Negative Marketing, Strategi Ubah Rasa Minder Jadi Keputusan Membeli

marketeers article
Ilustrasi negative marketing. (FOTO: 123RF)

Ketika mendengar kata ‘negatif’, kebanyakan merek langsung menghindar. Wajar saja, karena emosi negatif dari pelanggan sering diasosiasikan dengan bencana, seperti ulasan buruk, reputasi yang jatuh, hingga penurunan penjualan. Tapi, tahukah Anda bahwa emosi negatif juga bisa menjadi senjata ampuh untuk membangun merek dan menarik perhatian?

Yuk, kenalan dengan negative marketing, strategi pemasaran yang berani memanfaatkan elemen-elemen yang sering dianggap berisiko, namun jika digunakan dengan tepat, bisa memberikan dampak positif yang mengejutkan!

Iwan Setiawan, CEO MarkPlus, Inc & Marketeers menjelaskan bahwa negative marketing adalah strategi pemasaran yang memanfaatkan emosi negatif untuk memicu pembelian dari konsumen.

“Bukan negative campaign, bukan juga demarketing. Ini adalah bagaimana marketer bisa memanfaatkan negative emotions untuk men-trigger pembelian dari pelangganya,” jelas Iwan dalam program ANALISIS “Negative Marketing” YouTube MarketeersTV.

BACA JUGA: Sandwich Marketing, Kunci Hadapi Penurunan Daya Beli Pelanggan

Strategi ini didasarkan pada tiga konsep psikologi fundamental, yakni personal insecurity, social taboos, dan risk avoidance. Personal insecurity atau rasa minder menjadi basis penting dalam negative marketing. Setiap individu memiliki rasa tidak percaya diri yang dapat muncul dari berbagai aspek, seperti penampilan atau status sosial.

“Misalnya, brand personal care sering kali menggunakan konsep ini untuk menciptakan hubungan emosional dengan konsumen. Produk seperti sampo anti-ketombe atau klinik kecantikan memanfaatkan rasa minder konsumen terhadap ketombe atau jerawat untuk menawarkan solusi yang terasa relevan,” papar Iwan.

Kedua, konsep social taboos atau tabu sosial berperan besar dalam membentuk emosi negatif konsumen. Masyarakat Indonesia, misalnya, memiliki norma yang ketat terkait hal-hal tertentu seperti bau badan atau kebersihan mulut. Produk seperti deodoran atau permen penyegar napas menggunakan rasa malu akibat melanggar norma sosial ini sebagai titik awal untuk menarik perhatian konsumen.

Ketiga, risk avoidance atau penghindaran risiko menjadi faktor utama dalam memanfaatkan ketakutan konsumen. Menurut Iwan, orang lebih takut kehilangan daripada mendapatkan sesuatu yang baru.

BACA JUGA: 7 Strategi Marketing AI yang Digunakan Brand Global Saat Ini

“Asuransi kesehatan, misalnya, sering menggambarkan potensi sakit di masa depan untuk mendorong pembelian polis. Bahkan, konsep fear of missing out atau FOMO banyak digunakan oleh merek lifestyle untuk mendorong konsumen agar tetap relevan dan tidak ketinggalan tren,” tambahnya.

Relevansi negative marketing semakin meningkat karena dampak media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok menciptakan realitas yang tampak sempurna, yang sering kali memicu kecemasan di kalangan penggunanya.

Generasi Z, yang tumbuh di dunia online, menjadi segmen utama yang paling terpengaruh oleh tekanan sosial ini. Mereka kerap merasa harus mempertahankan citra online yang ideal, yang membuka peluang besar bagi merek untuk memanfaatkan negative marketing.

Namun demikian, negative marketing tidak bisa diterapkan secara sembarangan. Memanfaatkan emosi negatif harus dilakukan dengan cara yang membangun, memberikan solusi nyata, dan menciptakan hubungan emosional yang kuat antara merek dan konsumen.

Dapat disimpulkan bahwa di era modern ini, strategi pemasaran dengan memanfaatkan emosi negatif menjadi salah satu strategi yang paling relevan di era modern, terutama dalam menjangkau generasi muda yang tumbuh dengan tekanan media sosial. Merek dapat menciptakan kampanye yang lebih berkesan dan emosional. Namun, penting untuk mengelola strategi ini dengan bijak untuk menjaga hubungan baik dengan konsumen.

Editor: Eric Iskandarsjah Z

Related

award
SPSAwArDS