Pengembangan PLTP Terganjal Iklim Investasi yang Belum Kondusif

marketeers article
Hverir hot springs, Iceland

Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, seperti panas bumi. Bahkan, negara ini berada di peringkat teratas dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) untuk kawasan Asia. Namun, pengembang PLTP di dalam negeri merasa iklim investasi belum kondusif, terutama soal level playing-field dengan pembangkit listrik tenaga fosil.

“Terdapat tiga poin utama yang diharapkan pelaku usaha di sektor panas bumi, yakni soal perizinan, harga, dan perpajakan. Investor menginginkan adanya kesetaraan dengan pembangkit fosil,” kata Chief Strategy Officer Star Energy Geothermal Agus Sandy Widyanto dalam webinar SAFE Forum 2020, Jumat (28/8/2020).

Ia menambahkan, tantangan lain saat ini adalah bagaimana agar pengolahan panas bumi bisa lebih efisien lagi. Para pengembang PLTP, berharap agar panas bumi bisa kompetitif dengan energi fosil.  Kapasitas terpasang PLTP di Indonesia saat ini sebesar 2,1 GW. Hal ini memposisikan RI sebagai peringkat wahid di Asia dan kedua di dunia. Hanya saja di regional ASEAN, posisi Indonesia sekarang nyaris disusul Filipina dengan kapasitas 1,9 GW.

Sejauh ini, pengembangan PLTP di Tanah Air belum optimal. Pasalnya, harga setrum dari pembangkit listrik energi terbarukan, seperti panas bumi, relatif lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit konvensional (batu bara).

Terdapat beberapa hal yang menyebabkan harga listrik dari pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) lebih mahal, misalnya keterbatasan infrastruktur dan koneksi, serta risiko eksplorasi yang tinggi. Soal infrastruktur jalan dan jembatan, sebagian besar kini belum tersedia. Eksplorasi energi primer untuk pembangkit EBT juga berisiko. Belum lagi, koneksi ke jaringan yang lebih kecil terbatas.

“Solusi untuk panas bumi dari sejumlah tantangan, misalnya dengan mengadakan penggantian biaya infrastruktur terutama yang bersifat sosial. Selain itu, risiko eksplorasi juga sebaiknya ditanggung bersama pemerintah dan badan usaha,” ujar Agus.

Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ida Nuryatin mengakui bahwa salah satu tantangan pengembangan EBT panas bumi memang competitiveness harga  dibandingkan dengan energi fosil. Hal ini memengaruhi sisi kelayakan pengembangan suatu proyek panas bumi.

“Karena tantangan-tantangan itu, sekarang pemerintah sedang menyusun regulasi untuk untuk membuat tarif listrik pembangkit EBT lebih kompetitif. Sekarang sedang proses harmonisasi perpresnya oleh Kemenkumham. Di dalamnya akan diatur insentif,” ucap Ida.

Regulasi tersebut salah satunya akan memuat skema insentif guna mendorong investasi di sektor panas bumi. Salah satunya adalah kompensasi biaya eksplorasi yang akan dikerjakan pengembang. Hal ini bertujuan agar harga jual listrik dan PLTP lebih ekonomis. Regulasi berupa peraturan presiden (perpres) ini tidak hanya membahas tentang panas bumi, melainkan juga soal pembelian listrik EBT oleh PT PLN.

Sebelumnya, Kementerian ESDM memproyeksikan bahwa akan terjadi penurunan harga sekitar US$2,5 hingga US$4 sen per kilowatt per jam (kWh) apabila perpres tersebut diberlakukan. Peraturan ini juga diharapkan mampu membuat iklim investasi di sektor panas bumi lebih bergairah.

    Related