Pasar Industri Social Commerce Diramalkan Tembus US$ 200 Miliar

marketeers article
Ilustrasi social commerce. sumber gambar: 123rf

Industri perdagangan digital social commerce di Indonesia diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini bisa menjadi peluang usaha yang menjanjikan di masa depan.

Steven Wongsoredjo, Chief Executive Officer (CEO) & Co-Founder Super, salah satu startup social commerce berpendapat, pada tahun 2028 pangsa pasar bisnis itu mencapai US$ 200 miliar. Kondisi makin dimudahkan dengan budaya orang Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial sehingga dapat menjadi peluang melebarkan sayap.

Dengan kata lain salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan sektor ini di Indonesia adalah konsumen Indonesia cenderung lebih percaya pada pesan atau informasi yang disampaikan oleh teman, kerabat, atau influencer. Artinya, unsur manusia penting dalam memengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu produk.

“Tesis kami memperkirakan potensi pasarnya mencapai US$ 200 miliar dari offline retail market di kota tier dua dan tiga. Saya yakin dalam waktu 10 tahun ke depan setidaknya ada US$ 100 miliar akan convert ke social commerce karena orang Indonesia sangat sosial banget. Ibaratnya temannya beli apa, lalu orang lain juga ikut-ikutan beli,” ujar Steven kepada Marketeers, Senin (25/7/2022).

Menurutnya, dalam bisnis perdagangan online saat ini di Indonesia ada tiga jenis kategori, yakni generasi pertama e-commerce, social commerce dan quick commerce. Ketiganya merupakan bisnis yang berbeda dengan pangsa pasar berbeda pula. Untuk e-commerce dan quick commerce biasanya menyasar pasar di kota-kota besar dengan infrastruktur yang lebih memadai.

Selanjutnya, social commerce menyasar pada kota-kota pinggiran. Dengan kata lain, skema bisnis yang dijalankan mengombinasikan layanan online dan offline. Jasa antar atau logistik dalam sektor ini pun menjadi tulang punggung bisnis.

“Jadi kalau saya lihat e-commerce bisa menjadi solusi bagi masalah-masalah di kota besar tapi social commerce mungkin masalah-masalah besar di kota-kota kecil,” ujarnya.

Untuk mendapatkan perhatian konsumen dan melakukan edukasi pasar, kata Steven, social commerce enggan jor-joran dalam belanja iklan. Biasanya mereka melakukan edukasi pasar dengan membuat kegiatan-kegiatan massal yang melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM). Setelah itu, para pelaku UKM diajak untuk bergabung menjadi mitra maupun pengguna layanan social commerce.

Sedangkan barang yang dijual biasanya terbagi dalam beberapa segmen atau stock keeping unit (SKU). Di antaranya seperti fast moving consumer goods (FMCG), fesyen, kebutuhan rumah tangga, hingga peralatan rumah tangga. Sementara itu, yang dijual pada layanan Super yakni barang-barang FMCG.

Steven mengklaim upaya tersebut lebih efektif dibandingkan dengan bakar-bakar uang memberikan potongan harga dan belanja iklan secara besar-besaran. Hal ini tercermin dari jumlah pengguna Super yang menembus 30.000 orang di wilayah Jawa Timur dan Sulawesi.

“Dari pengguna tersebut, kami mampu menghasilkan transaksi jutaan dolar Amerika Serikat (AS),” tuturnya.

Editor: Ranto Rajagukguk

Related