Menilik Peluang Indonesia di Antara Perang Dagang AS-China

marketeers article
Close up of of China Yuan banknote and US dollar for trade war and economic tax barrier concept.

Indonesia dinilai memiliki peluang di tengah geliat perang dagang Amerika Serikat dengan China.Hal ini dikatakan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto lantaran Indonesia masih memiliki fundamental ekonomi yang kuat dalam menghadapi situasi global saat ini.

“Bagi Indonesia, sebetulnya perang dagang AS-China ini zero sum game, yang artinya tidak ada yang diuntungkan. Tetapi, di sini kita punya peluang. Adanya trade war ini, orang melihat negara kita berada di zona aman,” kata Airlangga di Jakarta, Minggu (16/06/2019).

Menperin menjelaskan, Indonesia telah masuk zona aman investasi sejak 20 tahun lalu, yakni setelah berakhirnya Orde Baru dan dimulainya masa Reformasi. “Sebagai negara dengan kondisi geopolitik yang cukup stabil, Indonesia kini semakin diincar oleh investor asing,” ujar Airlangga.

Beberapa waktu lalu, lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) Global Ratings meningkatkan peringkat utang jangka panjang atau sovereign credit rating Indonesia dari BBB- menjadi BBB dengan outlook stabil. Dengan demikian, Indonesia kini memperoleh status layak investasi atau investment grade dari ketiga lembaga pemeringkat internasional, yakni S&P, Moody’s, dan Fitch.

Terlebih, Airlangga menilai, Indonesia sedang dipandang sebagai salah satu negara yang serius dalam mengembangkan ekonomi digital. Itu menjadi nilai positif tersendiri bagi para pelaku usaha dunia. “Bahkan, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe melihat Asia Tenggara terutama Indonesia bisa menjadi ground untuk digital economy,” tuturnya.

Untuk itu, salah satu langkah yang perlu dilakukan saat ini adalah meningkatkan daya saing industri manufaktur nasional agar bisa lebih kompetitif dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. “Indonesia masih menjadi daya tarik untuk investasi industri berbasis elektronika, garmen, alas kaki, serta makanan dan minuman,” imbuhnya.

Misalnya produsen elektronika Sharp Corporation dan LG Electronics, akan menambah kapasitas pabriknya di Indonesia. Produk yang bakal mereka hasilkan untuk tujuan ekspor dan domestik.

“Kedua industri berbasis elektronika tersebut telah memiliki basis produksi di Indonesia, sehingga apabila terjadi relokasi pabrik, maka akan bersifat ekspansi. “Jadi, sifatnya ekspansi. Salah satunya karena mereka sudah punya pengalaman di Indonesia, dan Indonesia dinilai sudah stabil,” imbuh Airlangga.

Sementara , Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kemenperin Janu Suryanto mengatakan, Sharp akan merelokasi pabrik mesin cuci dua tabung dari Thailand ke pabrik yang ada di Karawang International Industrial City (KIIC). Sedangkan, LG akan merelokasi pabrik pendingin ruangan dari Vietnam ke fasilitas produksi yang ada di Legok, Tangerang. “Mereka akan mulai produksi dan mulai dipasarkan pada September 2019 sebanyak 25 ribu unit,” ungkapnya.

Selanjutnya, jumlah produksinya ditargetkan naik menjadi 50 ribu unit. “Ya, paling tidak nanti bisa diekspor (juga) ke ASEAN. Investasi Sharp dan LG sekitar ratusan miliar rupiah,” imbuh Airlangga.

Industri manufaktur sendiri merupakan salah satu sektor yang menyumbang cukup signfikan bagi total investasi di Indonesia. Pada triwulan I tahun 2019, industri pengolahan nonmigas berkontribusi sebesar 18,5% atau Rp 16,1 triliun terhadap realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Adapun tiga sektor yang menunjang paling besar pada total PMDN tersebut di tiga bulan awal tahun ini, yakni industri makanan yang menggelontorkan dana mencapai Rp 7,1 triliun, disusul industri logam dasar Rp 2,6 triliun dan industri pengolahan tembakau Rp 1,2 triliun.

Selanjutnya, industri manufaktur juga menyetor hingga 26% atau US$1,9 miliar terhadap realisasi penanaman modal asing (PMA). Tiga sektor yang menopangnya, yaitu industri logam dasar sebesar US$ 593 juta, diikuti industri makanan US$ 376 juta serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia US$ 217 juta.

Editor: Sigit Kurniawan

Related