Polemik pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada ojol atau ojek online dan mitra pengemudi lainnya terus memanas. Di satu sisi, tuntutan ini dianggap sebagai upaya melindungi kesejahteraan mitra.
Di sisi lain, kebijakan ini dinilai berpotensi merusak ekosistem ekonomi gig jika diterapkan tanpa kajian mendalam. Status mitra pengemudi menjadi titik krusial dalam perdebatan ini.
Secara hukum, hubungan antara pengemudi dan perusahaan ride-hailing telah diatur sebagai kemitraan, bukan hubungan kerja, sesuai Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019.
Regulasi ini menegaskan bahwa mitra pengemudi tidak tunduk pada Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang mensyaratkan tiga unsur: pekerjaan, perintah, dan upah tetap. Mitra pengemudi bekerja secara mandiri, tanpa instruksi langsung dari perusahaan, dan penghasilan mereka berasal dari sistem bagi hasil, bukan gaji bulanan.
Namun, pemerintah dinilai tidak konsisten. Di tengah pengakuan status kemitraan, muncul wacana untuk memberikan hak pekerja seperti THR kepada mitra pengemudi.
Padahal, pemberian THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang hanya berlaku bagi pekerja dengan hubungan kerja formal. Kebijakan ini, jika dipaksakan, berisiko menciptakan ketidakpastian hukum dan mengganggu industri ride-hailing yang menjadi tulang punggung ekonomi digital.
BACA JUGA: Bawa Fitur Tahan Air dan Debu, Infinix SMART 9 Cocok untuk Ojol
Ari Hernawan, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, memperingatkan bahwa kebijakan populis seperti ini bisa kontraproduktif.
“Jika pemerintah memaksakan THR tanpa memperbaiki sistem secara holistik, yang terjadi justru penurunan investasi, hilangnya fleksibilitas kerja, dan ancaman bagi jutaan mitra pengemudi serta sektor terkait seperti UKM dan logistik,” ujarnya dalam siaran persnya kepada Marketeers, Sabtu (1/3/2025).
Dia mencontohkan perusahaan ride-hailing mengandalkan model bisnis fleksibel untuk menjaga operasionalnya. Jika mitra pengemudi dan ojol dianggap sebagai pekerja, perusahaan harus menanggung biaya tambahan seperti THR, BPJS, dan tunjangan lain.
Hal ini berpotensi memicu kenaikan tarif layanan atau bahkan pemutusan hubungan kerja massal. Akibatnya, bukan hanya perusahaan yang terdampak, tetapi juga mitra pengemudi yang kehilangan penghasilan.
Solusi yang ditawarkan Ari adalah pendekatan sistematis, bukan kebijakan reaktif. Pemerintah perlu memperkuat perlindungan sosial tanpa mengubah status hukum mitra. Misalnya, dengan memberikan insentif berbasis produktivitas, akses pembiayaan mudah, atau program jaminan kesehatan mandiri.
“Kalaupun ingin mengubah status mitra menjadi pekerja, harus melalui revisi undang-undang secara komprehensif, bukan sekadar memenuhi tuntutan politis,” ucapnya.
BACA JUGA: Koleksi The Palace X Samuel Wattimena Tampil di Istana Merdeka
Selain itu, pemerintah diminta belajar dari negara lain yang berhasil menyeimbangkan perlindungan pekerja gig dengan keberlanjutan industri. Di beberapa negara, skema portable benefits diterapkan, yang mana mitra bisa mengakses tunjangan tanpa mengikat status hukum mereka.
Pendekatan ini menjaga fleksibilitas ekonomi gig sekaligus memberikan rasa aman bagi mitra.
“Pemerintah harus berani memilih: apakah ingin mempertahankan ekosistem ekonomi gig yang inovatif atau justru menghancurkannya dengan kebijakan tidak jelas? Jika ingin melindungi mitra pengemudi, lakukan dengan cara yang tidak merusak fondasi industri,” tuturnya.
Polemik ini bukan hanya tentang THR, tetapi ujian bagi pemerintah dalam merancang regulasi yang adaptif pada era digital. Tanpa koordinasi antarlembaga dan dialog dengan seluruh pemangku kepentingan, kebijakan yang baik di atas kertas bisa berujung pada kerugian bagi semua pihak.
Editor: Ranto Rajagukguk