Panduan Merek Saat Memasuki Metaverse

marketeers article
Sumber ilustrasi: Marketeers

Judul               : Navigating the Metaverse
                          A Guide to Limitless Possibilities in a Web 3.0 World
Penulis            : Cathy Hackl, Yat Siu, Dirk Lueth, dan Tommaso Di Bartolo
Penerbit          : Wiley, 2022
Tebal               : 272 hlm.

Metaverse digadang-gadang sebagai salah satu masa depan marketing. Oleh karenanya, banyak perusahaan dan merek mulai mempelajari dan memasuki tahap awal semesta baru ini. Meski demikian, hingga hari ini, terminologi metaverse masih memiliki pemahaman yang beragam. Oleh karena itu, merek membutuhkan panduan saat mengadopsi teknologi baru tersebut.

Tak berlebihan buku karya patungan dari Cathy Hackl, Yat Siu, Dirk Lueth, dan John Arkontaky berjudul Navigating the Metaverse ini bisa dijadikan rujukan bagi merek saat memasuki dunia baru ini. Menurut penulis, merek yang ingin berkembang di masa depan mau tidak mau perlu merangkul metaverse, senantiasa mengikuti perubahan preferensi serta harapan para pengguna dengan menciptakan pengalaman inovatif.

Tren dan data menunjukkan metaverse akan mempertahankan pertumbuhan dari waktu ke waktu. Menurut Bloomberg Intelligence, pada tahun 2024, metaverse akan bernilai US$ 400 miliar. Statistik dari NonFungible.com menunjukkan bahwa pengeluaran bulanan untuk menyelesaikan penjualan di metaverse naik dari US$ 1,5 juta pada Oktober 2020 menjadi lebih dari US$ 24,5 juta setahun kemudian.

Penulis memberi beberapa highlight atas gagasannya. Pengadopsi awal metaverse perlu membayangkan kembali customer journey. Di sini, periklanan tradisional tak lagi memiliki pengaruh seperti dulu mengingat konsumen lebih tertarik pada pengalaman Web 3.0. Merek lebih menyasar individu yang mengalirkan konten individual, ketimbang konten bersama seperti keluarga. Saat memasuki metaverse, merek perlu mengklarifikasi lebih dulu visinya dan mempertegas tujuan terjun ke metaverse. Hanya dengan ini, merek bisa fokus dalam strategi.

Selain itu, merek perlu memahami bahwa pengguna mencari pengalaman interaktif dan gamifikasi saat mereka terlibat dengan merek di metaverse. Asal tahu saja, pengalaman metaverse paling populer saat ini bisa didapatkan di dunia game. Sebut saja Roblox, Axie Infinity, Upland, Minecraft, maupun Fortnite sebagai game papan atas.

Di dalam game metaverse tersebut, ada tiga jenis karakter pengguna yang mendominasi. Karakter pertama adalah pengguna play-to-earn yang bermain game untuk memenangkan aset game, seperti NFT dan token. Karakter kedua, play-to-own yang berinvestasi dengan mengoleksi NFT yang dianggap sebagai nilai. Karakter ketiga, casual user yang mencari kebaruan dan dimensi sosial dari metaverse.

Meski lebih dulu populer di dunia game, penulis menegaskan metaverse bukanlah game itu sendiri. Menurut mereka, metaverse merupakan perpanjangan dari kehidupan manusia. Semesta baru ini akan berbicara tentang komunitas, ekonomi, pengalaman, dan tentu saja game yang ada di dalamnya.

Penulis juga mengingatkan bahwa metaverse akan mendisrupsi taktik pemasaran Web 2.0 dan memperluas kemungkinan co-creation. Taktik pemasaran berbasis matriks pay-per-download atau pay-per-click akan kehilangan relevansinya setelah dekade ke depan. Matriks baru akan muncul dan mendominasi.

Metaverse impressions (MI), misalnya, akan mencerminkan minat komunitas pada konten dan insentif yang mereka dapatkan saat engage dengan konten tersebut. Sementara, joint value creation (JVC) mencerminkan nilai bisnis, pencapaian, dan tingkat co-creation para pengguna. Di masa ini, akan muncul juga pekerjaan-pekerjaan baru, dari konsultan strategi metaverse hingga periset audiens.

Saat pemasar ingin menempatkan produk dan materi di metaverse, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan. Misalnya, geolocation (mencari tempat atau event virtual yang ramai dengan target pasar), kontektualisasi (membangun relevansi dengan target pasar dengan cara mencari insight di media sosial maupun dengan bantuan kecerdasan buatan/AI), dan gamifikasi (mengukur efektivitas gamifikasi yang dilakukan merek).

Merek juga perlu memahami ekosistem baru yang mendukung komersialisasi NFT di metaverse. Penulis memaparkan empat segmen yang harus dimengerti merek saat mengomersialisasi NFT, yakni marketplace (pasar virtual seperti OpenSea, dsb), segmen khusus seperti fans club, games dan kolektibel fantasi, serta dApps agar bisa terhubung dengan audiens lebih luas.

Saat merek menyusun rencana strategi pemasaran di metaverse, penulis menawarkan enam tahapan. Pertama, discover. Di sini, perusahaan melakukan branstorming internal lebih dulu tentang seluk beluk bagian metaverse yang akan digarap. Kedua, learn dengan mempelajari metaverse dari berbagai sumber kredibel. Ketiga, membangun kasus sendiri dengan mendorong tim melakukan eksperimen. Keempat, membangun relasi dengan komunitas yang tak lagi dipandang sebagai konsumen, melainkan partner membuat konten. Kelima, membuat IP dan portofolio baru di metaverse. Keenam, mempersiapkan masa depan dengan merekrut talenta-talenta terbaik yang relevan.

Karena metaverse merupakan dunia baru, penulis mengingatkan bahwa setiap orang merupakan pelopor dalam metaverse yang belajar sembari berjalan di dalamnya. Tak ada ahli yang dalam metaverse yang berkembang dengan cepat ini. Saat bisnis membuat proyek metaverse, mereka harus mencocokkan teknologi Web 3.0, meningkatkan pengalaman pengguna dengan alat yang imersif, seperti VR, AR, dan perangkat lain. Misalnya, Walt Disney World muncul di Minecraft dan The NFL Players Association muncul di Upland saat mereka memperluas kehadiran merek mereka di lingkungan virtual dan fisik.

Di pengujung tulisannya, penulis mengingatkan kepada merek untuk selalu percaya pada kemampuan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. “Mari kita merintis jalan bersama-sama.”

Related