Microequity Solusi Lahirkan Micro Entrepreneur

marketeers article

Muhammad Yunus melalui Grameen Bank menerima hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2006 karena berhasil merintis revolusi keuangan mikro. Para visioner lain seperti Fazel Hasan Ahmed melalui BRAC (Bangladesh Rural Advancement Committee) dianggap berhasil membantu 150 juta warga setempat keluar dari kemiskinan.

Adapula John Hatch, pendiri FINCA (Foundation for International Community Assistance) yang berkembang menjadi village bank atau bank desa. Ia juga didaulat sebagai pelopor dalam revolusi keuangan mikro di area rural.

Meskipun kata microfinance seharusnya berkaitan dengan microsaving dan microinsurance, akan tetapi fokus mereka selama hampir dua dekade terakhir adalah memberikan pinjaman mikro atau dengan nominal cukup kecil, dari mulai Rp 200.000 hingga Rp 2 juta.

Model microfinance dianggap sukses karena mampu memberikan pinjaman kecil kepada wirausaha mikro tanpa harus menyertakan jaminan fisik. Walau tidak ada jaminan fisik, tingkat pembayaran kembali (payment rate) sangat tinggi alias lebih dari 95%.

Terlepas dari tingkat pembayaran yang tinggi, namun microfinance terbukti sangat sulit untuk menciptakan model pinjaman mandiri dan ekonomis yang tidak mengandalkan bentuk subsidi baik eksplisit atau implisit dari pemerintah, organisasi amal, atau individu-inidvidu yang mau bersedia mengorbankan waktu dan bakat mereka untuk tujuan tersebut.

Padahal, kompensasi yang mereka peroleh bisa saja jauh lebih kecil dari pekerjaan yang seharusnya mereka dapatkan. Salah satu produk microfinance adalah microloan atau pembiayaan usaha bagi wirausaha mikro melalui pembiayaan mikro.

Pembiayaan jenis ini dipercaya dapat memberikan manfaat bagi pertumbuhan usaha serta perubahan kehidupan pribadi maupun keluarga wirausaha mikro itu. Pemerintah Indonesia baik tingkat pusat maupun daerah bahkan menciptakan berbagai program dana bergulir kepada kelompok masyarakat sebagai bentuk pengentasan kemiskinan melalui pembiayaan usaha mikro.

Beberapa dana bergulir yang tersedia didistribusikan ke beberapa program pemerintah berbasisi microloan, misalnya Inpres Desa Tertinggal, Kredit Candak Kulak (KCK), dan Program Tabungan & Kredit Usaha Rekyat (Takesra-Kukesra).

Namun demikian, pernahkah kita mempertanyakan mengapa usaha yang didanai oleh pembiayaan mikro kebanyakan sulit berkembang? Bagi wirausaha mikro, persoalan permodalan (access to capital) menjadi masalah utama ketika mengembangkan usaha.

Sementara bagi lembaga keuangan penyalur kredit, ada daua hal yang menjadi kendala dalam penyaluran kredit kepada wirausaha mikro: Pertama, karena proposal kredit yang tak sesuai standar. Kedua, persyaratan penilaian usaha yang tidak memenuhi syarat, seperti aspek legalitas, jaminan, dan manajemen.

Meski populer, beberapa pakar ekonomi menganggap microloan dianggap gagal dalam menciptakan bisnis yang berkesinambungan (sustainable business), meningkatkan pertumbuhan matapencaharian dan jenis usaha baru, serta perbaikan pendapatan rumah tangga dalam jangka panjang.

Pembiayaan konvensional seperti micro credit membuat wirasusaha mikro tidak memiliki pilihan lain untuk meningkatkan pinjaman yang sangat kecil sebagai modal pengembangan usahanya.

Pengusaha mikro biasanya mengambil pinjaman secara bergulir dan mengambil pinjaman lain untuk melunasi pinjaman pertama. Bahkan, mereka memakai pinjaman usaha untuk kepentingan pribadi, mengembalikan pinjaman, dan mengambil pinjaman lagi terus-menerus tanpa memikirkan dampak bagi usahanya.

Microloans konvensional saat ini nyatanya tidak banyak membantu pengusaha. Akses mendapatkan pinjaman sangat kompleks, dari dokumen-dokumen hingga penjamin,” kata Indra Yuliawan, Head of Operations CSR Allianz Indonesia.

Ia melanjutkan, bunga yang dibebankan pun juga sangat volatile. Belum lagi dengan jadwal pengembalian yang sangat ketat. Semua itu pada akhirnya tidak memberikan ruang untuk mengembangkan usaha.

Hal ini lah yang membuat wirausaha mikro yang menggunakan microloan masih terkendala dengan kemampuan untuk mengembangkan usahanya, apalagi untuk menciptakan keuntungan yang stabil.

“Sikap ketergantungan terhadap micro loan yang memiliki jadwal pengembalian yang ketat dan suku bunga pinjaman yang tinggi mengakibatkan hambatan kesinambungan bisnis,” papar dia.

Micro equity

Karena itu, muncul paradigma baru, yaitu micro equity atau pembiayaan ekuitas. Ini merupakan pembiayaan usaha yang menggunakan ekuitas melalui investasi dalam bentuk sejumlah uang untuk mendapatkan kepemilikan (ownership) dari usaha tersebut. Micro equity tidak mewajibkan pengembalian pinjaman ayaknya pembiayaan melalui hutang atau loan financing.

Pendekatan ini menghasilkan kredibilitas bagi bisnis yang dibiayai karena investor mengharapkan investasinya kembali melalui keuntungan jangka panjang. Hal ini juga berlaku di tingkat usaha mikro yang mencari equity financing karena persyaratan yang lebih sederhana dan biaya murah ketika mengajukan rencana bisnis kepada investor ekuitas.

Allianz pun mengembangkan konsep micro equity pada tahun 2016 melalui Trust Network Finance (TNF) yang kini di-rebranding menjadi Equitree. Nantinya, Equitree akan dilepas dari Allianz untuk dikembangkan menjadi social enterprise independen, sehingga diharapkan dapat menghasilkan profit.

“Sederhananya, micro equity tidak membeirkan bunga sebagai salah satu acuan kebutuhan modal. Bahkan, kami tidak meminta jaminan,” terang dia yang kini menjabat sebagai Founder of Equitree.

Model pinjaman mikro ini pertama kali diujicoba pada tahun 2016 lalu di Kabupaten Bogor. Kota Hujan itu dipilih karena merupakan “sarang” para UKM, khususnya kuliner. Bahkan, jumlah UKM di Bogor adalah yang paling besar di Jawa Barat. Melalui pilot project itu, Equitree telah menjaring 160 wirausaha mikro yang diberikan modal maksimal Rp 2 juta.

Profit sharing

Dengan sistemberbasis syariah, Equitree menggunakan pendekatan profit sharing, di mana bunga pinjaman yang secara konvensional diwajibkan tidak berlaku karena digantikan dengan konsep bagi hasil yang adil sesuai kesepakatan. Selama tiga bulan pertama setelah memperoleh investasi, wirausaha mikro bisa saja tidak mengembalikan pinjaman tersebut, namun menggantinya dengan profit sharing.

Dalam pembiayaan usaha, bagi hasil merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan nilai (value) dan memaksimalkan kesejahteraan (maximize wealth) terutama bagi wirausaha mikro. Selain itu, jika dalam loan financing menawarkan jaminan pinjaman dan jadwal pengembalian yang ketat, hal ini tidak berlaku dalam micro equity syariah karena digantikan dengan konsep kepercayaan (trust).

Terlebih, pengembangan bisnis yang dalam pinjaman konvensional dilakukan melalui siasat marketing, digantikan dengan program referral yang berlaku bagi investee (penerima program) yang berhasil menciptakan profit sharing. Hal ini tentu saja mampu mengurangi biaya operasional pemasaran.

“Selama uji coba selama dua tahun, kami akan kembangkan metode ini di Jawa Tengah dan Yogyakarta,” papar Indra. Ia melanjutkan, “Yang menjadi kendala adalah edukasi mengenai micro equity, sebab wirausaha mikro lebih mengetahui micro loan,” terangnya.

Editor: Sigit Kurniawan

 

Related