Pentingnya Narasi Story Telling di Komunikasi Publik

marketeers article
pr public relations in vector illustration marketing

Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, data menjadi sangat penting. Pada ranah media, data tersebut dapat diolah menjadi informasi, informasi dapat diolah menjadi pengetahuan, dan pengetahuan diolah menjadi narasi. Pada komunikasi publik, masyarakat membutuhkan narasi dan tidak sekadar pengetahuan.

Era pandemi COVID-19 telah memasuki babak baru yang juga membentuk narasi baru, yaitu new nomal yang terus digaungkan oleh pemerintah, ekonom, peneliti, hingga pengusaha. Sayangnya, narasi new normal masih simpang siur dan memiliki arti yang berbeda-beda di masyarakat. Ada yang memahami new normal tersebut sama dengan back to normal. Ada pula yang memahami new normal adalah normal yang menggunakan protokol COVID-19.

“COVID-19 memang terbilang baru. Banyak negara yang tidak siap dengan kedatangan pandemi dan menanganinya secara gegabah, termasuk penanganan pada komunikasi publik. Bahkan di Indonesia, saat kasus pertama muncul. Masyarakat pun berdebat bagaimana cara penyampaian informasi kasus dan pasien seharusnya dilakukan,” pungkas Wensesiaus Manggut, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia dalam acara Government Roundtable Series COVID-19: New, Next, Post, Senin (15/06/2020).

Wensesiaus menambahkan narasi atau pesan yang ingin disampaikan kepada publik haruslah memiliki kejelasan. Karena itu, sebuah narasi atau pesan yang disampaikan memperlukan sebuah guidance. Mulai dari target, cara pengemasan narasi, jalur distribusi hingga cara engage.

Pertama yang perlu diperhatikan adalah target audiens. Pesan yang ingin disampaikan semua tegantung target. Penentuan target dapat juga menentukan kemasan promosi narasi, bahasa, pilihan kata, pilihan saluran distribusi, hingga menentukan cara engage.

“Dunia digital adalah dunia yang presisif. Sehingga, jika pemerintah menguasai dunia digital ini dengan segala kompleksitas data yang dunia ini miliki, pemerintah dapat membuat narasi yang tepat sasaran,” tambah Wensesiaus.

Kedua adalah bagaimana narasi dikemas. Kemasan narasi untuk pemerintah mungkin berbeda dengan kemasan untuk merek. Terdapat beberapa cara narasi dikemas yaitu story telling, testimoni, infografis, videografis, dan lain sebagainya. Wensesiaus mengatakan story telling dapay menjadi penyampaian narasi yang lebih berefek kepada publik daripada penulisan yang biasa.

“Jurnalis atau pembuat narasi harus menguasai betul mengenai informasi yang ingin disampaikan. Model story telling adalah model penulisan yang butuh ‘rasa’ yang masuk ke tulisan, sehingga dibutuhkan pemahaman mengenai pesan yang disampaikan,” jelas Wensesiaus.

Ketiga adalah saluran distribusi. Saat ini telah banyak saluran distribusi untuk menyebarkan konten maupun narasi, mulai dari ruang terbuka, publisher, platform digital seperti Facebook, YouTube, Instagram, hingga event offline maupun online.

Keempat adalah engagement. Saat ini, konten online lebih banyak dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk menyebarkan informasi. Namun, auidens digital tidak sama seperti audiens konvensional. Di kanal digital, audiens juga ikut berpartisipasi dalam pembuatan konten. Mereka bisa saja memberikan masukan secara langsung ketika konten atau narasi telah disebarkan. Sehingga, komunikasi tidak satu arah.

Editor: Eko Adiwaluyo

Related