Menristek: Kolaborasi Triple Helix Jadi Dasar Membentuk Ekosistem Riset

marketeers article
Group of People with Research Concept

Pemerintah menggunakan Konsorsium Riset dan Inovasi Penanganan COVID-19 sebagai sarana kolaborasi kepakaran yang mengoptimalkan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Adanya konsorsium ini, Indonesia bisa semakin mudah melakukan evaluasi untuk mempersiapkan bekal dalam menghadapi tantangan lain yang tidak terduga (emerging issue).

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, riset dan inovasi akan terus punya peranan besar di masa depan, khususnya pada pemulihan pascapandemi. Oleh karenanya, kolaborasi untuk menghasilkan penelitian hingga memastikan manfaatnya sampai ke masyarakat sangat dibutuhkan. Upaya ini dilakukan dengan mengawinkan seluruh peran para aktor seperti pemerintah pusat dan daerah, perguruan tinggi, balitbangjirap swasta dan pemerintah, dunia industri, hingga organisasi masyarakat sipil (OMS).

“Saya ingin kembali lagi pada konsep triple helix sebagai dasar membangun ekosistem riset dan inovasi di Indonesia. Kolaborasi dengan dunia usaha menjadi prioritas urgensi saat ini. Bagaimanapun dalam ekosistem riset dan inovasi perlu terjadi transformasi, dari dominasi peran negara, baik secara sumber daya dan anggaran, ke dominasi peran dunia usaha secara bertahap,” kata Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro dalam acara Diskusi Kebijakan: Kolaborasi Kepakaran dan Riset Dasar untuk Lompatan Inovasi yang diselenggarakan oleh Knowledge Sector Initiative dan Katadata, Selasa (12/01/2021)

Ia menambahkan, kalau triple helix antara pemerintah, peneliti, dan dunia usaha tidak bisa dibangun dengan baik, sangat mustahil kita bisa melahirkan ekosistem riset dan inovasi yang kuat. Pada masa pandemi, kolaborasi triple helix antara peneliti, pemerintah dan dunia usaha bisa berjalan lancar. Salah satu contohnya adalah produksi alat tes COVID-19 yang dibuat oleh industri dalam negeri. Padahal, ketika awal pandemi, alat tes COVID-19 masih diimpor.

“Ini menjadi contoh bahwa di masa pandemi, peneliti sudah bisa berkolaborasi dengan dunia usaha yang selama ini lebih memrioritaskan keuntungan dan juga dengan bantuan dari pemerintah. Jadi, kuncinya dari situ,” katanya.

Proses kolaborasi berdasarkan kepakaran akan memudahkan penanganan emerging issue karena dapat diselesaikan dalam waktu cepat. “Keterwakilan ragam dari perspektif, yaitu kepakaran dan pemangku kepentingan itu menjadi sangat penting sekali,”  ungkap Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti.

Hal lain yang masih perlu diperbaiki ialah kolaborasi dengan daerah. Sebab masih ada balitbangjirap di daerah yang diisi oleh nonpeneliti. Hal ini disebabkan cara kerja yang masih seperti birokrat. Imbasnya membuat balitbangjirap sulit untuk menghasilkan riset berkualitas tinggi dan memiliki kepakaran sehingga sering kali hasil penelitiannya tidak dipakai oleh pemangku kebijakan.

Direktur Tata Ruang, dan Penanganan Bencana Bappenas Sumedi Andono Mulyo mengatakan, di sini peran pemerintah harusnya pada fasilitasi transformasi sosial, budaya dan ekonomi di daerah. Karena, centre of excellence itu mustinya terjadi di daerah. “Selain fasilitasi adalah penguatan suatu rantai nilai dalam kerangka ekonomi (circular economy) dengan berdasarkan kaidah pembangunan berkelanjutan. Nanti kami elaborasi itu,” katanya.

    Related