Semangat keberlanjutan dalam pembangunan tidak cukup hanya mengandalkan teknologi atau kebijakan semata. Keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi elemen penting agar program-program berkelanjutan bisa benar-benar berdampak.
Hal ini ditegaskan oleh dua pembicara dalam sesi diskusi Jakarta Marketing Week 2025, yaitu Fadly Hasan, Direktur Bisnis dan Pemanfaatan Aset Transjakarta, serta Muhamad Febriansah, Founder Napak Bhumi.
Fadly Hasan menjelaskan keberlanjutan di Transjakarta tidak hanya diwujudkan melalui penggunaan armada bus listrik atau program ramah lingkungan seperti penanaman mangrove. Yang jauh lebih penting, katanya, adalah bagaimana masyarakat sekitar dilibatkan dan diberdayakan dalam prosesnya.
Ia menyebut sejak awal Transjakarta hadir bukan untuk mematikan angkutan eksisting, melainkan untuk mengajak mereka bergabung dan tumbuh bersama.
“Kami berdayakan lebih dari 20 operator yang dulu merupakan angkutan umum mandiri. Sekarang mereka bekerja sama dalam sistem Transjakarta yang lebih tertib dan berkelanjutan,” kata Fadly dalam acara The 13th Annual Jakarta Marketing Week, Sabtu (24/5/2025).
Tak hanya itu, Transjakarta juga membuat akademi khusus untuk membentuk pengemudi profesional, yang disebut Transjakarta Academy. Tujuannya bukan sekadar melatih keterampilan mengemudi, tapi juga mengangkat harkat profesi pengemudi agar lebih dihargai dan terlatih secara profesional.
“Kita ingin suatu saat bisa mengirim pengemudi ke luar negeri sebagai tenaga kerja profesional, bahkan banyak dari mereka yang perempuan,” ujarnya.
Pemberdayaan seperti ini, menurut Fadly, bukan hanya menciptakan layanan publik yang lebih baik, tetapi juga membuka akses ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat.
Muhamad Febriansah, yang akrab disapa Eby, membawa perspektif yang sama dari dunia kewirausahaan sosial. Melalui Napak Bhumi, ia mengubah limbah, seperti ban bekas, denim sisa, dan sampah tekstil lainnya menjadi produk fashion berkualitas, seperti sepatu.
Namun lebih dari sekadar bisnis ramah lingkungan, Eby menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat dari segala golongan. Dari temuannya, Eby melihat bahwa masyarakat yang kurang mampu, masih belum melihat menjaga keberlanjutan sebagai prioritas utama, karena masih terbebani dengan biaya hidup.
BACA JUGA: Musik The Beatles Jadi Pemantik Kemeriahan di Ujung JMW 2024
Menurut Eby, edukasi tentang keberlanjutan tak bisa sekedar edukasi juga, tapi juga memberikan dampak ekonomis yang nyata bagi pelakunya.
“Sehingga ini bukan hanya berdampak kepada lingkungan, tapi juga berdampak kepada ekonomi, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Ini yang harusnya menjadi pondasi green economy,” kata Eby.
Hampir 90% bahan sepatu Napak Bhumi berasal dari limbah. Ban bekas digunakan sebagai sol, denim bekas sebagai bahan utama, bahkan kemasan produknya memakai bambu alih-alih kardus sekali pakai.
Tak hanya itu, hasil penjualan sebagian disumbangkan ke komunitas, dan banyak proses produksinya dilakukan oleh warga desa di Bogor dan Bandung.
“Saya ingin warga desa tetap tinggal di desa, bukan pergi ke kota cari kerja. Kami latih mereka untuk bisa produksi dan memasarkan, bahkan kami ajarkan mereka pakai media sosial,” ucapnya.
Eby juga menyoroti masalah besar dari limbah tekstil global yang mencapai 92 juta ton per tahun, dengan Indonesia menyumbang sekitar 1,75 juta ton. Dari angka tersebut, hanya 0,3% yang berhasil dimanfaatkan.
Melalui pendekatan kreatif dan pemberdayaan masyarakat, Napak Bhumi mencoba menawarkan solusi berbasis ekonomi sirkular yang nyata. Keduanya sepakat bahwa keberlanjutan harus dimulai dari akar rumput, dengan mendidik, melibatkan, dan membuka akses kesempatan bagi masyarakat.
Teknologi, inovasi, dan sistem hanya akan efektif jika disertai semangat kolaborasi dan inklusi.
Editor: Ranto Rajagukguk