaan kerja. Riset juga mencatat bahwa meskipun hampir semua penjual menyadari pentingnya peningkatan keterampilan dalam menggunakan AI, kenyataannya sebagian besar tenaga kerja masih merasa lebih nyaman menggunakan sistem lama yang sudah mereka kuasai.
Ini menunjukkan bahwa adopsi AI tidak bisa hanya dilihat sebagai urusan membeli perangkat lunak. Lebih dari itu, perlu ada perubahan budaya kerja yang menyeluruh.
Secara umum, Indonesia dan Vietnam mencatat angka adopsi tertinggi di kawasan, dengan 42% penjual telah memanfaatkan AI untuk berbagai fungsi—mulai dari logistik, operasional, pemasaran, hingga layanan pelanggan.
Penjual kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu AI Adepts (pengguna AI secara menyeluruh), AI Aspirants (pengguna sebagian), dan AI Agnostics (yang masih mengandalkan sistem manual).
BACA JUGA: Strategi Kemendag Perkuat Daya Saing UKM di Pasar E-Commerce
Indonesia berada di posisi yang cukup kompetitif, dengan 29% penjual termasuk dalam kategori AI Adepts, menyamai Singapura, meski masih tertinggal dari Thailand (30%).
Namun, data ini juga menyiratkan bahwa mayoritas pelaku usaha masih berada dalam tahap awal atau pertengahan perjalanan digital mereka. Kategori AI Aspirants dan AI Agnostics mendominasi, menandakan bahwa masih ada pekerjaan rumah besar agar AI dapat diakses dan diterapkan secara lebih luas.
Terutama di Indonesia, fungsi logistik dan operasional menjadi dua area penting yang perlu mendapat perhatian khusus, mengingat potensinya untuk ditingkatkan melalui solusi AI yang tepat dan dukungan teknis yang relevan.
Pada akhirnya, AI bukan sekadar wacana atau tren sesaat. Bagi pelaku bisnis online atau e-commerce, AI adalah alat untuk bertumbuh dan bersaing di era digital.
Editor: Eric Iskandarsjah Z