Pola Pikir UKM Hari ini Banyak Berkiblat ke Startup Model yang Berisiko Tinggi

marketeers article
Ilustrasi UKM (Sumber: 123RF)

Wismilak Foundation telah menggelar Diplomat Success Challenge (DSC) sejak tahun 2010. Banyak perubahan yang dipantau oleh DSC dari ide usaha yang didaftarkan oleh para pegiat usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM) sejak gelaran DSC pertama hingga tahun ini.

Surjanto Yasaputra, Ketua Dewan Komisioner & Program Founder DSC menemukan, banyak perubahan mindset yang terjadi dari para pemilik usaha atau UKM dulu dengan sekarang. Surjanto bercerita, sejak tahun pertama gelaran DSC, diikuti oleh 600 pendaftar hingga tahun 2022 telah membukukan 23.637 ide bisnis yang didaftarkan.

“Saya yang mengikuti sejak awal gelaran DSC sangat melihat perbedaan pola pikir. Pada era tahun 2010 sampai sekitar tahun 2015, pola pikir para UKM didominasi oleh pola pikir tradisional yang mengedepankan pengembangan produk sebaik-baiknya. Berbeda dengan UKM dalam 3-4 tahun belakangan. Mereka sangat dipengaruhi model yang dianut oleh startup,” ujar Surjanto saat diwawancarai Marketeers secara online, Rabu (7/12/2022).

BACA JUGA: DSC 2022 Kembali Hadir, Dorong Wirausaha Bisnis Berkelanjutan

Surjanto Yasaputra, Ketua Dewan Komisioner & Program Founder DSC

Pola pikir UKM hari ini menurutnya berorientasi pada bagaimana mengembangkan growth story dari bisnis yang mereka jalankan. Sayangnya, mindset ini punya risiko kegagalan yang cukup tinggi. Banyak contoh yang bisa kita temui dari berbagai kasus pemangkasan karyawan yang dialami oleh beberapa startup baru-baru ini.

“Startup model hari ini banyak mengembangkan growth story atau pertumbuhan dari bisnis yang mereka jual ketimbang produknya. Model ini tingkat kegagalannya lebih tinggi. Meski begitu, jika berhasil, usaha tersebut akan meraup sukses besar, bahkan bisa sampai melantai di bursa saham,” ujar Surjanto.

BACA JUGA: Erick Thohir: UKM Tulang Punggung Perekonomian dan Harus Dijaga

Meski begitu, contoh yang meraup sukses besar ini tidak banyak. Model startup ini yang banyak diadopsi atau menjadi kiblat dari para UKM dengan tingkat gagal yang tinggi lantaran ketimbang pengembangkan produk, model ini condong mengembangkan pertumbuhan bisnis. Tidak sedikit dari penyembah model ini yang melewatkan tahapan segmentasi, targeting, dan positioning (STP) atau pun positioning, differentiation, dan brand (PDB) yang merupakan fondasi dari sebuah bisnis.

Seolah-olah, model ini pun terlihat lebih moncer pertumbuhannya ketimbang model bisnis tradisional. Pada akhirnya, model ini less resilient atau kurang tahan terhadap situasi yang ada, misalnya pandemi COVID-19 yang penuh ketidakpastian.

“Sayangnya, model startup ini belum banyak diuji. Growth story ini banyak dibeli oleh para pihak yang percaya terhadap growth story. Dalam hal ini adalah investor. Sayangnya, jika sudah tidak ada yang percaya cerita ini, sulit untuk menjual growth story,” ungkap Surjanto.

Berbeda dengan model tradisional yang mengembangkan produk dengan matang. Jika produk diserap dengan baik oleh konsumen, maka keberlangsungan usaha akan terjaga. Tentu, kedua model ini memiliki poin plus dan kelemahan masing-masing yang Surjanto sendiri tidak bisa menyebutkan mana yang paling ideal.

Related