Menilik Potensi dan Risiko Bisnis Perusahaan Fintech Aggregator

marketeers article
57131154 paper with words islamic finance and charts.

Di tengah arus informasi dan perkembangan teknologi yang kian cepat, perusahaan aggregator bisa menjadi kunci untuk membantu masyarakat menentukan pilihannya terhadap produk, layanan dan jasa yang paling sesuai. Di sisi lain, perusahaan aggregator juga membantu merekatkan banyak aspek dalam ekosistem digital yang mampu bekerja sama dengan ekosistem konvensional. Misalnya, di sektor keuangan.

Bicara mengenai model bisnis aggregator pada dasarnya bukanlah hal baru di Indonesia. Berdasarkan data dari Asosiasi Fintech Indonesia tahun 2018, saat ini terdapat 235 perusahaan fintech di mana 26 di antaranya bergerak di bidang market aggregator. Adapun jasa yang ditawarkan oleh banyak perusahaan aggregator ini adalah menghubungkan konsumen kepada perusahaan yang memiliki jasa, produk atau layanan tertentu. Perusahaan aggregator ini kemudian bertugas untuk mengonsolidasi dan menstandarisasi sebelum didistribusikan lewat mekanisme platform digital.

Salah satu perusahaan fintech agregator di Indonesia adalah ALAMI. Setelah diluncurkan bulan lalu, ALAMI fokus menjaring kemitraan dengan lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Menurut CEO dan Founder ALAMI Dima Djani, memilih model bisnis aggregator, ALAMI ingin mendukung penguatan posisi institusi jasa keuangan syariah Indonesia di masyarakat yang lebih luas lagi.

“Melalui positioning kami sebagai perusahaan fintech aggregator syariah, ALAMI memiliki keunggulan untuk mempertemukan layanan perbankan tadi ke calon-calon nasabah yang ingin memperbesar skala usaha namun tetap dalam koridor syariah,” tutur Dima.

Meskipun demikian, Dima juga melihat adanya risiko dalam model bisnis agregator. Ia menilai dalam ekosistem digital, model bisnis aggregator perlu memiliki value-add agar dapat memberikan solusi yang optimal bagi nasabah.

“Jangan sampai konsumen menilai keberadaan aggregator justru menambah kerumitan saat mereka ingin mengakses layanan dari penyedia jasa. Ini adalah risiko yang perlu dikelola untuk menjaga masa depan bisnis,” tambah Dima.

Meskipun risiko menjalankan bisnis aggregator cukup tinggi, ALAMI tetap optimistis bahwa model ini bisa diterima oleh masyarakat dan partner, khususnya dalam lingkup target pasar ALAMI yang notabene adalah pelaku usaha. Ditambah lagi, posisi perusahaan fintech aggregator syariah di Indonesia pada dasarnya sangat menarik karena mereka bermain di kolam yang belum banyak tersentuh oleh pemain fintech lainnya.

“Teknologi aggregator membantu masyarakat bisa lebih memahami bahwa ada alternatif yang bisa diakses dengan mudah dan transparan sesuai latar belakang bisnis masing-masing. Lebih khusus, dari perspektif partner syariah, keberadaan aggregator bisa membantu mereka menentukan target distribusi dana ke masyarakat tanpa harus mengeluarkan biaya pengembangan teknis,” tutup Dima.

Editor: Sigit Kurniawan

 

 

Related