Merumuskan Pemasaran yang Customer-Centric dan Tahan Resesi

profile photo reporter Marketeers
Marketeers
03 November 2022
marketeers article
Merumuskan Pemasaran yang Customer-Centric dan Tahan Resesi. (FOTO: 123rf)

Oleh Abraham Anugrah Simatupang, Gen Z, Fresh Graduate Universitas Kristen Maranatha

Sektor bisnis masih mengalami tekanan setelah digempur pandemi COVID-19 dalam dua setengah tahun terakhir. Kala itu, transformasi digital menjadi solusi brand atau merek untuk bertahan di tengah minimnya mobilitas masyarakat dan aktivitas ekonomi lapangan.

Belum sepenuhnya pulih, kini sektor bisnis akan menghadapi gelombang resesi pada tahun 2023. Namun, faktanya, tantangan itu tak lantas membuat pemerintah pesismistis.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaksir pertumbuhan ekonomi tahun 2023 bisa berada di 5,5%. Berdasarkan data ekonomi terkini, perekonomian nasional untuk kuartal II 2022 tumbuh mencapai 5,44% dan secara kumulatif hingga semester I 2022 di level 5,23%

Fakta di lapangan, tantangan brand justru makin kompleks, seperti jumlah tenaga kerja yang minim, masalah rantai pasok, dan beban biaya usaha yang makin tinggi. Hal ini juga diperparah dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan suku bunga acuan untuk meredam inflasi.

Data terbaru, bank sentral telah menaikkan suku bunga acuan ke 4,75%. Aksi pengetatan moneter itu sudah berjalan selama tiga kali dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.

Kenaikan suku bunga acuan membuat pinjaman menjadi lebih mahal sehingga secara praktis pertumbuhan sektor riil turut terhambat. Dengan demikian, perusahaan dipastikan merumuskan ulang rencana anggaran pada tahun 2023.

Namun, perusahaan memerlukan strategi untuk bertahan dengan menyeimbangkan nilai untuk merek dan nilai bagi pelanggan. Situasi ketidakpastian harus mendorong merek berinovasi demi kepuasan konsumen.

Mengutamakan pelanggan melalui strategi yang autentik

Data Forrester terbaru menunjukkan 52% merek berencana untuk mengoptimalkan anggaran pemasaran secara signifikan. Harvard Business Review bahkan menilai perusahaan yang sebelumnya telah bangkit dari resesi  tidak memotong pengeluaran untuk pemasaran. Dalam banyak kasus, pengeluaran untuk pemasaran justru benar-benar ditingkatkan.

Sebagai contoh, Netflix mengalami tahun terburuk pada 2011 di tengah badai resesi yang menimpa Amerika Serikat (AS). Pada tahun itu, Netflix kehilangan pelanggan, harga saham turun tajam dan manajemen hancur. Namun, Netflix terus meningkatkan kualitas dan layanan menggunakan survei pelanggan yang sederhana dan efisien. Perusahaan juga mau mendengarkan keluhan pelanggan dan diewanjatahkan dalam kebijakan yang memuaskan semua pihak.

Pangkas aktivitas dan aset yang tidak memberikan nilai

Pendekatan pemasaran yang mengutamakan kebutuhan dan minat di dalam suatu nilai pelanggan harus dimengerti merek. Menurut David Rogers, Professor Columbia Business School, perilaku pelanggan era digital selalu ingin mencari informasi dan berinteraksi lebih mudah dan fleksibel, di mana pun dan kapan pun mereka mau.

Perusahaan Southwest Airlines memiliki kebijakan yang apik dibandingkan maskapai penerbangan lain. Dalam pelayanannya ada harga tiket untuk bujet rendah, biaya bagasi yang terbatas dan memungkinkan pelanggan mengubah tanggal penerbangan.

Apa yang dilakukan Southwest Airlines hanyalah mendengarkan pelanggan mereka dan menyingkirkan hal-hal yang tidak perlu. Hasilnya, perusahaan hanya menerima sedikit keluhan, keuntungan yang meningkat dan pelanggan yang bahagia.

Bereksperimen secara bertanggung jawab

TikTok menjadi media sosial (medsos) besar lantaran menemukan kreasi dan inovasi baru yang ditawarkan ke pelanggan. Sebuah uji coba akan membuka pintu akuisisi pelanggan baru, mengetahui kebutuhan produk yang belum diketahui hingga experience customer yang bisa dievaluasi.

Dilansir dari Adweek, setidaknya ada empat nilai yang bisa digunakan merek untuk menggaet pelanggan. Pertama, nilai ekonomi dengan membantu pelanggan menghemat uang. Kedua, nilai fungsional dengan meningkatkan kegunaan dan keandalan.

Ketiga, nilai pengalaman, dengan memfasilitasi interaksi yang menyenangkan dan bermanfaat. Keempat, nilai simbolik yang menciptakan makna bagi pelanggan dalam hubungannya dengan orang lain.

Perusahaan Patagonia menunjukkan nilai ekonomi mereka kepada pelanggan melalui transparansi. Patagonia juga menciptakan kepercayaan pelanggan dengan menyambangi berbagai perguruan tinggi dan memperbaiki pakaian apa pun yang dibawa mahasiswa kepada mereka.

Patagonia menunjukan nilai pengalaman dengan mempromosikan hubungan antarpelanggan. Kegiatan pemasaran ini tidak secara langsung menguntungkan. Namun, Patagonia menciptakan koneksi untuk loyalitas pelanggan.

Kolom ini merupakan tulisan kontributor dari kalangan Gen Z untuk program Voice of Gen Z.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related