Mindful Leaders vs Quiet Quitters

marketeers article
Ilustrasi. (FOTO: 123rf)

Oleh Hermawan Kartajaya, Founder and Chairman M Corp.

PRE:GEN Z IN THE WORKPLACE

Cepat atau lambat, di Indonesia generasi Z atau Gen Z akan segera melampaui dominasi generasi Milenial. Gen Z disebut sebagai generasi yang lahir setelah generasi Y. 

Mereka yang termasuk ke dalam generasi ini lahir dari tahun 1995 sampai dengan 2010. Berdasarkan hasil sensus penduduk Indonesia yang dilakukan pada tahun 2020, 27,94% dari populasi Indonesia saat ini termasuk ke dalam kalangan generasi Gen Z (Setiyadi, 2021). 

Angka tersebut merupakan kategori generasi dengan jumlah populasi terbanyak. Maka dari itu, bukanlah sebuah hal yang aneh jika Generasi Z mulai mendominasi berbagai sektor dan aspek masyarakat Indonesia, termasuk di dalam dunia kerja.

BACA JUGA: Human 5.0

Lantas, apakah dampak dari masuknya generasi baru ini ke dalam dunia kerja? Menurut berbagai penelitian, salah satu perbedaan utama yang ditemukan di antara kalangan pekerja Gen Z dan Milenial adalah pola serta preferensi kerja mereka. 

Masih ingat dengan kasus pengunduran diri 100 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada seleksi tahun 2022? Pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil dulu merupakan pekerjaan impian yang diidamkan banyak orang. 

Akan tetapi, hal tersebut tidak lagi berlaku di antara 100 pemuda kalangan Gen Z tadi. Nusa dan Susanti (2022) melihat adanya perbedaan mentalitas serta preferensi menjadi pendorong fenomena tersebut.

BACA JUGA: Entrepreneurship in Times of Uncertainty  

Generasi Z merasa tidak masalah jika harus kehilangan pekerjaan tertentu, termasuk sebagai PNS, karena optimisme mereka dalam mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik (Nusa dan Susanti, 2022). Hal lain yang juga tidak kalah menarik untuk disorot adalah kepedulian Gen Z dengan isu kesehatan mental. 

Dipercaya sebagai dampak jangka panjang dari pandemi COVID-19, banyak Generasi Z mulai menyadari pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang berpengaruh terhadap kesehatan mental. Hal ini membuat mereka tidak lagi terlalu fokus dan memaksakan diri dalam melakukan pekerjaan (hustle culture). 

Generasi Z senantiasa mencoba untuk menyeimbangkan jumlah waktu dan tenaga yang mereka gunakan untuk pekerjaan dengan yang mereka gunakan untuk bersenang-senang. Konsekuensi negatifnya, muncullah sebuah fenomena yang disebut sebagai “quiet quitting” di antara kalangan pekerja Generasi Z.

WHY: GEN Z AND “QUIET QUITTING”

Untuk memahami fenomena “Quiet quitting”, Anda perlu memahami perbedaan antara karyawan yang engaged dan disengaged. Karyawan yang engaged merupakan karyawan yang terlibat secara aktif dan merasa antusias mengenai pekerjaan dan tempat bekerjanya. 

Sebaliknya, karyawan yang disengaged kebanyakan memiliki kebutuhan-kebutuhan yang tidak dipenuhi tempat bekerja (unmet needs), sekadar memenuhi persyaratan minimum, dan merasa secara psikologis terlepas (detached) dari pekerjaannya. Bahkan, kebanyakan dari pekerja-pekerja yang disengaged sedang dalam proses mencari pekerjaan lain. 

Tahukah Anda, laporan Gallup State of the Global Workplace Report (September 2022) menyatakan bahwa setengah dari tenaga kerja Amerika mengalami hal tersebut? Kalau dalam model Entrepreneurial Marketing yang saya kembangkan “Quiet Quitting” (QQ) ini adalah kondisi di bawah Productivity and Improvement (PI). 

Dengan kata lain, para pelaku QQ ini bukan hanya tidak kreatif, mereka bahkan tidak memenuhi kriteria untuk bisa dikatakan sebagai pekerja yang produktif. Katalis terbesar bagi seseorang untuk menjadi “Quiet Quitter” adalah unmet needs yang ia alami. 

Ketika seorang karyawan merasa kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi dan pada saat yang sama mereka merasa tidak dapat bersuara, inilah pendorong munculnya perilaku “Quiet quitting”. Mereka menganggap terdapat suatu dinding yang memisahkan dirinya dengan kesempatannya untuk menjadi individu yang lebih baik (misalnya, kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih tinggi dari atasan, ruang lebih besar untuk berkolaborasi, hingga kenaikan gaji). 

Karena tidak bisa melewati dinding tersebut, seorang Quiet Quitter akan memilih untuk berdiam di ruang mediocrity-nya dengan tidak bersuara dan hanya melakukan aktivitas minimal dalam pekerjaannya. Generasi ini juga memiliki prioritas yang unik dalam kehidupannya. 

Suatu survei oleh Axios dan Generation Lab menemukan bahwa bagi Gen Z, prioritas pekerjaan jauh berada di bawah prioritas kesehatan (jasmani dan rohani), hobi, keluarga, dan pertemanan. Tidak hanya itu, 82% dari Gen Z merasa tertarik mengaplikasikan Quiet Quitting, dengan 15% lainnya menyatakan sudah melakukan Quiet Quitting.

WHAT: MINDFUL LEADERSHIP

Apa itu mindfulness dan bagaimana penerapannya dalam konteks leadership? Mindfulness adalah keadaan ketika seseorang memiliki kesadaran penuh untuk mengingat seseorang atau sesuatu dan juga mempertimbangkan mereka dalam setiap pengambilan keputusan. 

Seorang mindful leader hadir dalam segala situasi, memahami dirinya dan orang lain dengan baik, dan mampu memecahkan masalah dengan tenang. Mindful leaders senantiasa memotivasi rekan kerja dan anggota timnya untuk meningkatkan praktik “mindfulness” dalam lingkungan kerja, yang dapat meningkatkan moral, meningkatkan kesejahteraan, dan memelihara hubungan dengan pelanggan. 

Terdapat tujuh sikap utama yang mencerminkan mindful leaders. Teori ini dicetuskan oleh Jon Kabat-Zinn dalam bukunya yang berjudul Full Catastrophe Living.

Non-judging: leader sebaiknya tidak bersikap menghakimi ataupun memihak, sehingga dapat memberikan penilaian ataupun reaksi yang netral kepada tim.

Beginner’s mind: leader bersikap terbuka dan ingin tahu terhadap segala kemungkinan yang mencegahnya untuk terjebak dalam zona nyaman atau keahliannya sendiri.

Patience: menggambarkan kebijaksanaan untuk tidak terburu-buru, bahwa beberapa hal terkadang membutuhkan waktunya sendiri untuk terungkap.

Trust: menanamkan rasa percaya terhadap diri dan juga kepada anggota tim. 

Be in the present: bersama diri sendiri di sini dan saat ini, memperhatikan apa yang tengah berlangsung dengan penuh penghayatan.

Acceptance: melihat berbagai hal sebagaimana adanya, agar kita dapat mengambil sikap yang tepat dalam kondisi apa pun.

Letting go: membiarkan pengalaman mengalir apa adanya. Lantas, mengapa mindful leaders berperan penting dalam menghadapi fenomena quiet quitting? 

Sering kali elemen “manusia” dikesampingkan dalam pekerjaan ketika pola pikir kepemimpinan berkisar pada mencetak keuntungan. Nyatanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa mengutamakan dan menyenangkan human resource mampu menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. 

Ketika karyawan merasa hasil jerih payahnya dihargai, mereka akan mempertahankan produktivitasnya dan cenderung mencegah quiet quitting. Nyatanya, data menunjukkan quiet quitting bukan dipicu oleh kesediaan karyawan untuk bekerja lebih keras dan memberi kontribusi lebih, melainkan kemampuan leaders dalam membangun dan mengelola hubungannya dengan karyawan. 

Mengutip dari Zenger dan Folkman (2022), “Quiet quitting is about bad bosses, not bad employees.” Umumnya, motivasi karyawan yang rendah merupakan reaksi atas gaya kepemimpinan leader-nya.

Terlebih, Generasi Z yang merupakan angkatan kerja termuda sudah merasa tertekan dan lelah, bahkan pada tahap awal karir mereka (Yu, 2022). Tingkat burnout Generasi Z dilaporkan mengalami peningkatan paling pesat dari tahun ke tahun dengan salah satu tingkat burnout tertinggi sebesar 58% (Threlkeld, 2021). 

Hal ini didukung dengan survei yang menunjukkan bahwa salah satu prioritas utama Generasi Z dalam memilih pekerjaan adalah peluang untuk mendapatkan work-life balance (Deloitte, 2022). Generasi ini ingin memberikan kontribusi yang bermakna pada pekerjaannya, namun di samping itu, mereka juga memiliki keinginan untuk menikmati kehidupan yang dinilai sama pentingnya.

HOW: MINDFUL LEADER IS WOW LEADER

Konsep mindful leadership sebenarnya masih sejalan dengan model WOW Leadership yang saya kembangkan sekitar 8 tahun silam. Di dalam buku tersebut, saya mengutip definisi kepemimpinan yang sederhana namun mengena, yang dirumuskan dari teori Jennings (1960) dan Wren (1995).

Menurut mereka, pemimpin adalah seseorang yang dengan ide serta perbuatannya bisa memengaruhi perilaku orang lain. Jadi, kata kuncinya adalah “pengaruh”. 

WOW Leader adalah seorang pemimpin yang bisa memberikan impresi luar biasa (WOW moment) dengan menyentuh pikiran, perasaan serta spirit kemanusiaan anggota timnya. Saat itu terjadi, maka tanpa diminta mereka akan bergerak untuk memilih, mendukung dan bahkan membelanya. 

Lalu, bagaimana caranya memengaruhi orang lain hingga bisa menggerakkan pikiran, perasaan dan spirit kemanusiaannya yang paling dalam? Stephen J. Sampson, seorang psikolog sekaligus pionir di bidang Social Intelligence Skills, menyebutkan enam aspek yang perlu diperhatikan.

Enam aspek tersebut kemudian saya perkaya dan adaptasi sesuai dengan konteks di negeri ini. 

Physicality 

Aspek ini terkait dengan hal-hal fisik yang akan memengaruhi persepsi orang lain tentang kemampuan leadership seseorang.  Di dalamnya mencakup penampilan, cara berjalan, kebersihan tubuh, serta nada berbicara. 

Intellectuality

Aspek ini lebih dari sekadar masalah nilai IQ, karena terkait dengan kemampuan seorang pemimpin untuk mengelola cara berpikir. Sehingga bisa memberikan pengaruh yang lebih efektif kepada orang lain.

Emotionality

Aspek ini terkait dengan manajemen emosi, atau kemampuan untuk mengelola emosi pribadi dan emosi orang lain. Dengan begitu, pengaruh yang diberikan kepada orang lain bisa lebih optimal.

Sociability

Aspek ini terkait dengan kemampuan untuk membangun jaringan sosial sebagai modal untuk melebarkan pengaruh yang dimiliki oleh seorang pemimpin.

Personability

Inilah salah satu aspek yang menjadi fondasi kepemimpinan. Aspek ini terkait dengan self-awareness dari seorang pemimpin serta misi personal (purpose) yang ingin diembannya.

Moral ability

Aspek ini terkait dengan kemampuan untuk menjaga integritas moral, sehingga pengaruh yang diberikan kepada orang lain menjadi sustainable. Dari model tersebut terlihat bahwa mindfulness adalah bagian dari aspek personability yang menjadi fondasi WOW Leadership. 

Seorang mindful leader tidak hanya akan memengaruhi timnya secara rasional dan emosional, namun juga secara “spiritual”. Leader semacam ini bisa membangkitkan energi timnya sehingga mereka bisa tumbuh menjadi individu yang lebih baik tanpa dipaksa. 

Inilah WOW Leader! Bukankah sosok pemimpin seperti ini yang dirindukan oleh Gen Z?

POST: GEN Z AND MARKETING 2030

Tidak hanya saat ini, Generasi Z (Gen Z) adalah kelompok generasi baru yang akan menjadi pemain dominan bahkan hingga tahun 2030 nanti. Menurut Oxford Economics, selama 10 tahun ke depan, kelompok Gen Z akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang besar. 

Mereka memperkirakan bahwa jumlah pekerja Gen Z di seluruh bidang akan meningkat sekitar tiga kali lipat pada tahun 2030. Proyeksi mereka juga menunjukkan bahwa Gen Z akan menyumbang lebih dari $3,0 triliun pengeluaran masyarakat pada tahun 2030 di enam pasar negara yang diteliti (Australia, Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat) (Oxford Economics, 2021).

Selain Gen Z, pada tahun 2030, saya memprediksi ada dua tren utama lain yang akan memainkan peran penting di panggung pemasaran Indonesia: Teknologi Metaverse dan Sustainable Development Goals (SDGs). Interaksi ketiga isu inilah yang akan menjadi pendorong era baru pemasaran di tahun 2030 nanti.

Pemikiran tersebut saya tuangkan di dalam buku Marketing 2030. Buku ini rencananya akan diluncurkan pada tanggal 8 Desember 2022 saat pelaksanaan MarkPlus Conference nanti. Jika tertarik, Anda bisa melakukan pemesanan saat ini juga.

Artikel ini telah tayang di Majalah Marketeers edisi November 2022.

Related