Tugas PR Bukan Sekadar Bikin Press Release

marketeers article
Public Relations

Acara bulanan Campus Marketeers Club kembali digelar. Kali ini LSPR Jakarta yang didapuk menjadi tuan rumah. Dengan dukungan dari Hyku, #CMClub kali ini mengangkat tema “More Than Words” yang berhubungan langsung dengan dunia Public Relations. Tak kurang dari 100 peserta yang berasal dari kalangan mahasiswa dan praktisi hadir di #CMClub LSPR ini.

Di era digital seperti sekarang, informasi yang beredar bisa jutaan dan bisa dibilang tak terkontrol. Dunia  seolah borderless, tak ada lagi jarak dan tak ada lagi batas. Semua orang bebas menyampaikan pendapatnya  di ruang publik. Mulai dari media sosial hingga ke media non pers seperti blog atau semacamnya. Belum lagi platform berbagi video seperti YouTube. Tak ada lagi yang bisa ditutupi. Perusahaan pun diklaim semakin sulit untuk menjaga imej mereka. Salah sedikit saja mereka membuat suatu kampanye, maka habislah brand mereka. Untuk mengatasi hal tersebut, tugas divisi Public Relations sangatlah krusial.

“Public Relations itu bukan sekadar haha hihi, berparas cantik lalu digaji, tapi harus tahan banting dan harus punya Positioning, Differentiation, Branding untuk diri sendiri,” ujar Prita Gero, Corporate Public Relations Coordinator Santika Indonesia Hotels & Resorts. 

Prita menambahkan, seorang PR yang baik harus menguasai branding strategy. Brand strategy sangat diperlukan untuk membangun brand identity yang pada akhirnya bisa menciptakan name recognition. Artinya, di mana pun orang menyebut nama brand yang diusung, orang langsung tahu seperti apa dan bagaimana brand tersebut.

Untuk melakukan branding, Prita mengatakan pentingnya mengetahui dan menentukan apa yang
menjadi core dari brand tersebut. Ia mencontohkan di Santika Hotel Indonesia yang mengusung Hospitality from The Heart. Menurutnya, semua cabang Santika di seluruh Indonesia juga menerapkan hal yang sama. Di sini, pelayanan harus menjadi nomor satu yang mengedepankan kebudayaan lokal dan juga keramahtamahan Indonesia.

“Santika punya beragam brand, seperti Amaris yang menyasar Millennials. Tapi, dalam melakukan
branding, harus ada benang merah yang ditarik. Kami di Santika punya salam khas, yaitu salam Panjalu di semua hotel Santika Grup mulai dari Anvaya hingga Amaris, kami melakukan salam dan pelayanan yang sama, yakni hospitality from the heart,” imbuh Prita.

Meski memiliki core yang sama, Prita mengatakan, target market dari masing-masing segmen Hotel Santika Grup berbeda dan dalam mengomunikasikannya pun perlu perhatian khusus tak bisa disamaratakan. “Tentunya cara komunikasinya berbeda antara Amaris yang menyasar traveler muda yang hanya membutuhkan tempat istirahat dan sarapan dengan Santika Premiere atau Anvaya yang menyasar segmen kelas atas dan keluarga. TVC dan kampanye yang dibuat pun harus berbeda. Yang penting tau siapa target market kita, lalu komunikasikan sesuai segmennya,” pungkas Prita.

Dalam acara yang sama, Assed Lussak, Account Director of Ogilvy Indonesia mengatakan, saat ini orang bukan lagi berada di era digital, tapi sudah memasuki era post-digital yang mana informasi berada di mana-mana dan tidak ada batasan. PR saat ini tidak bisa sekadar mengerjakan siaran pers, monitoring media cetak, dan menjaga imej perusahaan saja, tapi lebih dari itu semua. “Menjadi PR adalah tentang how we influence the  audience,” tegas Assed.

Seperti halnya Marketing 4.0, Assed mengatakan meski semua serba digital dan teknologi, media offline tetap penting. Pasalnya, CEO-CEO perusahaan hingga presiden masih membaca media cetak. Jadi, salah bila ada yang mengatakan harus full pindah ke digital. Membuat siaran pers untuk media cetak juga masih perlu dilakukan.

Di era post-digital seperti sekarang ini, media online bukan lagi hanya portal-portal berita, melainkan
merambah ke media sosial dan platform perpesanan instan. Kita tahu, betapa berita cepat sekali viral dan menyebar melalui platform chatting mulai WhatsApp, BBM hingga LINE. Saking cepatnya, bahkan terkadang orang atau brand yang sedang dibicarakan tidak mengetahui berita-berita yang belum tentu benar tersebut.

Di sinilah, peran PR sesungguhnya saat ini. PR harus bisa menyelidiki dan menjaga agar berita tersebut tidak menyebar ke platform lain. Assed mengatakan, “Dulu, flow berita kan dari Traditional (cetak), ke Digital (portal berita online), menuju Post-Digital (media sosial). Dulu, umumnya berita berada di media cetak yang kemudian dinaikkan ke website, baru kemudian menjadi perbincangan di media sosial. Tapi sekarang berbalik, boom-nya justru kebanyakan dari media sosial dan pesan instan, baru menuju ke website dan kemudian masuk koran atau media cetak karena saking hebohnya,” katanya.

Sebelum akhirnya berita yang belum tentu benar tersebut masuk ke platform lain, ada baiknya seorang PR membuat konten sekreatif mungkin untuk meng-counter dan meng-influence audiens agar berita tersebut tidak bergerak ke platform lain yang berujung permasalahan yang berkepanjangan.

“Konten itu yang penting jujur, udah bukan waktunya lagi bikin konten gombal, dulu mungkin orang tak akan mengetahui, tapi di zaman sekarang yang serba digital dan borderless, semua orang akan mengetahui bahwa berita yang dilancarakan adalah sebuah kebohongan,” kata Assed.

Seorang PR juga harus bisa menjaga hubungan baik dengan para awak media. Pasalnya, perusahaan bukan apa-apa tanpa media. Saat ini, bukan media yang membutuhkan brand, tetapi brand yang membutuhkan media. Percuma konten bagus dan jujur tetapi tidak bisa menjaga hubungan baik dengan media. Konten tersebut sudah pasti tidak akan pernah tersampaikan kepada audiens yang dituju.

 

Editor: Sigit Kurniawan

Related