Muriel Makarim Kawal Pertumbuhaan Perusahaan Bersama Google

marketeers article

Geliat pertumbuhan bisnis Google di Indonesia terus menunjukkan performa positif. Contoh kecil terlihat dari jumlah penonton YouTube di Indonesia yang naik 10 kali lipat dibandingkan tahun lalu. Data ComScore VMX menunjukkan, lebih dari 93 juta penonton berusia 18 tahun ke atas menonton YouTube setiap bulan. Jika dianalogikan, ini berarti sembilan dari 10 orang Indonesia menonton YouTube setidaknya sebulan sekali.  

Tak heran, jika Google dan berbagai lini bisnis yang berpayung di bawahnya kebanjiran pesanan slot iklan dari para brand. Bukan sekadar memancing brand untuk beriklan melalui platform mereka, Google juga terus memastikan agar klien-klien mereka sukses melalui project yang dijalankan bersama Google.

Bagi Muriel Makarim, Head of Large Customer Marketing Google Indonesia, tugas Google adalah membantu klien mereka untuk bertumbuh dengan baik. Pasalnya, Google tidak akan bisa meraih kesuksesan jika klien mereka juga tidak memperoleh kesuksesan. Untuk itu, dalam menjalani perannya di Google, Muriel selalu memastikan kepuasan para klien dengan membantu mereka memperoleh Return on Investment (ROI) yang bagus.

Tak heran, jika Muriel berhasil menarik brand-brand untuk bergabung memasarkan produk mereka melalui platform Google. Bahkan, jumlah perusahaan konvensional yang semula tidak percaya dengan kekuatan digital, kini mulai beralih menggunakan jasa Google untuk membantu transformasi digital mereka.

Kuncinya, Muriel bersama tim selalu berupaya mengenali lebih dulu posisi perusahaan tersebut, dan mengerti di mana fase yang sedang mereka lewati, sebelum akhirnya menentukan bentuk pendekatan yang dilakukan dan strategi yang diciptakan.

Bersama dengan Annisa Bella dari Marketeers, Muriel menceritakan lebih jauh pengalamannya dalam mengemban jabatan sebagai Head of Large Customer Marketing Google Indonesia.

Bisa diceritakan secara singkat latar belakang pendidikan dan pekerjaan Anda sebelum memutuskan untuk bergabung bersama Google Indonesia?

Computer-science atau teknik komputer adalah jurusan yang saya pilih semasa S1. Kala itu, tentu jika kita belajar computer-science, maka Google adalah tempat idaman untuk bekerja. Saya mengemban pendidikan S1 di University of Michigan, Amerika Serikat.

Ketika saya lulus, industri teknologi sedang turun sehingga saya memutuskan bekerja di perusahaan konsultan bidang software di Chicago, Amerika Serikat. Beberapa tahun di sana, saya fokus membantu perusahaan untuk mengatur sistem, business intelligence.

Lantaran merasa stagnan, saya memilih berhenti dan meneruskan pendidikan dengan mengambil MBA di University of Michigan selama dua tahun. Lulus dari sana, saya kembali ke Indonesia dan bergabung bersama Bain & Company, sebelum akhirnya terpilih mengemban jabatan sebagai Head of Large Customer Marketing untuk Google Indonesia.

Bagaimana perasaan Anda ketika benar-benar terjun ke perusahaan teknologi? Apakah pengalaman Anda di perusahaan konsultan sebelumnya membantu pekerjaan Anda di Google?

Jika saya ingat kembali sejak saya mengenyam pendidikan S1, Google ini adalah perusahaan impian saya. Namun, memang peran yang saya pegang agak berbeda (dalam ranah marketing). Tugas saya di sini bersifat Business to Business (B2B), dan lebih ke komunikasi dengan para advertiser.

Alhasil, pengalaman saya di Bain & Company yang selalu berhubungan dengan CEO dari berbagai perusahaan sangat terbantu. Bagaimana saya dulu membantu mereka merancang startegi bisnis perusahaan, kini dapat saya implementasikan untuk marketing di Google.

41053899 – mountain view, ca/usa – july 14, 2014: exterior view of a google headquarters building. google is an american multinational corporation specializing in internet-related services and products

Apa pencapaian terbesar Anda selama berkarier?

Its’ such a hard question. A lot of things karena di setiap perpindahan kerja pasti selalu ada pencapaian-pencapaian kecil.

Saya termasuk orang yang merasa kalau berada di kantor dan it become stagnan, then its no more wins, no more achievements, and you’re not learning anything and that’s dangerous. Ketika kita berada di zona nyaman, ini berarti kita berhenti belajar.

Ketika saya bekerja di konsultan manajamen, kami bertugas untuk memberikan advice kepada perusahaan-perusahaan. Tantangan yang dirasakan adalah kita tidak tahu apakah ide tersebut akan dilakukan atau tidak. Namun, yang membanggakan bagi saya adalah ketika saya melihat bagaimana ide yang kami rancang dapat membantu meningkatkan penjualan dan pendapatan untuk karyawan mereka. Ini sangat memuaskan.

Di Google, kami selalu memiliki moto untuk membantu para klien, dan kami selalu bersedia untuk membagikan best practices. Karena pada akhirnya, jika klien kita tidak sukses, ya bisnis Google juga tidak bisa sukses. Jadi, kami tidak hanya ingin berjualan untuk diri sendiri saja, melainkan membantu klien kami untuk memperoleh ROI yang mereka inginkan.

Kami memosisikan diri sebagai partner mereka, memahami apa yang menjadi tantangan mereka, dan mencoba untuk menyelesaikannya bersama-sama. Bagi saya, itu adalah kepuasan tersendiri. Ketika klien senang, saya pun ikut senang.

Sebagai seorang marketer, seperti apa Anda melihat lanskap perubahan tren pemasaran yang terjadi saat ini? Dan bagaiamana Google beradaptasi untuk menjawab tantangan tersebut?

Khusus di marketing function yang saya pegang (B2B), we do a lot of physical engagement. Jadi, kami biasanya bicara di industry event, bertemu di acara klien, atau kami memberikan experiences lain. So, its like a whole experience.

Namun, sekarang semua berubah karena orang tidak bisa lagi mendatangi acara kerumunan, tidak ada lagi physical engagement. Kami juga menyadari ada begitu banyak aktivitas livestream, seakan semua orang ingin berbicara.

Di satu sisi, kami juga melihat jika livestream engagement itu sangat singkat. Sebagai contoh, livestream berlangsung selama satu jam, namun livestream engagement tersebut hanya 20 menit. Di atas 20 menit sudah tidak lagi didengar oleh orang-orang kecuali menarik sekali untuk mereka.

Jadi, itu yang menjadi tantangan kami. How do we engage customer minus the physical engagement yang akhirnya kami lakukan adalah kita experiment karena kita gak pernah lalui ini sebelumnya. Jadi, kami lakukan dengan cara-cara baru and we always learn from it. Agile and innovate sudah menjadi mindset Google.

Google juga memberikan wadah bagi orang-orang di dalam perusahaan agar merasa aman ketika mencoba hal-hal baru. Jadi, pada saat hasil itu tidak sesuai dengan yang diinginkan, its okay. Sebagai contoh, kami mencoba 10 cara baru, tiga diantaranya tidak berhasil namun tidak apa-apa karena dari situ kami belajar.

Contoh kecil, saat Ramadhan biasanya kami kasih hampers kepada para klien. Akibat pandemi COVID-19, kami tidak diizinkan untuk mengirim physical hampers karena waspada kontaminasi virus, maka kami bereksperimen menggunakan AR Hampers.

Jadi, klien dapat mengunduh hampers interaktif. So, it’s not a physical things tapi itu tetap engaging dan dapat membuat mereka tetap ingat dengan Google.

Posisi jabatan yang Anda duduki ini bersifat B2B. Di masa sebelum pandemi, belum banyak perusahaan di Indonesia yang melakukan transformasi digital. Lantas, bagiamana cara Anda membangun pengertian dan mengedukasi mereka hingga akhirnya mereka mau mengalokasikan budget untuk melakukan transformasi digital bersama Google?

Kami harus terlebih dahulu memahami posisi klien di mana posisi klien berada karena fase-fase setiap klien berbeda.

Ada yang sejak awal sama sekali tidak percaya digital. Mereka merasa 100% pemasaran di TV sudah sangat penting untuk mereka. Ada juga klien yang merasa digital penting, namun mereka memutuskan untuk memakai digital sedikit-sedikit saja. Namun, ada juga perusahaan yang full percaya digital, rata-rata mereka adalah tech company. Jadi, ada tiga fase besar yang harus kami pahami segmentasinya.

Kemudian, cara kami berbicara dengan target klien, dan data yang ditunjukkan harus disesuaikan berdasarkan pemikiran di mana fase mereka sekarang berada. Kalau pemikiran mereka berada di fase pertama (tidak percaya digital sama sekali), then we talk with them about dual behavior (the dual screen habit) bahwa they need to be there where their customer are karena kalau tidak di digital, then how they speak with them in a relevant way.

Lain cerita jika berbicara dengan klien yang sudah advance. Mereka sudah memakai YouTube Director Mix, dan digital sudah menjadi habit mereka. Maka, yang kami bicarakan adalah  tentang bagaimana mengoptimisasi itu.

Mungkin kami dapat memberikan produk-produk baru yang bisa mereka coba, memainkan targeting supaya lebih efisien, atau mungkin produk-produk yang belum pernah dicoba bisa kami coba jual atau iklankan di YouTube. Jadi, semua tergantung pada fasenya.

Photo Credits: Google Indonesia

As a tech company, apakah Anda masih percaya dengan omnichannel bahwa kedua hal yang paradoks ini (online dan offline) harus diintegrasikan?

No, saya yakin harus omnichannel. Walaupun Google adalah tech company, kami tidak pernah bilang 100% harus di YouTube atau di Google Search karena in reality, konsumen berada di semua multitouchpoints ini.

Konsumen yang membeli produk di saluran offline store bukan berarti mereka sudah membuat keputusan di offline store. Mereka mungkin sudah melakukan riset berbulan-bulan, sudah ke Google Search, YouTube, dan lainnya sampai akhirnya membeli di toko.

Di sisi lain, bisa saja konsumen ke toko bukan untuk membeli, melainkan sekadar ingin melihat produk tersebut secara langsung, kemudian membelinya melalui saluran online karena harga yang lebih kompetitif.

So, customer journey is very complex. Brand tidak dapat lagi sekadar eksisi di ranah digital, melainkan harus berada di semua titik keberadaan konsumen.

Ini sangat menarik. Bicara soal customer journey yang sekarang kian kompleks. Brand pun perlu untuk bekerja lebih keras, bahkan untuk sekadar memperoleh atensi dari target konsumen. Bagaimana Anda melihat hal ini? Dan apa solusi yang Anda usulkan bagi para marketer?

Benar, apalagi saat ini informasi sangat banyak dan orang dengan mudahnya melakukan skip. Menurut saya, ada tiga tips yang dapat dicoba, yakni dengan reach consumers online, speak their language, dan follow their attention.

Last tips for marketers?

During this time, agile, innovate, and follow your customer.

Dengarkan apa keinginan mereka, apa yang sedang tren, dan gunakan insight tersebut untuk mendesain produk, marketing campaign to adjust that.

It’s ok to be wrong, especially with digital you just have to be agile.

Related