Merek, Metaverse, dan Generasi Latah

marketeers article
Ilustrasi Merek, Metaverse, dan Generasi Latah (Sumber: 123RF)

Oleh Ignatius Untung, Praktisi Marketing & Behavioral Science

Seorang remaja meraup uang miliaran hanya dengan menjual non-fungible token (NFT) dengan tampilan foto selfie dia setiap hari selama beberapa tahun. Wajahnya tak rupawan, walaupun sama sekali tidak menyeramkan juga. Intinya tidak ada yang spesial dari foto tersebut. 

Selang beberapa hari sebelumnya, SM Entertainment, sebuah agensi entertainment Korea Selatan yang menaungi beberapa artis Korea mengadakan SMTOWN concert. Sebuah konser secara virtual yang dianggap sukses besar di dunia “fana.”  

Blockchain, cryptocurrency, metaverse, NFT, dan berbagai produk teknologi web 3.0 semakin ramai dibicarakan. Terutama, setelah Facebook mengumumkan kehadiran metaverse. Apa itu metaverse? Singkatnya, metaverse bisa kita anggap sebagai dimensi kehidupan lain di dunia digital. 

Metaverse adalah replikasi dari kehidupan kita yang nyata ini dalam bentuk maya. Sehingga, membuka kemungkinan terhadap lebih banyak hal yang tidak mungkin atau terlalu sulit untuk dibuat di dunia nyata. Misalnya, membuat mobil terbang atau ponsel yang tidak pernah kehabisan daya. 

Kehidupan di dimensi baru ini tentunya memberi menawarkan banyak hal untuk dimiliki, termasuk membeli baju, mobil, rumah, tanah, atau hiburan. Tentunya, semua itu hanya bisa digunakan di dunia “fana” tersebut. Bagi kehidupan di dunia fana ini, tentunya akan membuka kesempatan bagi banyak orang untuk bekerja, seperti arsitek digital, 3D designer, digital make up artist, property developer, dan sebagainya. 

Siapa pun yang menghuni dunia metaverse ini juga memiliki kebutuhan untuk membeli tanah, membangun rumah, mendekorasi rumah, membeli mobil dengan fitur yang tak terbatas, membeli baju yang menarik, dan sebagainya. Sehingga, dalam dunia metaverse, akan ada toko-toko yang menjual berbagai macam kebutuhan tersebut. Memang, tidak menutup kemungkinan toko-toko digital di metaverse bisa menjual barang fisik yang bisa dikirim ke rumah layaknya situs e-commerce. Tapi, akan banyak sekali produk digital yang hanya bisa dipergunakan di dunia metaverse

Bagaimana dengan NFT?

Sebagai turunan dari teknologi blockchain, NFT bisa digambarkan sebagai sebuah “sertifikat” otentik kepemilikan suatu barang. Foto atau desain yang menyertai NFT itu memang bisa direplikasi hanya dengan melakukan screenshot dari tampilannya. Namun, hak untuk menjual ada di tangan pemiliknya yang terenkripsi di dalam NFT tersebut. 

Jadi, walaupun tampilan dari NFT tersebut bisa dengan mudah diperbanyak dan disebarkan, namun tidak mengurangi nilainya. Sebab, nilainya terletak pada identitas pemilik sah yang tersimpan dalam enkripsi NFT tersebut. Artinya, hanya sang pemilik sah yang bisa menjualnya.

Pertanyaan yang sering muncul, terutama dari mereka yang masuk ke generasi X macam saya ini adalah “kok, ada yang mau beli?” Tidak terlalu mudah bagi gen-X dan mereka yang tidak mengerti konsep web 3.0 ini untuk mengerti bagaimana orang-orang mau mengeluarkan uang ratusan ribu, jutaan, puluhan juta, ratusan juta, bahkan milaran untuk membeli barang-barang yang hanya bisa digunakan di dunia digital. Terlebih, ketika barang-barang tersebut tidak semuanya memiliki fungsi fisik, seperti mobil di dunia nyata yang bisa membantu kita berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Saya sengaja menyinggung gen-X karena menurut berbagai penelitian gen-X memiliki perbedaan dengan generasi-generasi selanjutnya, terutama dalam hal kepemilikan. Generasi X dikenal sebegitu menghargai kepemilikan fisik. Sebab itu, generasi ini mau mengeluarkan uang untuk membeli mobil, rumah, dan berbagai kepemilikan fisik lainnya. 

Sementara generasi-generasi yang lebih muda cenderung lebih menghargai kepemilikan yang berbentuk experience. Lihatlah, generasi Y dan Z yang bahkan sudah memiliki penghasilan cukup baik, tapi masih menunda membeli mobil dan rumah. Mereka hidup cukup nyaman dengan bantuan ride hailing yang mudah dan terjangkau. 

Begitu juga dengan tempat tinggal, tidak sedikit dari mereka yang rela menunda membeli rumah.  Bahkan, dengan kesadaran penuh bahwa harga perumahan akan terus naik. Sebagai gantinya, mereka menghabiskan uang lebih banyak pada hal-hal yang berupa experience, baik berupa pengalaman travelling ke berbagai tempat, maupun mencoba hal-hal baru yang memicu rasa penasaran. Oleh karena itu, metaverse bisa mendapat tempat di benak generasi Y & Z karena memberikan pengalaman yang berbeda.

Web 3.0 dan behavioral science

Dari perspektif ilmu behavioral science, berbagai produk web 3.0, termasuk metaverse dan NFT bisa melonjak akibat social pressure. Seperti kita ketahui semenjak pandemi merebak dan di tengah rontoknya harga saham, mendadak berbagai platform trading saham membanjiri pasar. Banyak sekali generasi muda yang berlomba ikut bertaruh peruntungan dengan ikut trading saham. 

Mei tahun lalu, ketika saya sedang bernegosiasi dengan penerbit buku terbesar se-Indonesia untuk penerbitan buku brand & behavioral science, pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh penerbit adalah apakah buku yang saya terbitkan buku tentang investasi di saham? Ia menceritakan bagaimana investasi di saham dan produk investasi sejenisnya mendadak laku keras. 

Sebagian besar dari mereka yang ikut mengadu peruntungan di investasi saham adalah mereka yang tidak melakukan technical analysis. Mereka juga tidak menyempatkan waktu untuk mencari tahu berita dan informasi untuk melakukan fundamental analysis. 

Adalah social pressure yang muncul dari rasa FOMO (fear of missing out) yang membuat mereka takut ketinggalan dari kesempatan untuk kaya mendadak ini. Bahkan, dengan pengetahuan dan keterampilan yang begitu minim tentang dunia investasi, mereka mempertaruhkan uang yang dikumpulkannya susah-payah dengan keringat dan waktu untuk sekedar ikut arus. 

Social proof dipertontonkan dan semakin mudah dipamerkan, baik sengaja atau tidak melalui media sosial yang semakin mendominasi. Social proof berupa video-video bagaimana kesuksesan dan kekayaan dari investasi saham, aset kripto, dan instrumen sejenis dipamerkan di linimasa media social.

Memicu intuisi paling dasar audience-nya untuk ikutan kebagian pleasure dengan ikutan kaya mendadak, sekaligus memberikan gambaran pain melalui positive anticipated regret. Berupa bayangan bagaimana menyesalnya mereka jika ternyata saham dan instrumen investasi lain yang batal dibeli karena keraguan, ternyata benar bisa membawa keuntungan.

Social pressure ini pula yang saya yakini akan menjadi pendorong utama mengapa metaverse dan NFT bisa mendapat sambutan yang baik. Di samping iming-iming kekayaan mendadak yang dibicarakan dan dipertontonkan orang-orang. Social wealth dan persepsi keren menjadi hal yang mendorong orang-orang untuk ikut ambil bagian dengan mengeluarkan uang untuk metaverse dan NFT. 

Ketika banyak orang di sekeliling kita memiliki dan memperbincangkan kehidupan mereka di metaverse, maka merasa terkucilkan karena tidak mengerti dan bisa berpartisipasi dari apa yang diperbincangkan. Hal tersebut menurunkan social wealth kita. 

Sebaliknya, mereka yang lebih awal, lebih banyak, lebih keren memiliki aset-aset di dunia metaverse seolah-olah akan dipandang keren dan memiliki social wealth tinggi. Untuk itu, ketika tipping point-nya tercapai, maka gelombang pembeli akan masuk dan nilai dari berbagai aset yang tidak semuanya memiliki fungsi secara fisik ini akan meledak.

Pertanyaan selanjutnya, kapan dan bagaimana ini akan terjadi? Dalam sepuluh tahun terakhir, kita menyaksikan banyak anak muda yang mendadak tenar dan berpenghasilan luar biasa besar. Mereka adalah para influencer yang hidup dari pundi-pundi endorsement dan bagi hasil pemasukan iklan dari platform berbagi video.

Media sosial memfasilitasi orang-orang dengan bakat tertentu untuk dilihat, digemari, diikuti, dan bahkan mempengaruhi keputusan pembelian banyak orang. Merek rela menggelontorkan puluhan hingga ratusan juta untuk sekadar disebut atau direkomendasikan oleh para influencer ini. 

Adopsi berbagai produk web 3.0 akan lebih cepat terdorong dengan adanya messenger effect, yaitu pengaruh yang didorong oleh sosok yang mengomunikasikan tren ini. Ketika mereka yang dianggap berpengaruh sudah bersabda, maka gelombang adopsi akan terjadi. 

Kita melihat lonjakan nilai salah satu cryptocurrency yang terjadi tahun lalu. Hal tersebut salah satunya juga tidak bisa lepas dari sosok-sosok berpengaruh, termasuk Elon Musk dan Tesla yang melakukan pembelian cryptocurrency. Begitu juga dengan bagaimana cuitan pertama mantan CEO Twitter Jack Dorsey dijual dalam bentuk NFT dan langsung melambung tinggi harganya.

Semua fenomena ini memberi kita pelajaran tentang konsep dasar merek. Dalam banyak kesempatan, kita seringkali menghabiskan banyak waktu dan keyakinan pada functional physical feature sebuah merek dalam membangun merek itu sendiri. 

Metaverse dengan berbagai aset dan barang yang diperdagangkan di dalamnya dan tidak memiliki functional physical feature bisa membuktikan bahwa manusia membeli sesuatu tidak selalu hanya karena fungsi fisik yang bisa diukur. Melainkan juga dari emotional benefit dari rasa bangga, hingga status keren yang didapatkan ketika menggunakan sebuah merek. 

Membangun merek bukan sekadar membangun functional benefit, tapi juga emotional benefit. Atas dasar emotional benefit, merek-merek besar bisa meraup margin yang lebih tebal. Emotional benefit pula yang membuat harga sebuah merek tidak dinilai dari biaya produksinya. Tapi, dari perasaan apa yang didapatkan dari menggunakan merek tersebut. 

Lihatlah bagaimana banyak orang rela membayar mahal untuk membeli produk Apple tanpa menimbang-nimbang feature dan ongkos produksinya. Sementara, berbagai merek Android harus melewati filter,layak nggak ya, bayar segini untuk spesifikasi segini?” Layaknya bagaimana aset-aset dalam metaverse akan diadopsi, merek harus mampu membangun rasa bangga bisa memilikinya. 

Coolness factor yang dibangun merek ini harus memiliki daya persuasi yang kuat hingga bisa menciptakan kelompok yang lebih besar untuk kemudian menciptakan konsensus bahwa merek ini keren. 

Lihatlah, berbagai macam merek sepatu sneakers dan tas mewah yang harganya selangit. Ini hanya bisa terjadi akibat konsensus dari para penggunanya bahwa merek ini memang keren dan layak dibeli dengan harga berapa pun. Layaknya, memiliki aset di metaverse akan menjadi sebuah indicator status social. Begitu juga merek harus mampu menjadi penanda status sosial atau behavioral. Persis seperti bagaimana pengguna mobil entry level BMW atau Mercedes Benz masih dianggap lebih spesial dibanding pengguna mobil merek Asia dengan harga yang sama. 

Namun, kita harus waspada untuk tidak salah mengambil pelajaran dari bagaimana sosok influential macam Elon Musk yang mampu mendorong adopsi cryptocurrency. Banyak merek strategis yang mungkin akan berpikir bahwa merek juga harus menggandeng sosok influential untuk memanfaatkan messenger effect ini. 

Walaupun tidak salah, saya lebih mau menekankan pentingnya membangun merek yang memiliki efek influential yang punya messenger effect dan midas touch yang luar biasa ketimbang mengambil posisi sebagai bohir-nya para pemilik messenger effect.

Pada akhirnya, metaverse juga mengajarkan kita bahwa experience sangatlah penting. Experience berbeda yang ditawarkan metaverse mengajarkan kita bahwa konsumen dan generasi muda saat ini menaruh penghargaan tinggi terhadap experience. Untuk itu, kita harus menciptakan experience yang luar biasa di seputar merek kita dalam bentuk apa pun yang memungkinkan. 

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related