Panduan dan Tips Mendirikan Startup dari Qlue dan Blibli

marketeers article
Diverse People Working and Startup Business Concept

Saat ini, startup berkembang dengan pesat di seluruh dunia termasuk Indonesia. Beragam startup bermunculan dengan tujuan mempermudah kehidupan masyarakat. Namun, dalam membangun sebuah startup keterampilan saja tidak cukup. Lalu, apa saja yang dibutuhkan untuk mendirikan perusahaan rintisan?

Rama Aditya, Founder dan CEO Qlue mengatakan, pertama yang harus dimiliki adalah sebuah visi termasuk tujuan kehidupan. Rama mengatakan, membangun startup tidak semudah yang terlihat. Banyak perubahan yang akan mengganggu bahkan menggagalkan bisnis. Karena itu, dengan adanya passion dan visi yang jelas, akan memunculkan semangat untuk terus berusaha.

“Kedua, yang dibutuhkan adalah partner. Idealnya ada tiga orang partner untuk membangun startup. Orang pertama adalah CEO yang menentukan business vision, kedua Chief Technology Officer (CTO) atau chief product yang sesuai dengan bisnis startup, dan orang ketiga adalah orang yang dapat mengoperasikan perusahaan,” jelas Rama.

Ketiga adalah melihat impact dari startup yang dibangun. Dalam membangun startup, jangan memegang mindset keuntungan tapi lebih melihat apakah solusi yang ditawarkan dalam startup dapat membantu orang banyak. Bagaimana caranya dapat mendisrupsi masalah yang terlihat.

“Contohnya di Qlue, kami hanya ingin membangun Jakarta yang lebih baik. Tapi, ketika bisnis berjalan, ternyata ada masalah yang lebih besar dan menjadi global problem. Karena itu, bagi yang ingin mendirikan startup jangan terburu-buru. Pikirkan bisnis secara matang. Kalau perlu cari mentor dan perbanyak konsultasi,” jelas Rama.

Sementara Tabah Yudhayanto, VP of Growth Marketing Blibli mengatakan, jika ingin menjadi pengusaha terutama mendirikan startup terdapat dua pilihan, yaitu pengusaha yang masuk ke industri teknologi atau yang menggunakan teknologi.

“Memang banyak orang yang ingin masuk ke industri teknologi, tapi hanya sedikit yang terpilih dan bertahan,” ujarnya.

Tantangannya ketika ingin menjadi pengusaha di bidang teknologi adalah crossing the chasm. The chasm adalah gap antar early market di mana pasar atau konsumen lebih tersegmentasi dibanding dengan mainstream market.

Early market terdiri dari konsumen tech enthusiast dan early adopters. Secara sederhana, mereka adalah konsumen yang mengerti mengenai teknologi. Sedangkan mainstream market terdiri dari early majority, late majority, dan laggards. Mereka adalah konsumen yang tidak ingin mengambil risiko dari produk yang belum selesai atau belum terbukti kegunaannya.

Ini mengacu pada buku Geoffrey Moore berjudul Crossing The Chasm, di mana banyak inovator yang tidak bisa mengubah bisnis mereka dari market innovator atau early market menjadi mainstream market. Padahal pasar mainstream market lebih besar dibanding dengan early market.

“Banyak yang bisa bertahan di early market namun gagal di mainstream market. Pada early market, para inovator mungkin bergantung pada investor. Di mainstream market, perusahaan harus memikirkan bagaimana bisnis dapat bertahan dan menghidupi dirinya sendiri, serta sustain ke depannya,” kata Tabah.

Sedangkan bagi mereka yang ingin menggunakan teknologi dan mempertahankan model bisnisnya dapat mengimplementasikan teknologi pemasaran. Pertama, menggunakan marketing tools untuk menambah value perusahaan dan meningkatkan perusahaan. Kedua, menggunakan marketing channel dengan memetakan customer journey yang lebih efektif dan menarik.

Tabah menganalogikan membangun startup seperti lari marathon, bukan sprint atau lari cepat yang harus dilakukan secara terburu-buru. Tetapi, para pendiri startup harus menjaga energi mereka agar tetap stabil untuk menghadapi tantangan yang baru.

“Selain itu, baik pengusaha yang menggunakan atau ingin masuk ke dunia teknologi, teknologi merupakan sebuah keharusan dan membutuhkan waktu untuk mengembangkannya. Karena itu, yang paling penting adalah terus bereksperimen dan banyak belajar,” pungkasnya.

Editor: Ramadhan Triwijanarko

Related