OTT dan TV Analog Jadi Tantangan Lembaga Penyiaran Indonesia

marketeers article
Benon, France January 21, 2018: Woman Holding a touch pad and switching channels on France Netflix HomePage. with TV set on background. Netflix Inc. is an American multinational entertainment company founded on 1997

Pandemi dengan segala kebijakan pembatasan aktivitas fisik membuat masyarakat mulai membiasakan diri dengan paltform daring. Mereka pun mulai peka dan sensitif pada telekomunikasi dan jaringan internet.

“Pandemi ini membuat kita makin mengerti bahwa telekomunikasi, jaringan internet sudah seperti oksigen yang mau tak mau kita butuhkan di era sekarang,” ujar Ahmad M. Ramli, Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Kominfo dalam webinar Industry Roundtable yang digelar MarkPlus, Inc., Jumat (5/6/2020).

Di tengah kondisi seperti itu, kualitas jaringan dan infrastruktur menjadi penting. Terkait kualitas internet, Indonesia masih berada di posisi bawah di Asia. Namun, Ramli mengatakan pertumbuhan e-commerce luar biasa. Pada masa pandemi sekarang ini, toko online bisa tumbuh 400%. “Artinya, kebutuhan internet dengan fasilitas yang ada itu sebetulnya untuk masyarakat sudah mencukupi. Di banyak negara, konsumsi internet lebih ke fixed broadband, sedangkan di Indonesia lebih ke mobile internet atau smartphone,” kata Ahmad.

Terkait dengan broadcasting, persaingan utamanya ada pada konten dan platform over the top (OTT), seperti Netflix, YouTube, dan aneka layanan streaming lainnya. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi lembaga-lembaga penyiaran di Indonesia yang terbilang sangat banyak, baik yang dikelola negara maupun swasta. Banyak pihak mendesak pemerintah ikut mengatur layanan OTT melalui undang-undang penyiaran.

Pengguna mobile internet di Indonesia pada tahun 2020 mencapai sekitar 90,3 juta. Sementara, pengguna simcard dan smartphone, mencapai 300 juta.  Artinya, banyak dari orang Indonesia yang memiliki lebih dari satu nomor simcard. Meski platform daring sedang naik daun, televisi menjadi media penyiaran yang tetap menjadi pilihan di masa pandemi, entah ditonton secara mobile atau melalui perangkat biasa.

“TV menjadi pilihan karena TV dipercaya tidak menyiarkan hoaks. Banyak audiens merujuk ke TV saat digempur beragam kabar bohong. Ia tidak rentan dengan berita hoaks karena TV diawasi oleh komisi penyiaran,” katanya.

Ia menambahkan, sampai saat ini, kebanyakan televisi free to air di Indonesia masih menggunakan TV analog. Sementara, di 90% wilayah di dunia, lembaga penyiarannya sudah beralih ke TV digital alias digital sudah menjadi sebuah keniscayaan. Disrupsi digital telah mendorong lembaga-lembaga penyiaran untuk migrasi menuju sistem penyiaran terestrial digital. Selain mengusung kualitas gambar dan suara, penyelenggaraan TV digital jauh lebih murah ketimbang analog, baik hemat dalam sisi ongkos produksi maupun frekuensi.

“TV analog sangat boros dalam menggunakan frekuensi. Bila sudah migrasi ke digital,  sisa frekuensi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan besar yang lainnya. Namun, di tengah persaingan dengan para produsen konten, lembaga penyiaran di Indonesia harus bisa bersaing dalam hal kualitas konten dan bukan sekadar kuantitas. Ini yang menjadi tantangan agar televisi kita tidak ditinggalkan pemirsa,” pungkas Ahmad.

    Related