Paus Fransiskus tutup usia pada Senin (21/42025). Kepergian pemimpin tertinggi Gereja Katolik ini tak hanya meninggalkan duka, melainkan juga warisan pemikiran yang menyimpan banyak pelajaran.
Salah satu aspek yang patut disorot adalah pendekatan uniknya dalam menjalin diplomasi bisnis. Sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus dikenal karena kepeduliannya pada kaum miskin dan isu keadilan sosial.
Namun, yang menarik, ia juga membangun hubungan erat dengan para pemimpin korporasi dunia. Ya, di balik jubah religiusnya itu, tersimpan kemampuan diplomasi yang cerdas serta penuh strategi.
BACA JUGA: Paus Fransiskus Meninggal Dunia: Pelajaran Marketing dari Seorang Pemimpin Spiritual
Melansir The New York Times, berikut warisan diplomasi bisnis yang bisa dipetik dari perjalanan Paus Fransiskus:
Menjalin Dialog, Bukan Konfrontasi
Alih-alih menyerang dunia bisnis karena ketimpangan yang dihasilkan sistem kapitalisme, Paus Fransiskus memilih untuk membuka ruang dialog. Ia kerap mengundang CEO dari perusahaan besar, seperti Tim Cook dari Apple dan Brian Moynihan dari Bank of America, untuk berdiskusi di Vatikan.
Dialog itu tidak hanya memperlihatkan keterbukaan Vatikan, tapi juga menciptakan jembatan antara nilai-nilai spiritual dan dunia usaha. Langkah ini menunjukkan bahwa perubahan bisa terjadi ketika kedua pihak saling mendengarkan.
Legitimasi Moral sebagai Nilai Tambah Bisnis
Paus Fransiskus menyadari bahwa bisnis masa kini tak hanya dinilai dari kinerja finansial, tapi juga dari dampaknya terhadap lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, banyak pemimpin bisnis mendatanginya untuk berkonsultasi terkait penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance). Mereka tidak hanya mencari saran, tapi juga semacam “restu moral.”
Dari sinilah, lahir Council for Inclusive Capitalism with the Vatican, sebuah inisiatif yang menyatukan perusahaan-perusahaan besar untuk menerapkan kapitalisme yang lebih adil dan inklusif. Langkah ini memperlihatkan bahwa legitimasi dari tokoh moral bisa memperkuat kredibilitas dan arah kebijakan perusahaan.
Mengapresiasi Inovasi, tapi Tetap Memberi Batas Etika
Paus Fransiskus tidak menolak kemajuan. Ia pernah menyebut internet sebagai “anugerah dari Tuhan” dan membahas potensi kecerdasan buatan (AI), bahkan menyebut bisnis sebagai “panggilan mulia” yang bisa menjadi sarana melayani sesama.
BACA JUGA: Thought Leadership: Peran Eksekutif Bisnis Dalam Memperkuat Posisitioning Brand
Namun, di saat yang sama, ia tegas menetapkan batas etika. Dalam forum ekonomi global seperti Davos, ia mengingatkan bahwa martabat manusia tidak boleh dikorbankan demi efisiensi atau keuntungan semata.
Mengedepankan Tanggung Jawab Sosial
Dalam banyak pernyataannya, Paus Fransiskus menolak gagasan bahwa sumbangan atau filantropi adalah solusi utama. Ia menegaskan bahwa tanggung jawab sosial seharusnya menjadi bagian inti dari model bisnis, bukan hanya kegiatan tambahan.
“Kita tidak boleh membiarkan budaya kemakmuran membuat kita mati rasa terhadap penderitaan orang lain,” tulisnya dalam surat kepada Forum Ekonomi Dunia tahun 2016.
Di hadapan para pengusaha, ia mengatakan bahwa “sedikit filantropi” tidak cukup jika tidak disertai perubahan sistemik.
Prioritaskan Keberlanjutan sebagai Agenda Global
Isu perubahan iklim juga menjadi perhatian utama. Paus mendesak para pemimpin perusahaan energi untuk berinvestasi pada energi bersih dan meninggalkan pendekatan jangka pendek. “Kita tidak punya kemewahan untuk menunggu,” katanya dalam pertemuan tahun 2019.
Strategi ini menempatkan Vatikan sebagai suara moral global dalam isu lingkungan, dan pada saat yang sama memperkuat pengaruh Gereja dalam percakapan bisnis lintas sektor.