Pandemi, Marketing, dan User Generated Content

marketeers article
Business Acronym UGC as USER GENERATED CONTENT. Yellow paint line on the road against asphalt background. Conceptual image

Oleh Puthut EAManaging Director Mojok.co

Pandemi telah memaksa orang untuk lebih banyak tinggal di rumah. Tetapi, kebutuhan untuk terus terhubung dengan dunia luar justru terus tumbuh. Dunia internet mengalami lonjakan jumlah pengguna. Berbagai platform hiburan maupun berita juga mengalami pertumbuhan sangat signifikan. Mau tidak mau hal iin mengubah gaya marketing berbagai perusahaan. Salah satunya, lewat UGC (User Generated Content).

UGC (User Generated Content) atau konten yang langsung dikreasi oleh pengguna awalnya lekat dengan berbagai media sosial. Pada perkembangannya, UGC juga dipakai oleh media massa berbasis teknologi digital. Jika media massa umumnya memproduksi konten sendiri lewat wartawan atau penulis internal, mereka akhirnya merasa perlu untuk membuka kesempatan bagi pembaca atau penulis di luar karyawan mereka untuk membuat konten sendiri dan mengunggahnya di media massa tersebut.

Di Indonesia, setidaknya ada dua media yang identik dengan UGC, yaitu Kaskus dan Kompasiana. Namun, akhirnya media massa lain juga membuka ruang bagi UGC. Kini, hampir semua media massa besar di Indonesia punya ruang UGC. Beberapa dari mereka menggunakan label community. Contohnya, IDN Times Community dan Hipwee Community. Sementara, Mojok menggunakan istilah Terminal Mojok atau biasa disebut Terminal saja.

Pertanyaannya kenapa UGC penting buat sebuah media? Pertama, lewat UGC, suara warganet bisa ditangkap dan didiseminasikan oleh media tersebut. Kita tahu salah satu ciri dari perkembangan dunia digital adalah memberi ruang aspirasi pada pengguna untuk punya suara. Dan, salah satu sumber suara yang paling bisa diandalkan adalah lewat platform UGC.

Kedua, dibanding media sosial lain, UGC lebih bisa ‘dipertanggungjawabkan’ karena setiap aspirasi dan suara, bukan hanya cuitan, melainkan sebuah tulisan yang terstruktur, argumentatif, dan otentik. Di ruang UGC, seorang pengguna tidak bisa menulis hanya satu dua paragraf. Mereka mesti menuliskan dengan cukup panjang, dan karena itu mestilah punya struktur tulisan yang jelas serta dilandasi argumen yang kuat. Namun, karena ditulis oleh pengguna, otentisitasnya bisa terjaga.

Perkembangan semacam ini tentu menarik bagi dunia marketing. Ketika pandemi menerpa, dan dunia digital tumbuh makin pesat. Mau tidak mau berbagai produk menggenjot strategi marketing mereka lewat dunia digital. Salah satu yang dilirik tentu saja lewat UGC. Artikel UGC kebanyakan dibaca dari mesin pencari Google. Pencarian organik yang bisa diartikan pembaca mencari dengan aktif sebuah tema atau produk lewat mesin pencarian, sebesar 53,3%.

Salah satu kekuatan marketing adalah testimoni pengguna produk. Dan, testimoni semacam ini makin marak dan mudah bisa kita dapati pada ruang dan platform UGC. Seseorang yang ingin menggunakan produk A untuk kali pertama, biasanya akan mencari penjelasan tentang produk tersebut di internet. Setelah itu, dia akan mencari beragam testimoni yang diberikan oleh orang-orang yang pernah menggunakannya. Karena ‘si pencari’ ini akan merasa dekat dengan testimoni sebagai sesama pengguna. Para calon pengguna tidak bisa mempercayakan sepenuhnya dari iklan yang diproduksi oleh produk tertentu, karena setiap iklan selalu menonjolkan kehebatan produknya.

Sementara, testimoni berbeda. Testimoni mengacu pada bagaimana pengguna merasakan pengalaman dalam menggunakan sebuah produk. Testimoni seperti itu sering dianggap punya nilai kejujuran dalam mengulas produk sebab berdasarkan pengalaman personal si pengguna.

Di sisi lain, UGC kerap dijadikan acuan bagi produsen untuk memperbaiki produknya atau bahkan mengubah strategi marketingnya. Sebab dalam UGC, seorang pengguna bisa memberikan testimoni yang negatif. Dan biasanya ini juga bisa sangat viral. Baik viral karena banyak pengguna lain yang merasakan hal yang sama sehingga mereka ikut mendiseminasikannya, maupun viral karena ada pihak dari kompetitor yang juga ikut mendiseminasikannya. Itu hal yang sangat wajar dalam dunia UGC, sekaligus hal yang menantang.

Mojok sebagai sebuah media, juga membuat ruang untuk UGC, dan semenjak tiga tahun lalu ketika platform ini digunakan, termasuk menyumbang pembaca yang cukup besar. Hampir sepertiga trafik  Mojok disumbang oleh UGC. Endorsement maupun kritik atas sebuah produk biasanya mendapatkan eksposur yang besar.

Beberapa judul tulisan hasil UGC di Mojok adalah ‘Krim Jelly, si jadul yang sering difitnah mengandung merkuri’ dibaca 41.838 kali pada hari pertama diunggah. Salah satu tulisan UGC yang dibaca paling banyak adalah yang berjudul ‘Menyaksikan liciknya restoran all you can it, yang licin macam para politisi’. Tulisan tersebut dibaca sebanyak 289.198 kali. Mojok punya banyak sekali data bagaimana sebuah produk ditulis lewat UGC dan mendapatkan eksposur serta engagement yang kuat, baik itu tulisan yang sifatnya ‘membela’ maupun ‘mengkritik’ sebuah produk.

Hal itu mungkin yang ikut membantu menjelaskan, kenapa UGC makin dilirik dalam strategi dunia marketing. Dari studi yang pernah dikeluarkan oleh Nielsen, misalnya, sebanyak 92% responden lebih mempercayai kampanye atau iklan atau endorsement yang disampaikan lewat UGC dibanding iklan melalui jalur ‘tradisional’. Sementara, berdasarkan analisis situsweb SocialMediaToday selama satu tahun terakhir ini, UGC akan menjadi salah satu strategi brand untuk merawat komunitas, mendekatkan diri dengan pengguna atau konsumen, dan membangun inovasi yang sesuai dengan perubahan di saat pandemi terjadi, terutama dalam konteks New Normal.

Dari sisi media itu sendiri, dengan adanya platform UGC, selain ada sentuhan personal dalam setiap ulasannya, juga ada banyak orang yang punya otoritas di berbagai bidang, yang banyak menulis di platform UGC. Ada orang-orang yang menulis tentang produk finansial, skin-care, otomotif, yang memang punya pengetahuan mendalam atas tema tersebut di atas. Sehingga konten UGC bukan saja lebih variatif, tapi juga sering kali lebih otoritatif. Hal tersebut secara kebetulan sejalan dengan kebijakan terbaru Google yang memberi bobot tinggi untuk tampil di mesin pencarinya, untuk konten yang memenuhi kriteria E-A-T (Expertise, Authoritativeness, dan Trustworthtiveness).

Dengan seluruh data dan informasi di atas, tampaknya UGC akan menjadi makin relevan ke depan, termasuk ketika kita mulai biasa dengan ‘New Normal’ akibat pandemi. Kuat tidaknya sebuah merek, cara pendekatan kepada konsumen, termasuk pengelolaan konsumen loyal, semua akan makin diteguhkan lewat UGC.

Demikian juga dengan para konsumen. Mereka akan makin mengandalkan UGC sebagai panduan untuk mengetahui produk tertentu, berdasarkan kesaksian di antara para pengguna, yang ditulis dengan sentuhan personal, tapi disuguhkan dengan data yang akurat dan argumen yang kuat.

*Kolom ini merupakan kolom kolaborasi antara Marketeers x GDP

Related