Pahami Konsumen dengan Marketing Kontekstual

marketeers article
Augmented reality online shopping concept. E-commerce and digital marketing. Hand holding digital tablet smart phone use AR application to check order pick time on storage factory background.

Strategi pemasaran yang bagus adalah strategi pemasaran yang bisa dengan tepat menjawab kebutuhan konsumennya. Sebab itu, pemasar perlu menerapkan apa yang disebut contextual marketing

Marketing kontekstual ini sudah lama diterapkan. Namun, di era sekarang, dengan bantuan teknologi marketing kontekstual ini bisa dilakukan dengan lebih canggih yang mana hasilnya lebih presisi sesuai dengan karakter dan kebutuhan konsumennya. 

“Secara umum, pemasaran ini dipahami sebagai aktivitas pemasaran dan berjualan yang sesuai dengan konteksnya. Konteks ini bisa berupa lingkungan, segmen pelanggan, momentum, dan sebagainya. Dengan ini, perusahaan bisa melakukan personalisasi sehingga pesan bisa disampaikan dengan cepat, mudah, sekaligus tepat sasaran,” kata Iwan Setiawan, CEO MarkPlus, Inc. dalam webinar Marketing 5.0 bertajuk Contextual Marketing, 

Bagi pemasar tradisional, praktik marketing kontekstual ini sudah jamak dilakukan dengan cara memahami isyarat verbal dan visual. Isyarat verbal ini bisa berupa pilihan kata, intonasi saat berbicara, dan sebagainya. Sedangkan isyarat visual bisa berupa kontak mata, bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan sebagainya. Dengan memahami isyarat tersebut, pemasar lebih mudah memahami kebutuhan dan kondisi konsumen yang menjadi modal utama untuk menentukan pendekatan terbaik bagi mereka. 

Sementara, bagi para pengiklan digital, menangkap dan menginterpretasikan isyarat digital menjadi penting untuk memahami siapa pelanggan mereka. Isyarat digital itu bisa berupa lokasi terkini, profil media sosial, sejarah pencarian di mesin peramban, sejarah pembelian, dan sebagainya. “Dengan data-data tersebut, pemasar bisa melakukan interpretasi dan kemudian bisa melakukan aksi dalam bentuk iklan yang relevan, rekomendasi pembelian, dan sebagainya,” kata Iwan. 

Secara umum, marketing kontekstual ini bisa diwujudkan dalam tiga bentuk. Pertama, informasi yang terpersonalisasi (personalized information). Misalnya, penawaran khusus seperti diskon, kupon, gimmickyang personal ke pelanggan alias tidak generik. Kedua, interaksi yang terkustomisasi (customized interaction) seperti interaksi dengan chatbot. Ketiga, imersi total (total immersion) yang melibatkan konsumen secara total dalam layanan personal tersebut. Konsumen bisa mendapat pengalaman menyatu dengan lingkungan layanan di sebuah outlet. 

Untuk mendapatkan ketiga hal tersebut dibutuhkan trigger dan respons. Keduanya bisa diperoleh dengan bantuan Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI). IoT bisa membaca trigger dalam bentuk profil konsumen, mood, momen, dan lokasi yang tepat. Sedangkan AI bisa merekomendasikan pesan, produk, promosi, media, hingga pengalaman yang benar. Kedua hal tersebut saling berinteraksi. 

Infrastruktur Smart Sensing

Untuk membangun marketing kontekstual di era sekarang dibutuhkan infrastruktur pendukung. Ada tiga macam struktur pendukung ini. Pertama, proximity sensor di POS (Point of Sales). Di sini, sensor-sensor di pasang di area sekitar titik penjualan. Fungsinya untuk mendeteksi konsumen yang datang ke toko. Sensor ini bisa terhubung dengan ponsel maupun perangkat yang dibawa konsumen maupun tubuh konsumen tersebut, seperti suhu, mata, dan sebagainya. Sensor tersebut kemudian mengirimkan data-data dan kemudian diolah dan diterjemahkan ke dalam servis yang tepat dan cepat. 

Di toko tradisional, misalnya, penjaga toko akan bertanya pada konsumen yang datang tentang kartu membership mereka, lalu menawarkan diskon dan promo. Di toko cerdas, semua sudah ditangani melalui teknologi sehingga proses interaksinya berjalan seamless dan mampu memberi pengalaman baru bagi konsumen. 

Contohnya, outlet Walgreens yang memasang sensor dalam bentuk layar besar di perangkat kulkasnya. Sehingga, konsumen yang datang langsung bisa dideteksi apa yang ia maui berdasarkan suhu, emosi, profil,  dan sebagainya. 

Infrastruktur kedua adalah biometrik. Di sini, teknologi sensor biometrik dipakai untuk mendeteksi kebutuhan dan profil konsumen berdasarkan wajah, dari face detectionface recognition, eye tracking, voice recognition, hingga brain waves analysis. Tesco, misalnya, menggunakan teknologi face detection yang dipasang di pom bensin dekat supermarketnya. Teknologi ini juga dipakai Kellogg saat mengkampanyekan Crunchy Nut. 

Sementara, perusahaan asuransi kesehatan Humana memanfaatkan analisis suara untuk layanan di call centernya. “Dengan analisis suara ini, petugas call center bisa membaca isi hati dan mood dari pelanggan yang datang dan kemudian bisa mengambil sikap yang sesuai dengan kondisi mereka,” katanya. 

Infrastruktur ketiga adalah kanal langsung ke tempat pelanggan. Teknologi ini lagi ngetren di kalangan konsumen yang ingin membangun rumahnya sebagai smart home. Salah satu produknya adalah smart speakers yang terhubung dengan internet. Contohnya, Amazon Echo, Google Nest, dan Apple HomePod. Perusahaan besar seperti P&G mengembangkan teknologi ini dalam bentuk Tide sebagai Alexa yang mampu menjawab lebih dari 200 pertanyaan seputar laundri. Campell’s Kitchen memanfaatkan teknologi ini untuk menjawab pertanyaan konsumen terkait resep makanan. 

Selain itu, smart appliances juga masuk kategori infrastruktur ini. Samsung, misalnya, mengembangkan Samsung Family Hub dalam rupa kulkas dengan layar cerdas. Perangkat lainnya adalah 3D printer. Meski teknologi ini masih jauh alias belum massal digunakan, namun tren ke depan akan mengarah ke sana. Teknologi ini sudah mulai digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar. Teknologi 3D printer ini, kata Iwan, prinsipnya adalah semakin mendekatkan antara titik produksi dengan titik konsumsi. 

“Biasanya, antara produksi dan konsumsi ada pengantara dalam bentuk distribusi. 3D printer ini memotong proses itu dan meniadakan distribusi karena produsen bisa langsung mendatangkan produk ke konsumen,” kata Iwan. 

Akhirnya, Iwan menegaskan marketing kontekstual ini penting dipahami dan dilakukan oleh merek agar semakin relevan dengan kebutuhan nyata pelanggan. Teknologi dalam hal ini membantu merek untuk memprosesnya secara cepat, efisien, dan tepat. 

Related