Psikologi di Balik Tesla Zero Marketing Budget

marketeers article
Ilustrasi Tesla (Sumber: 123RF)

Oleh Ignatius Untung, Praktisi Marketing & Behavioral Science

Ya, Anda tidak salah membaca, Tesla memang (hampir) tidak mengeluarkan uang untuk marketing. Di saat semua produsen otomotif lain menggelontorkan miliaran dolar untuk marketing dan advertising, Elon Musk menolak untuk mengalokasikan bujet untuk marketing Tesla.

Hasilnya mencengangkan. Di berbagai belahan dunia, Tesla mulai meraup pangsa pasar yang tidak bisa dianggap kecil. Pada tahun 2021 saja, Tesla mencatatkan 2% pangsa pasar di otomotif Amerika secara keseluruhan. Di tingkat global, pendatang baru ini meraup 13% pangsa pasar dari total pemain mobil listrik dunia. Bayangkan, terhitung sebagai pendatang baru, Tesla mampu menjual hampir setengah juta unit mobilnya pada tahun 2021. Menariknya, ini dilakukan di pasar yang ceruknya masih kecil, yakni mobil listrik, dengan nol bujet marketing.

Sebagian orang berpikir keberhasilan Tesla untuk menuai sukses dengan zero marketing budget didorong oleh keunggulan produk. Seperti kata pepatah, “the best advertising is a good product.” Memang betul, banyak produk yang baik yang bahkan sudah ludes terjual habis, bahkan sebelum iklannya sempat keluar. Tapi, apa benar hanya itu satu-satunya pendorong performa Tesla?

Saya membayangkan, jika fakta bahwa Tesla bisa berhasil dengan zero marketing budget sampai ke telinga para pemimpin perusahaan, maka Anda yang bekerja di bidang marketing untuk pemimpin-pemimpin itu akan segera mendapat tantangan, yaitu untuk bisa berhasil seperti Tesla dengan nol marketing budget. “Yah, nggak usah nol marketing budget deh, saya sediakan sedikit marketing budget, deh, tapi harus berhasil seperti Tesla.” Begitu kira-kira tantangan dari pemimpin perusahaan.

Tapi, apa benar, semua perusahaan bisa mengekor nasib baik Tesla? Berikut ini analisis saya mengenai apa yang dimiliki Tesla sehingga bisa mencapai kesuksesan dengan marketing budget nol.

Messenger Effect

Otak manusia pintar namun juga malas di saat yang bersamaan. Dalam berbagai kesempatan, kita berusaha mencari jalan pintas untuk bisa menemukan jawaban atau mengambil keputusan. Otak tahu benar bahwa memecahkan persoalan atau mengambil keputusan, termasuk keputusan pembelian bukanlah hal mudah. Akan butuh waktu dan energi untuk bisa keluar dengan jawaban yang plausible. Sebab itu, salah satu cara yang selalu diambil oleh otak adalah melihat apakah ada shortcut untuk bisa menilai dan memutuskan pembelian.

Dalam kasus Tesla ini, sosok Elon Musk dengan segala reputasi dan asosiasi yang sudah terbangun adalah jalan pintas yang amat sangat menarik untuk otak kita. Reputasi Musk dalam dunia teknologi seolah-olah menjadi garansi atas kualitas Tesla. Hal ini yang dalam ilmu behavioral science sering disebut sebagai messenger effect.

Dalam banyak situasi hidup kita bertemu orang yang begitu kita hormati karena reputasinya, dan kita dengan mudah menuruti perkataannya. Itulah messenger effect, yaitu ketika pesan yang disampaikan punya daya persuasi lebih akibat sosok yang mengatakannya. Bagi otak, messenger effect adalah heuristic bias yang amat sangat membantu otak.

Tidak perlu repot-repot menganalisis fitur Tesla. Cukup melihat siapa yang punya dan seperti apa reputasinya, rasa-rasanya tidak akan mengecewakan. Elon Musk memiliki kekuatan ini bukan hanya karena reputasinya membuat Tesla, Space X, dan berbagai perusahaan lainnya, namun juga dari kegigihan dan idealismenya untuk menciptakan yang terbaik.

Ia juga konsisten dengan omongannya alias walk the talk. Ia menjalankan apa yang ia ucapkan. Ini menjadi karakter yang akan amat sangat membantu konsumen membangun kepercayaan. Beberapa bukti mengenai bagaimana omongan Elon Musk begitu berpengaruh dapat kita lihat dari bagaimana cuitannya di Twitter mengenai cryptocurrency mendongkrak nilai cryptocurrency secara mendadak.

Elon merupakan iklan yang hidup dan berjalan untuk Tesla. Keberhasilannya dibuktikan dengan pencapaiannya di pasar saham. Ketika tulisan ini dibuat, price-to-earnings ratio (PER) saham Tesla mencapai 179 kali. Lebih besar dari Apple dan Google yang hanya 20an dan Facebook yang hanya 15-an. Secara logika PER menggambarkan seberapa besar investor mau membayar saham perusahaan yang bersangkutan. Semakin besar angkanya, artinya investor mau membayar lebih untuk mendapatkan pendapatan yang diharapkan. Dalam bahasa awamnya, ini berarti kepercayaan pasar akan performa perusahaan.

Messenger effect ini pula yang sering dimanfaatkan oleh public figure untuk masuk ke dunia bisnis. Beberapa figur publik papan atas mulai dari keluarga Kardashian, Jlo, bahkan selebriti Tanah Air, seperti Rafi Ahmad dan lainnya berlomba membuka bisnis. Dalam praktiknya, messenger effect sering diikuti oleh halo effect, yaitu kecenderungan untuk menganggap keahlian seseorang dalam satu bidang akan juga terjadi di bidang lain.

Dalam tahap lanjutan, tidak jarang mereka yang memiliki messenger effect dan halo effect juga punya placebo effect, yaitu sugesti positif yang muncul ketika mengikuti rekomendasi sosok yang memiliki messenger effect. Placebo effect ini pulalah yang membuat restoran milik tokoh publik yang sebenarnya tidak terlalu istimewa namun dianggap istimewa oleh para pengikutnya.

Authentic cause for society

Salah satu kesalahpahaman paling sering di dunia marketing dan branding adalah pemikiran bahwa branding merupakan tentang lomba membangun cerita bagus. Untuk itu, tidak sedikit pengusaha dan profesional yang berlomba membuat brand story yang indah. Bahkan, walaupun produk dan layanannya jauh di bawah cerita yang selalu dikisahkan. Harapannya, tidak lain dan tidak bukan untuk bisa membangun merek juara, bahkan meraih tahap messenger effect.

Sayangnya, merek adalah bukan tentang adu mendongeng. Seperti ucapan Elon Musk, “Brand is about reputation, and reputation will match reality.” Artinya, membangun merek memang seolah-olah bisa membangun persepsi positif, lepas dari kualitas produk dan pengalaman yang ditawarkan seperti apa. Tapi, pada akhirnya persepsi yang diciptakan itu akan diuji dan dicocokkan dengan realitasnya. Dan, jika ada gap antara persepsi dan realitas, maka reputasi merek jadi taruhannya.

Elon Musk membangun Tesla dengan misi to accelerate world’s transition to sustainable energy, mendorong transisi ke energi terbarukan. Tesla sebagai mobil listrik menjadi salah satu buktinya. Menariknya, Elon tidak mencantumkan keuntungan pribadi di dalam misi tersebut. Ia tidak menulis “menjadi perusahaan terkaya di bidang energi terbarukan”, melainkan “transisi energi terbarukan dunia”.

Ketidakegoisannya ini dijalankan dengan konsisten dengan membuka akses ke paten teknologi Tesla, sehingga bisa diakses siapapun. Ia tidak fokus pada diri sendiri, karena misi yang sedang dijalankan adalah untuk dunia, bukan untuk dirinya. Di sisi lain, keterbukaannya untuk berbagi pengetahuan ini akan makin mendorong misinya untuk mendorong transisi energi terbarukan dunia karena akan banyak perusahaan bisa mengekor Tesla ketika mendapat pengetahuan tentang teknologi Tesla.

Ini juga menguntungkan secara bisnis karena dengan membuka pengetahuan tentang mobil listrik ke siapa pun akan lebih banyak pemain yang masuk dan bahu-membahu mengedukasi pasar untuk mendorong transisi energi terbarukan dunia. Konsistensi dan autentisitas dari misi Tesla ini pula yang membantu Elon dan Tesla untuk semakin kuat messenger effect-nya.

Autentisitas misi Tesla ini juga terlihat dari bagaimana transparan operasionalnya. Pemanfaatan teknologi digital, baik melalui pemanfaatan website untuk menggantikan tenaga penjual untuk memberikan segala informasi yang dibutuhkan konsumen hingga pada bagaimana Tesla secara terbuka dan responsif memanfaatkan Twitter sebagai kanal customer service-nya menciptakan persepsi semakin positif sekaligus rasa aman bagi calon konsumen Tesla. Dalam situasi yang tak terduga dan tak diharapkan, Tesla juga secara transparan memanfaatkan pratfall effect, yaitu kecenderungan orang untuk memaafkan dan bahkan membangun persepsi positif ketika sebuah merek minta maaf secara tulus ketika melakukan kesalahan. Ini dilakukan ketika mereka secara terbuka menginformasikan keterlambatan pengiriman salah satu modelnya akibat kendala produksi.

Novelty

Manusia selalu beradaptasi, hal yang dulu menarik perlahan-lahan jadi tidak menarik. Hal yang tadinya menyakitkan perlahan-lahan jadi tidak terlalu menyakitkan. Karena itu, manusia selalu punya hasrat untuk mencari dan menyukai kebaruan. Dopamine, yang ada di otak kita selalu mendorong kita untuk menemukan sesuatu yang baru yang men-trigger ekspektasi untuk mendapat pleasure. Tesla dengan segala paketnya, mulai dari teknologi mobil listriknya, kemampuan untuk bisa berjalan tanpa supir, hingga desainnya masuk ke dalam kategori novelty ini.

Tesla memenuhi segala aspek yang dibutuhkan oleh otak untuk melabelinya sebagai merek yang memiliki novelty dan untuk itu layak dimiliki, mulai dari mereknya, asosiasi progresif Elon Musk, desain eksterior dan interior yang mungkin bisa disejajarkan dengan Apple ketika dulu masuk ke pasar. Termasuk, pengalaman berkendara yang ditawarkan mulai dari bagaimana unik gagang pintunya, bagaimana eksotis engsel pembuka pintu pada seri-seri tertentunya hingga kemewahan bisa berkendara tanpa memegang kemudi.

Social wealth & Tribe

Segala daya tarik yang begitu kuat yang dimiliki Tesla tentunya menciptakan desirability karena juga memiliki social wealth yang kuat. Tesla hebat dalam menjaga mereknya, Ia mengambil ceruk dan menciptakan persepsi istimewa pada produknya. Konsekuensinya, mereka yang memiliki Tesla dianggap kelompok elit yang berbeda dari masyarakat umum. Membayangkan mengendarai Tesla akan membuat banyak mata menoleh pada kita membuktikan bagaimana kuat social power Tesla. Sebab itu, dorongan untuk memilikinya membuncah.

Ketika persepsi istimewa ini terbangun dan bergulir, ia akan menjadi bola salju dan baik secara sengaja atau tidak sengaja membangun tribe khusus. Tesla juga memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk bisa menciptakan tribe, mulai dari sosok Elon Musk yang sebegitu karismatik, produknya yang novelty, cause yang otentik, dan juga social power yang luar biasa besar. Sama seperti non-fungible token (NFT), Metaverse dan berbagai produk Web 3.0, persepsi pula yang akan mendorong Tesla menjadi lebih besar lagi.

Artikel ini telah tayang di Majalah Marketeers Edisi April 2022.

Related