Starbucks, jaringan kedai kopi asal Amerika Serikat (AS) bakal melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya secara global. Rencana ini dilakukan pada Maret 2025.
Brian Niccol, Chief Executive Officer (CEO) Starbucks menjelaskan langkah yang dilakukan Starbucks untuk menyelamatkan bisnisnya. Meski begitu, dia memastikan PHK massal tidak akan mengganggu operasional atau investasi yang akan dilakukan perusahaan.
BACA JUGA: Starbucks Makin Kalah Saing, Penjualan Secara Global Turun 7%
“Ukuran dan struktur kami dapat memperlambat bisnis, dengan terlalu banyak lapisan, manajer tim kecil dan peran yang berfokus terutama pada koordinasi pekerjaan. Kami akan memeriksa peran, struktur, dan ukuran tim pendukung secara global,” kata Niccol dilansir dari Reuters, Senin (20/1/2025).
Menurutnya, langkah efisiensi terpaksa harus dilakukan karena meningkatnya persaingan bisnis kopi secara global. Kendati demikian, tidak disebutkan berapa banyak karyawan yang berpotensi kehilangan pekerjaan.
BACA JUGA: Bisnis Lesu, Starbucks Buka Opsi Jual Saham di Pasar Cina
Niccol menyebut, kondisi bisnis kian diperburuk dengan melemahnya permintaan Starbucks di dua pasar terbesar yakni AS dan Cina. Untuk menyelamatkan bisnis, dia terpaksa melakukan penangguhan perkiraan keuangan 2025 pada Oktober mendatang.
Starbucks pun akan menyusun rencana merombak lokasi gerainya di AS. Langkah selanjutnya guna menarik pelanggan, Starbucks bakal menambahkan tempat duduk yang lebih nyaman, cangkir keramik, dan bar bumbu kopi, dengan waktu tunggu pelanggan kurang dari empat menit.
Diberitakan sebelumnya, Starbucks tengah mengalami kesulitan keuangan lantaran kalah saing yang berdampak pada menurunnya penjualan sebesar 7% pada kuartal III tahun 2024. Pada periode itu, perusahaan meraih performa bisnis terburuk sejak merebaknya pandemi COVID-19.
Selain penjualan yang menurun, pendapatan bersih Starbucks turun 3% menjadi US$ 9,1 miliar hingga September 2024, laba turun 25%, serta sahamnya ambruk 4%. Secara terperinci, kinerja di beberapa pasar besar seperti Inggris, sebanyak 1.200 gerai makin ditinggalkan pelanggan lantaran antrean yang panjang.
Kondisi kian diperburuk dengan menurunnya standar layanan dan krisis biaya hidup yang membuat pelanggan mempertanyakan keterjangkauan harga latte atau cappuccino harian mereka. Kemudian di pasar inti AS, pendapatan turun 6% di tengah penurunan transaksi sebesar 10%. Pasar Cina bahkan lebih terpukul dengan penjualan turun 14%.
Editor: Ranto Rajagukguk