PHK Startup, Efek ‘Bubble’ Pandemi Pecah?

marketeers article
PHK Startup, Efek Bubble Pandemi Pecah? (FOTO:123RF)

Sederet perusahaan rintisan atau startup belakangan ini melakukan pemutusan hak kerja (PHK) terhadap ratusan pegawainya dengan alasan perampingan operasional perusahaan. Sejumlah nama startup yang melakukan PHK yakni LinkAja, JD.ID, dan Zenius.

Ketiganya, dalam rentang waktu yang tidak lama, melakukan PHK kepada ratusan karyawannya dengan alasan efisiensi bisnis. Rentetan PHK yang dilakukan ketiganya menjadi sorotan dan menimbulkan pertanyaan tentang ada apa yang sebenarnya terjadi pada perusahaan rintisan pada era pandemi mulai usai ini.

Perusahaan rintisan atau startup tidak dapat dipungkiri mendulang keuntungan lebih ketika pandemi terjadi. Kondisi baru yang memaksa masyarakat untuk beradaptasi terhadap hal-hal baru menjadi pendorong popularitas para startup yang masuk menjawab berbagai solusi yang dibutuhkan masyarakat.

Momen ini menjadi kesempatan bagi banyak startup untuk menggaet konsumen lebih banyak dan mengembangkan layanannya. Namun kini, ketika pandemi mulai perlahan mereda, pemutusan hubungan kerja atau PHK di kalangan startup pun mulai bermunculan. Layaknya bubble atau kondisi yang mengangkat performa para perusahaan rintisan, ketika pandemi usai, pecahnya bubble disambut gelombang PHK satu per satu.

Ignatius Untung, Praktisi Neuromarketing dan Behavioural Science menjelaskan bahwa pandemi jelas memberi efek bubble bagi perusahaan rintisan, namun rupanya tidak semua perusahaan rintisan mendapat efek yang sama dari pandemi. Sebagian kebagian panen, sebagian merasa pandemi adalah masa paceklik.

“Tidak bisa dipukul rata semua startup kebagian panen saat pandemi, sebagian juga terpuruk,” kata pria yang disapa Untung tersebut dalam sambungan telepon, Jumat (27/5/2022). Untung menjelaskan bisnis seperti traveling masuk bagian terpuruk ketika pandemi terjadi. Bahkan, bisnis seperti ride-hailing turut terdampak dengan adanya penurunan jumlah transportasi, namun masih terbantu dengan peningkatan di jumlah pengantaran makanan.

Di sektor lain, edutek, health teche-commerce merupakan sektor yang mengalami “panen” pada saat pandemi. Apa yang membuat sektor tersebut dapat mendulang panen pada saat pandemi bukan hanya pandemi yang memaksa masyarakat menggunakan layanan di sektor tersebut, namun juga strategi perusahaan dalam membangun experience dengan pelanggan.

“Perusahaan harus melihat ini (pandemi) sebagai kesempatan menciptakan experience yang bagus,” lanjut Untung. Momen pandemi digunakan sebagai kesempatan untuk mengakuisisi konsumen melalui pengalaman menggunakan layanan perusahaan. Hal tersebut menurut Untung, nantinya akan membuat konsumen tetap menggunakan layanan perusahaan meski pandemi usai.

Anggapan bahwa usainya pandemi memecahkan bubble yang selama ini mendorong performa startup tidak sepenuhnya benar. Pria yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA) periode 2018-2020 ini memaparkan bahwa ada tiga kemungkinan besar alasan di balik fenomena PHK yang dilakukan oleh para startup. Tiga alasan tersebut yakni gagal funding, kalah bersaing, dan resesi.

Gagal Funding

Perusahaan rintisan memiliki ketergantungan yang besar kepada funding atau pendanaan yang dilakukan oleh investor. Pendanaan digunakan perusahaan selain untuk memenuhi operasional, juga untuk mengembangkan bisnis perusahaan.

Kondisi yang disebut gagal funding bukan berarti perusahaan tidak mendapat pendanaan sepenuhnya. Jika pendanaan yang diperoleh startup rupanya di bawah dari target yang ditetapkan oleh perusahaan maka hal itu dapat disebut sebagai gagal funding. Dengan gagalnya funding, implikasi yang dapat terjadi pada startup adalah pengurangan SDM alias PHK.

“Kalau suntikannya lebih kecil dari itu (target modal), maka harus ada yang dikurangi. Dan tidak dapat dipungkiri, salah satu kemungkinannya adalah mengurangi orang,” ujar Untung.

Kalah Bersaing

Persaingan antar-startup memang tidak bisa dihindari. Di beberapa sektor, startup kadang harus berhadapan dengan pelaku bisnis yang skalanya jauh lebih besar, atau sesama startup dengan pasar yang lebih luas.

“Jadi secara tidak langsung, walaupun tidak ditekan oleh investor mereka sudah sadar diri. Mereka mulai berpikir untuk menutup beberapa layanan yang tidak kompetitif. Sehingga mau tidak mau ada pengurangan pegawai,” kata Untung.

Resesi

Resesi adalah faktor yang tidak dapat dipungkiri mempengaruhi seluruh lini ekonomi, termasuk startup. Dengan kondisi global yang sedang terganggu akibat konflik dua negara Eropa timur, Rusia dan Ukraina, hal ini mempengaruhi supply dan demand baik bisnis offline hingga startup.

“Termasuk ke bisnis startup. Bisnis offline pun kena. Ke depannya, bisnis akan susah dulu. Kalau dilihat resesi terakhir pada tahun 2008, dampaknya bisa dalam tiga hingga empat tahun,” ujar Untung.

Menurut Untung, resesi mengintai dengan kondisi ekonomi global yang mulai bergejolak. Setiap negara mulai bersiap-siap menghadapi resesi. Termasuk juga investor untuk startup. Untung menambahkan resesi tentu masuk dalam prediksi para investor tersebut. Dan ketika resesi terjadi, startup akan berpikir dua kali, lantaran investasinya akan terhambat pada saat resesi, sehingga tidak sedikit yang memangkas investasi yang biasa digelontorkan.

“Investor ketika resesi, mereka berusaha pegang uang liquid. Mereka tidak mau lepas uang kemana-mana. Tahan dulu semua. Jadi  untuk mendapatkan funding akan berat, karena yang pegang uang sedang mengencangkan ikat pinggang,” pungkas Untung.

Dari sisi pelaku, Alamanda Shantika, Presiden Direktur Binar Academy, juga angkat bicara mengenai fenomena PHK yang terjadi di sejumlah startup. Alamanda mengakui bahwa mendirikan startup bukanlah proses yang mudah. Selain harus memikirkan biaya yang perlu dikeluarkan untuk perusahaan beroperasi, ekosistem yang belum matang juga menjadi tantangan di beberapa sektor.

Alamanda sedikit bercerita bagaimana ia beserta rekan-rekannya mengembangkan startup mereka yakni Binar Academy. Ceritanya dalam akun Instagram miliknya, Binar didirikan dan bertahan menggunakan uang personal alias bootstrapping selama empat tahun. Tidak mudah selama empat tahun bertahan menggunakan uang bootstrapping tuturnya. Alamanda juga mengajak untuk melihat startup tidak hanya berdasarkan valuasi, ataupun pendanaan yang diperoleh. Tapi juga melihat kembali dampak dari startup kepada masyarakat.

“Ayo coba kita duduk merenung kembali, besar dan sukses startup itu jangan cuma dilihat dari berhasil dapet funding million dollar dan triliunan rupiah. Yang lebih perlu kita glorifikasi adalah bagaimana startup-startup tersebut membawa impact dan mendorong ekosistem jadi lebih sehat,” ucapnya melalui akun Instagram miliknya, Sabtu (28/5/2022).

Alamanda pun bercerita bagaimana ia mendapatkan pelajaran berharga dalam mendirikan Binar Academy, khususnya tanpa pendanaan dari investor besar. Ujarnya, bootstrapping memberinya pelajaran untuk membangun landasan keuangan perusahaan yang sehat dan kuat.

Editor: Muhammad Perkasa Al Hafiz

Related