Potensi Investasi Hijau Besar, Butuh Sistem untuk Menarik Investor

marketeers article
Ilustrasi: 123RF

Indonesia punya potensi besar mengembangkan energi terbarukan. Dengan begitu, bisa diartikan bisa menarik investasi hijau dalam jumlah besar. Berdasarkan perhitungan pemerintah, kebutuhan untuk pembiayaan untuk perubahan iklim mencapai US$ 350 miliar. Sedangkan investasi untuk energi terbarukan sekitar US$ 13,5 miliar per tahun.

“Peluang investasi hijau sangat terbuka karena energi terbarukan sebenarnya mempunyai bisnis model. Investasi energi hijau sekarang berkembang pesat. Contohnya, adalah panel surya yang merupakan salah satu potensi energi terbarukan yang paling menjanjikan tapi jauh tertinggal,” kata Associate Director di Climate Policy Initiative Tiza Mafira Tiza dalam webinar The Road to COP26 yang digelar Katadata dan Landscape Indonesia, Jumat (22/10/2021).

Tiza menambahkan, saat ini investasi untuk panel surya hanya naik 2$ per tahun sedangkan kebutuhan investasi untuk panel surya naik 270 kali lipat dibandingkan investasi. Di sisi lain,  saat ini harga teknologi energi terbarukan turun secara konsisten. DI dunia, saat ini teknologi panel surya sudah lebih murah dibandingkan teknologi untuk batubara.

Namun, lanjut Tiza, kondisi tersebut tidak terjadi di Indonesia. Karena ada market barrier yang membuat panel surya kalah bersaing dengan batubara. PLN masih mendapat subsidi untuk batubara, sehingga harga batubara jadi tidak terlalu mahal. “Ini yang membuat adanya fake price terhadap harga batubara. Harusnya subsidi untuk batubara mulai dikurangi,” jelas Tiza.

Sekarang ini, pada tingkat global, nilai investasi hijau  menunjukkan tren kenaikan. Hingga kuartal ke-2 2021 lalu, total ada lebih dari US$2,2 triliun dana berkelanjutan global. Namun angka itu masih jauh dari cukup. Menurut laporan World Economic Forum bersama UNEP, total nilai investasi hijau, pemerintah dan swasta, tahun lalu mencapai US$ 133 miliar. Sekitar 86% dari angka tersebut berasal pemerintah dan 14% bersumber dari investasi swasta.

Untuk membelokkan lintasan kerusakan lingkungan saat ini, WEF dan UNEP menghitung sedikitnya butuh tiga kali lipat dari total investasi hijau saat ini pada tahun 2030 nanti. Menurut perhitungan Bappenas, Indonesia membutuhkan pembiayaan/investasi di sektor berkelanjutan hingga tahun 2030 sebesar Rp 67.803 triliun atau rata-rata Rp 678 triliun per tahun.

Associate Profesor di Universitas Gadjah Mada Poppy Ismalina menambahkan, pembiayaan untuk proyek hijau tidak melulu harus mengandalkan APBN dan APBD. Menurut Poppy, dukungan pendanaan pembiayaan untuk proyek hijau bisa dari sektor jasa keuangan.

“OJK lewat POJK no 51 sejak 2015 sudah membuat peta jalan keuangan hijau dan mulai membangun ekosistem keuangan berkelanjutan. Sumber pendanaan yang abadi justru ada di sektor jasa keuangan. Kita punya 1.879 bank umum dan kredit dan total dana pihak ketiga naik menjadi Rp6.539 triliun, belum lagi pasar modal,” jelas Poppy.

Impact Investment Lead, ANGIN Benedikta Atika mengatakan, investor sebenarnya berharap sebuah support system sebelum menginvestasikan uangnya untuk ekonomi hijau di Indonesia. Saat ini, sepertinya ada kesenjangan pengetahuan tentang sektor apa saja yang bisa ditawarkan ke investor untuk proyek hijau dan juga daerah mana.

“Salah satu yang krusial adalah bagaimana investor mau masuk ke sektor yang selama ini sulit misalnya kehutanan. Karena itu, perlu support system bagaimana skema yang paling visible agar investor menjadi lebih tertarik untuk berinvestasi,” jelas Atika.

    Related