Potong Rantai Distribusi, Ula Dorong Pertumbuhan Bisnis UKM

marketeers article

Era digital menjadi tantangan bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) dan warung-warung kelontong. Para pelaku UKM yang umumnya belum melek digital harus menghadapi pergeseran perilaku konsumen yang semakin bergantung pada teknologi digital. Hal ini memunculkan kesenjangan teknologi antara pelaku UKM dan konsumen 

Namun, bisnis bukanlah dunia dengan toleransi. Siapa yang tidak dapat beradaptasi akan kalah bersaing. Inilah yang dilihat Ula sebagai permasalahan yang harus diselesaikan. Menurut Derry Sakti, Co-Founder & COO Ula Indonesia, ini merupakan momentum untuk memberi solusi kesenjangan teknologi tersebut. 

“Ternyata permasalahan UKM dan warung kelontong tak sebatas adopsi teknologi, tapi bagaimana pasar melihat sektor ini. UKM dan warung kelontong tidak mendapatkan previlese sebagai pedagang. Mereka justru tidak ada bedanya dengan konsumen yang mendapatkan harga paling akhir,” papar Derry.

Potensi pasar ritel di Indonesia sendiri tergolong sama besar. Menurut data yang dikumpulkan Ula, market size ritel fast moving consumer goods (FMCG) di negara ini mencapai US$ 200 juta pada tahun 2020. Pembelian terbesar masih didominasi oleh warung. Namun, birokrasi dalam distribusi sering menghambat pelaku UKM untuk mendapakan keuntungan optimal. 

Menjawab permasalahan tersebut, Ula menawarkan sepaket solusi pengelolaan bisnis secara digital melalui aplikasi Ula. Aplikasi ini memiliki sejumlah kelebihan, dari akses belanja bahan baku, akses barang yang lengkap, harga terjangkau, pengiriman barang dagangan yang efisien, hingga opsi pembayaran barang dagangan atau bahan baku yang fleksibel dengan fitur paylater

 “Dilihat dari value proposition, Ula memiliki tujuh nilai yang dijunjung tinggi, yaitu empower, working capital, logistic support, customers, big data, marketing exposure, dan layanan yang tailor made,” jelas Derry.

Pada dasarnya, Ula hadir untuk memberdayakan UKM dan warung kelontong sebagai kanal terakhir di rantai distribusi, namun tidak mendapatkan keuntungan optimal akibat margin yang terlalu kecil. Penyebabnya adalah rantai distribusi yang terlalu panjang. Derry mengatakan untuk sektor FMCG saja, pedagang harus melewati lima sampai enam layer untuk mendapatkan barang dagangan. Sehingga, harga yang didapatkan kerap bukan harga jual, tapi justru harga yang harusnya dikeluarkan konsumen untuk membeli.

“Adanya Ula bukan berarti pedagang bisa memotong layer distribusi. Kami mencoba mengefisienkan rantai pasokan yang berdampak pada harga yang lebih murah sekaligus pengambilan margin yang lebih besar. Tak tertutup kemungkinan, di masa mendatang, Ula bisa mempertemukan merek dengan pedagang secara langsung,” katanya.  

Raih Pendanaan  

Saat ini, Ula berhasil mengekspansi empat kota di tiga provinsi di Pulau Jawa. Dimulai di Jawa Timur, kini Ula sudah digunakan oleh pelaku UKM dan warung kelontong di Kota Semarang, Solo, dan Bandung.

Pada Juni 2020, startup ini berhasil meraih pendanaan Rp 148 miliar (US$ 10,5 juta) yang dipimpin oleh Sequoia dan Lightspeed India, serta didukung oleh SMDV, Quona Capital, Saison Capital, dan Alter Global. Pendanaan ini diraih setelah Ula lima bulan beroperasi.

“Pendanaan itu merupakan kepercayaan. Kami sejak awal memiliki visi yang jelas, yaitu memberdayakan UKM untuk maju lewat pengelolaan supply chain dan value chain, dan berhasil membuktikan bahwa teknologi bisa mengatasi masalah ekonomi,” kata Derry.

Dengan dana segar ini, Ula sepanjang tahun 2020 berhasil membangun bisnis dan mencapai misinya untuk UKM. Selain itu, perusahaan rintisan teknologi ini juga tengah menggenjot peningkatan sumber daya manusia (SDM) baik secara jumlah dan kualitas untuk memperkuat posisinya di tengah persaingan business-to-business (B2B) startup yang makin sengit.

Pandemi dianggap Derry sebagai momentum tepat untuk mengembangkan bisnisnya. Tren digitalisasi yang masif terjadi di masyarakat, membuat edukasi teknologi ke kalangan UKM lebih mudah dilakukan. Tantangan terbesar bagi Derry adalah sulitnya mendorong para pedagang menggunakan aplikasi. Tidak jarang Ia mendapatkan pernyataan bahwa teknologi yang ditawarkan merepotkan.

“Diperlukan pendekatan yang sedikit berbeda dalam memasarkan Ula. Kami harus  menggunakan bahasa sesederhana mungkin, mengedukasi mengenai efisiensi supply chain, mengajarkan cara menggunakan aplikasi sambil perlahan memperkenalkan fitur-fitur untuk digitalisasi toko. Kepercayaan harus dibangun lebih dulu,” tutur Derry.

Upaya ini menuai hasil.  Dalam waktu singkat Ula bisa menjaring banyak pengguna dan menjadi startup dengan harapan bisnis yang menjanjikan. Meski begitu, Ula tidak melupakan pengembangan bisnisnya sendiri. Pengembangan kategori terus dilakukan. 

Saat ini, Ula memiliki tiga kategori, yaitu FMCG, fresh and staples, dan apparel untuk memperluas dampak UKM yang dioptimalisasinya. “Bisnis yang dilakukan Ula adalah bagaimana ekosistem digital bisa menjadi agregator kolaborasi yang memanfaatkan teknologi agar menghadirkan solusi bisnis efisien dan optimal baik dalam proses dagang maupun pendapatan,” tutup Derry.

Editor: Sigit Kurniawan

Related